cover landing

Nada-Nada Hujan

By penulisrahasia

Prolog

Teruntuk kamu, cowok hujan.

Seperti hujan, kamu hadir seakan menusuk kulit dan selalu dingin meski telah berlalu. Awalnya gerimis, akhirnya melebat tiba-tiba, seperti mengalirkan rindu yang terus menghampiri, lalu berhenti meninggalkan kenangan manis.

Jahat, kan? Enggak. Kali ini aku nggak akan bilang kalau kamu jahat. Bukan salah kamu, kalau kamu memilih seperti hujan.

Aku tahu, kamu nggak pernah membenci hujan, karena hujan anugrah dari Tuhan yang harus disyukuri. Hanya saja, kamu terlalu munafik karena nggak mau hujan-hujanan bareng aku.

Kenapa?

Karena ketika hujan turun, hujan seperti atmosfer yang membawamu kepada masa lalu.

Iya, kan?

Yup, aku ngerti sekarang.

Tapi aku nggak akan nyalahin keadaan. Aku percaya kalau hujan nggak pernah jahat, tapi kamu yang terlalu dirasuki oleh dinginnya.

Tenang saja, aku ini Nada Sashi Mentari, aku akan selalu menjadi mentari untuk menyinari hari-hari kamu yang sepi.

Aku datang seperti selimut untuk menghangatkan dinginmu.

 

Teruntuk kamu, cewek petir.

Sejujurnya begini, aku tidak puitis, aku tidak pandai merangkai kata.

Aku terlalu biasa, itu benar.

Jadi begini, aku hanya ingin menyampaikan pendapatku tentangmu.

Kamu bilang, aku ini seperti hujan, dinginku menusuk kulit.

Tapi, seperti petir kataku, kamu berisik. Suka menyambar, tanpa memberi kesempatan untuk siap.

Aku lebih suka masuk ke dalam duniaku untuk menghindar darimu.

Karena yang aku tahu, datangmu hanya mengganggu. Datangmu, hanya datang sebagai perusak suasana. Datangmu, mampu membuat semua orang takut.

Jadi begini, bukan maksudku jahat, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu untukmu.

Pergi, jika memang harus. Untuk apa tetap di sini? Kau tak akan kuat menghadapiku.

Jika kau tak mengerti juga, mungkin bukan bahasaku yang sulit. Namun, kepalamu yang batu.

Aku ini, Mohamad Prayoga.

Bukan cowok jahat, bukan cowok baik pula, aku biasa saja. Hanya cowok yang berusaha melupakan masa lalu, dan menghindar darimu lebih jauh, karena hadirmu mengingatkanku pada sesuatu.

***

Kisah Satu

Mengapa hujan tetap muncul? Padahal hari ini tugasnya matahari.

Hujan memang egois.

Yoga benci hujan. Karena hujan membuatnya berkelana mengingat masa lalu. Untung saja hujan sudah berhenti, meskipun aroma sejuknya masih menyeruak di lubang hidung Yoga. Sekarang matahari kembali muncul di permukaan langit dengan cerahnya.

Yoga berjalan di pelataran kampus sambil melewati tubuh cewek berambut kecokelatan agak bergelombang sebatas pundak, kulitnya putih terpancar sinar matahari, hidungnya mancung, pakaiannya kaus putih polos yang ditutupi dengan jaket bomber berwarna pink, ia memakai jeans kelabu dan pansus hitam. Namanya Nada. Si cerewet dan selalu ingin tahu.

Perempuan itu asyik berpose di depan layar ponselnya, sambil tangan kanannya mengenggam pena—yang di ujung atasnya terdapat kelopak bunga mawar dari plastik.

“Eh, Mas-Mas .…” panggilan itu meluncur dari bibir Nada yang saat ini berlari kecil menghampiri Yoga. “Boleh minta tolong nggak?”

Kedua alis Yoga terangkat saat kakinya berhenti melangkah.

“Minta tolong boleh ya? Bentar doang, kok.” Nada mengulurkan Iphone-nya pada Yoga. “Minta tolong fotoin.”

