cover landing

Paracetamol

By indriamaia

“Dek Via, ini resepnya tolong diracik!”

Via dengan jas apoteker berwarna putih gadingnya muncul dari ruang peracikan obat lengkap dengan sarung tangan lateks di kedua tangannya dan mulutnya tertutupi oleh masker berwarna hijau. Mata lelah tercetak di wajah cantiknya saat mengambil rak kecil yang berisi resep.

“Metil Prednisolon 16 mg dan cetirizin 4 mg, dibuat kapsul 12 buah,baca Via pada resep yang ada di dalam rak tersebut. Sambil berjalan ia melakukan skrining resep mulai dari administratif hingga klinis. Setelah yakin semua sudah benar, Via dengan gesit langsung mencari obat yang dimaksud dan siap untuk merubah obat berbentuk tablet tersebut menjadi kapsul. Via menggerus tablet-tablet tersebut dengan semangat dan hati-hati agar obat tersebut tetap steril, selepasnya ia menuangkan serbuk tersebut ke dalam mesin capsule filler agar serbuk obat tersebut masuk ke dalam kapsul.

“Ini, Dek, ada resep lagi.”

Seorang senior menyodorkan rak berwarna biru ke hadapan Via yang baru saja menyelesaikan resepnya. Via menghela napas dan melirik jam dinding, lima menit lagi bagian farmasi Rumah Sakit Griya Sehat tutup.

Via menyelesaikan resepnya dengan baik, tepat ketika pengumuman bahwa fasilitas rawat jalan rumah sakit sudah ditutup. Setelah usai, Via duduk dikursi tunggu rumah sakit sambil memijat bahunya yang pegal.

“Gila! Orang sakit makin hari makin banyak aja, sih,keluhnya sambil terus memijat bahunya.

Via merogoh tasnya dan mengambil ponsel, berharap ada seseorang yang mencarinya. Jari telunjuk Via menekan bagian fingerprint pada ponselnya hingga ponsel 5 inci itu menyala, gadis berambut sebahu itu mengemati notifikasi ponselnya dan menghela napas sabar karena orang yang diharapkannya tidak muncul.

“Vi, aku balik dulu, ya? Makasih kerja kerasnya hari ini!” Sinta, rekan kerjanya di bagian farmasi, berpamitan sambil menepuk bahunya.

“Oke, Sin! Hati-hati dijalan, ya,” balas Via sambil melambaikan tangannya.

Keadaan rumah sakit bagian rawat jalan langsung sepi begitu saja, hanya beberapa lampu temaram masih menyinari meja administrasi. Via menyandarkan tubuhnya pada kursi, wajahnya mengisyaratkan lelah dan butuh asupan energi untuk membuatnya semangat.

“Iel ke mana lagi? Masa udah seminggu nggak kontak, pacaran sama layar mulu sampai lupa sama gue. Parah banget!” dumelnya sambil membaca chat terakhirnya dengan Iel seminggu yang lalu. Iel, kekasihnya.

---

Dopamine

Last seen today at 14.50

Semangat kerja, Ndut! Gue mungkin sering ngilang,
lagi ada proyek. Jd bakalan sibuk coding hehe.

Okidokiyy! Semangat jg Cungkringku!
Jangan lupa makan, gak usah begadang!

---

Via menghela napas panjang, terakhir saja chat-nya hanya dibaca. “Sabar Via, sabar. Nggak boleh manja, inget target dan percaya!”

Namun Via tetaplah seorang wanita yang dianugerahi kelebihan perasaan, hal itu membuatnya lebih sensitif terhadap hal-hal yang kecil. “Tapi dia sempet nge-seen WA, kenapa nggak sempet nge-chat gue dikit gitu?”

Dalam hati kecil Via, ingin sekali jemarinya menghubungi kekasihnya yang ia cintai. Tetapi ketika mengingat segala keluhan dari Iel membuatnya mengurungkan niat. Via tahu bahwa Iel sibuk dengan pekerjaannya sebagai web developer di perusahaan yang besar di Indonesia dan Via sudah menyanggupi akan kesibukan Iel tersebut meski sudah setahun berlalu lamanya.

“Nggak apa-apa, Vi! Semangat!” Via mengantongi ponselnya ke dalam celananya dan keluar dari rumah sakit yang lengang.

Via harus mengenyahkan segala perilaku manja tersebut, dia sudah percaya dengan Iel dan cowok itu tidak pernah mengecewakannya sedikit pun. Via hanya butuh sama sibuknya seperti Iel sehingga pikiran semacam ini tidak akan muncul lagi.

Dan kesibukan yang Via pilih adalah; menyanyi.