Nada mundur beberapa langkah. “Ambilnya agak jauhan ya biar keliatan kurus. Terus harus kena cahaya matahari, biar hasilnya bagusan.”

Yoga menekan tombol beberapa kali tanpa aba-aba sampai akhirnya .…

“Sudah,” katanya.

Nada cemberut. “Itu ambilnya udah bener belum? Aku belum sempat gaya kok sudah sih.”

“Memang sudah, nih .…” Yoga mengulurkan ponsel kepada Nada kembali.

“Ih, kok cuma dua sih, ambilnya. Terus hasilnya nggak ada yang bagus, lagi. Kok gue gendutan banget di foto. Yang bener dong ambilnya ....” keluh Nada saat melihat hasil jepretan Yoga di ponselnya.

“Sudah bagus itu saya ambilin fotonya,” kata Yoga lagi.

“Foto apaan yang diambil ini!”

“Ya, foto pemandangannya lah.”

“Minta tolong dong, ambilkan foto gue lagi.” Nada memohon.

“Nggak. Saya sibuk.” Yoga hendak berjalan pergi. Namun, Nada menarik tas Yoga hingga membuat Yoga terjungkal ke belakang.

Pantat dan punggung Yoga mendarat sempurna di lantai. Yoga meringis kesakitan sambil mengusap bokongnya. “Aduh ….”

“Ya ampun, sorry gue nggak sengaja.” Nada menututp mulutnya dengan telapak tangan seolah tidak percaya apa yang baru saja ia perbuat.

Yoga menarik napas dalam-dalam, sambil menatap Nada dengan mata menyipit tajam.

“Sini, gue bantu berdiri.” Nada mengulurkan tangan.

Dalam hitungan detik, Yoga sudah berdiri sendiri sembari membersihkan bajunya yang kotor terkena hamparan pasir. Kemudian, Yoga berbalik badan meninggalkan Nada begitu saja.

Nada mengikuti langkah Yoga karena merasa bersalah akibat kejadian barusan. “Permisi, lo nggak kenapa-kenapa, kan?” Nada berusaha mensejajarkan langkah Yoga. “Gue minta maaf ya. Gue benar-benar nggak sengaja. Gue tadi cuma ….”

Kalimat Nada terhenti ketika Yoga berhenti melangkah. Yoga berbalik badan menghadap Nada. “Kamu anak fakultas hukum?” tanya Yoga. Lebih ke arah sindiran ketika Nada sadar kalau mereka sudah berasa di depan gerbang fakultas hukum.

“Gue ….” Nada menelan ludah. “Gue dari fakultas psikologi.”

“Terus, kenapa kamu mau mengikuti saya?” tanya Yoga dengan nada dingin.

Nada menelan ludah kembali. “Gue ….” Nada gelagapan. “Lo nggak kenapa-kenapa, kan?”

“Kamu bisa lihat saya bisa berdiri dan berjalan dengan tenang. Itu tandanya saya baik-baik aja, kan?” Yoga menatap lekat-lekat manik mata Nada.

“Hehehe, iya. Lo lebih dari kata baik.”

“Kalau begitu, berhenti mengikuiti saya.” Itu kalimat terakhir Yoga, sebelum cowok itu masuk ke dalam fakultas hukum dan meninggalkan Nada yang masih terpaku di tempat dengan tatapan sebal.

 “Awas lo ya, gue sumpahin lo suka sama gue!”

***

Mohamad Prayoga, biasa dipanggil Yoga. Dia adalah mahasiswa fakultas hukum tingkat akhir. Dan mahasiswa yang terkenal paling pintar di fakultas seangkatannya. Menurut teman-temannya, Yoga ini tidak banyak bicara, tenang, dan dingin. Meskipun begitu, Yoga tidak pernah pelit membagikan ilmunya. Yoga sengaja memilih untuk berkuliah di Jakarta, demi berusaha untuk melupakan masa lalunya yang masih tertinggal di Yogyakarta.

Hari ini Yoga menghampiri dosen pembimbingnya untuk revisi skripsi. Mungkin di fakultasnya, Yoga orang pertama yang mengajukan skripsi di saat teman-teman lainnya, justru sibuk mengurus mata kuliah yang tertinggal. Yoga terdiam di depan meja Pak Tono, sambil memperhatikan Pak Tono membaca skripsinya dengan saksama. Lalu, Pak Tono mendongak menatap Yoga dari balik kacamatanya. “Kapan mau sidang?” tanya Pak Tono dengan wajah serius.

 “Kalau bisa secepatnya, Pak,” ucap Yoga yakin.

“Yaudah. Urus sidang skripsi kamu secepatnya.” Kemudian Pak Tono memberi tulisan ACC di lembar depan skripsi Yoga beserta tanda tangan.

Yoga bernapas lega. Tidak sia-sia perjuangan Yoga begadang hampir setiap hari demi menyelesaikan skripsinya tepat waktu. Yoga tersenyum puas. “Terima kasih banyak, Pak.” Kemudian mengambil kembali skripsinya dan keluar dari ruangan dosen.

Yoga menuju kantin sambil menikmati jus apel hijau. Yoga segera mempersiapkan berkas-berkas untuk pengajuan sidang skripsi sendirian. Karena Yoga orang yang sangat tertutup di kampus. Dia tidak berbaur dengan siapapun kecuali dengan teman-teman yang terkadang dekat hanya untuk meminjam tugas atau minta jawaban saat UAS. Yoga tidak menolak, dan memberikan pertolongan kepada teman-temannya yang membutuhkan. Termasuk membutuhkan jawaban gratis tanpa harus belajar!

Semua orang di kampus juga tahu kalau Yoga mainnya cuma sama tugas dan buku di perpustakaan.

Di sudut lain suara tawa segerombolan cewek fakultas psikologi terdengar menggelegar. Berhubung fakultas hukum dan psikolog bersebelahan, maka mereka sering berkumpul di satu kantin yang posisinya di antara kedua fakultas tersebut. Tawa cewek-cewek anak psikologi membuat Yoga terganggu. Yoga menatap satu dari beberapa cewek yang ketawanya paling kencang, yaitu Nada. Yoga tidak mungkin lupa dengan cewek yang minta tolong untuk memfoto kepadanya itu, tapi justru memarahi Yoga karena foto cewek itu tampak gendut.

“Eh tuh, tuh cowoknya,” ujar Nada pada teman-temannya saat melihat Yoga menatapnya dari jauh. Nada sudah menceritakan hal menyebalkan tadi kepada teman-temannya.

“Yang mana, Nad?” Teman-temannya pun mencari cowok yang ditunjuk oleh Nada, sampai bola mata mereka memicing.

“Itu loh, yang duduk sendirian sambil ngelihatin kita! Kesel banget tahu nggak lihat mukanya!”

“Ooh, Yoga!” seru Tasya—teman kelas Nada.

Mata Nada melotot lebar. “Lo kenal cowok itu?”

Tasya menggeleng. “Kenal sih enggak. Tapi, sepupu gue yang kebetulan satu kelas dan satu fakultas dengan dia itu sering ceritain tentang Yoga ke gue,” jeda sejenak. Tasya dan Nada kembali menatap Yoga bersamaan. “Yoga itu, cowok paling pintar di fakultas hukum. Bahkan, di saat teman-temannya belum kepikiran tentang judul skripsi, dia udah bimbingan aja.”

“Ha? Serius lo?” Cinta, salah satu teman Nada juga ikut berkomentar.

“Iya, ngapain gue bohong. Yoga juga terkenal paling dingin di kelasnya,” jelas Tasya lagi.

“Tapi ngomong-ngomong, cowok itu manis juga loh, bikin gue diabetes,” ujar Cinta sambil menopang dagu saat menatap Yoga. Cewek yang terkenal paling cantik, genit, paling jago dandan, dan paling jago merayu cowok akhirnya memperlihatkan sisi keterampilannya untuk menilai cowok.

Nada terus memperhatikan Yoga dan menimbang-nimbang untuk menghampirinya dan minta maaf. Namun, kalau dipikir-pikir, mengingat sikap Yoga terhadap Nada tadi, membuat Nada mengurungkan niatnya.

“Nad, lo lihat apa sih? Sampai menung gitu.” Tasya menyenggol bahu Nada, dan membuat Nada tersentak.

“Nggak ada.” Nada berdiri dari duduknya. “Gue mau beli jus dulu.” Lantas, Nada beranjak dari kursinya.

Nada membeli jus apel hijau. Tidak tahu kenapa, Nada harus membeli minum itu. Mungkin ketika dia melihat Yoga memesan jus apel tersebut rasanya jadi segar. Setelah mendapatkan jus apel hijau, Nada kembali ke tempat teman-temannya duduk. Ketika berjalan melewati kursi Yoga, Nada disenggol oleh seseorang yang lewat di sebelahnya. Alhasil, membuat just Nada tumpah membasahi meja Yoga. Ralat, lebih tepatnya membasahi skripsi Yoga.

“Apa-apaan ini?” Yoga berdiri dari duduknya sambil berteriak kaget. Mata Yoga memelototi Nada.

“Itu ….” Nada menunjuk seseorang yang telah menyenggolnya tadi, dan orang itu sudah pergi dengan wajah tanpa dosa. “Gue disenggol.”

“Tapi ini ….” Yoga nyaris kehilangan kata-kata. Wajahnya terlihat sangat kesal. “Ini skripsi saya!” seru Yoga kesal.

“Maaf … gue ….” Nada berubah gagu. Nada menatap ke sekelilingnya, semua mata tertuju pada Nada dan Yoga saat ini. “Gue nggak sengaja,” ucap Nada bergetar.

Yoga memejamkan matanya sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. Kemudian, ia coba membereskan barang-barangnya dari meja.

“Sini gue bantu.” Nada hampir menyentuh skripsi Yoga, sebelum cowok itu memukul tangan Nada.

“Nggak perlu,” ketus Yoga. Lalu, Yoga mengambil barang-barangnya dan pergi dari kantin.  

Sedangkan Nada langsung berlari menuju kursi teman-temannya. “Lo lihat tadi nggak?” tanya Nada setelah duduk di kursi.

“Gila, galak amat sih, si Yoga,” celetuk Cinta.

“Mati gue, skripsinya ketumpahan jus apel gue.” Nada menatap Cinta dan Tasya dengan tatapan nelangsa.

“Nggak mungkin juga, lo bikin skripsi baru untuk Yoga, kan?” ujar Cinta polos.

Tasya langsung menoyor kepala temannya itu. “Mana bisa bego. Ya, beda jurusan lah!”

“Nah, itu makanya. Gimana cara ganti ruginya.”

“Bego!” Nada dan Tasya berseru bersama sambil menatap Cinta.

“Lebih baik lo minta maaf aja sama Yoga. Lo datangi tuh, fakultasnya, ngomong baik-baik kalau mau print ulang skripsinya,” kata Tasya menoleh pada Nada.

“Ha? Gue?” Nada menunjuk dirinya sendiri. “Ke fakultas Yoga dan minta maaf?”

“Iya.” Tasya mengangguk semangat.

“Lo nggak lihat tadi, gimana sikap Yoga ke gue? Sama saja artinya gue bunuh diri kalau masuk ke fakultas Yoga. Sedangkan gue nggak tahu dia nongkrong di mana. Dan gue harus teriak-teriak manggil Yoga di lapangan fakultasnya, gitu?”

“Iya juga sih.” Tasya menggaruk kepala.

Nada sudah hilang akal dan menenggelamkan kepalanya di atas meja. “Mampus gue, mampus.”

“Nad, lo nggak akan mampus secepat itu kok. Lagian kan, Yoga juga masih hidup.” Cinta mengelus kepala Nada berulang kali.

“Cin, kalau lo masih ngomong. Gue siram pake kuah bakso ya,” ujar Nada.

“Memangnya gue salah apa sih, Kawan?” Cinta menatap Tasya dengan wajah tanpa dosa.

“Udah, mending lo diam aja ya cantik. Lo cantik, banget, tapi bego,” kata Tasya sarkastis.

Cinta langsung menutup mulutnya rapat-rapat.





<