***

Seorang lelaki berperawakan kurus sedang sibuk di depan komputernya, jemarinya dengan lincah bergerak di atas keyboard tanpa henti menuliskan kode-kode yang hanya para programmer pahami, matanya menatap tajam untuk meneliti segala huruf yang muncul dari pencetan jemarinya tidak salah alias typo. Karena salah sedikit, maka program tersebut bisa saja error dan dia harus menelitinya kembali. Hal tersebut tentu harus dihindari karena selain membuang-buang waktu, kepalanya bisa semakin sakit karena harus meneliti deretan kode tersebut.

“Istirahat dulu, Yel! Lo udah 4 jam non-stop di depan komputer.”

Iel mendongak, kedua matanya di balik kacamata perseginya melihat jendela. Langit sudah menggelap.

“Woh, udah malam, ya? Gue nggak nyadar,” cengirnya tanpa dosa pada teman yang baru saja memperingatkannya tadi, Zaki.

Zaki berdecak, cowok berjambang itu duduk di atas meja kerja Iel. “Lo tuh jangan fokus sama kerjaan mulu, lo punya kehidupan yang juga harus diurus, Bro!”

Iel tersenyum lebar, memunculkan kedua lesung pipinya yang manis. “Dalam kamus gue kebalik, Bro! Kehidupan yang ngurus gue, karena udah paham sama gue.”

“Gila lo, ya! Mana ada kehidupan sebaik itu mau ngurusin umatnya.”

Iel bangkit menuju coffe table yang ada di pojok ruangan. “Gue contohnya.”

“Ckck, gue turut berbahagia deh, atas rezeki yang lo dapet.”

Iel mengambil cangkir dan mengisinya dengan sebungkus kopi hitam. Kata-kata Zaki tadi mendadak mengingatkannya pada kekasihnya yang sudah tidak dihubunginya selama seminggu. Alivia. Bahkan Via benar-benar tidak menghubunginya sama sekali. Iel menghela napas, memencet tombol pada dispenser hingga air panas memenuhi cangkirnya.

“Yel, gue punya tebak-tebakkan.” Iel melirik Zaki malas, temannya yang satu ini sangat receh tidak ada obatnya. “Hati, hati apa yang bikin pusing?”

Iel mengerutkan dahi, berusaha berpikir karena standar jokes keduanya yang sungguh kontras. “Hatimu?”

“Gue nggak lagi nggombalin elo, Bambang!”

“Nyerah, deh! Males banget nanggepin tebakan lo yang receh.”

Zaki nyengir lebar, cowok itu berjalan mendekati Iel dan mengambil cangkir kopinya. “Ha-Ti-ML.”

Hening. Tak ada suara yang keluar dari bibir Iel dan Zaki masih nyengir nggak jelas. “Lo doang yang nganggap HTML susah, apa kabar Java?”

“Java? Ada yang lebih susah tau!”

“Apaan?”

“WPL.”

“Hah?” Iel menatap kaget Zaki karena merasa asing dengan singkatan itu.

Woman Programming Language,” jawab Zaki santai sambil memainkan kedua alisnya menggoda, Iel tetap menatap datar Zaki dan tidak tertawa meski merasa ada benarnya juga.

“Eh, Via apa kabar, Yel?”

Iel mengaduk secangkir kopinya seraya berjalan mendekati meja kerjanya, cowok itu lagi-lagi tersenyum lebar. “Baik-baik aja.”

“Gue jadi curiga lo nggak kontakan sama dia.”

“Sotoy, lo!” cibir Iel, kemudian ia tersenyum jumawa. “Lo kan jomblo, nggak usah sok tau!”

Omongan Iel membuat bibir Zaki maju beberapa senti, cowok itu akhirnya pergi dan kembali pada mejanya yang terletak satu meter di depannya. Iel menghentikan adukan kopinya, jarinya langsung kembali pada keyboard untuk membuka Whatsapp melalui PC.

---

My ;

Typing…

---

Iel yang berniat mengetikkan beberapa kata di sana mendadak berhenti ketika melihat status tersebut muncul di bawah ID Via. Iel tersenyum senang, menunggu hingga pesan itu selesai terketik. Alih-alih menunggu di ruang chat, Iel memilih melanjutkan pekerjaannya dan melupakan bahwa ia sedang menunggu pesan dari kekasihnya.

            Alivia.

***

… Because I love you, boy. Nae gyeoteuro dagawayo…”

Lagu Korea milik Suzy berjudul I Love You, Boy mengalun lembut keluar dari bibirnya, kedua mata bulat Via menatap layar dengan sedih berharap ia bisa menangis saat ini juga agar rasa sesak dan kesalnya segera mereda.

Because I need you, boy. Kkumeseodo geuriungeol…”

Via sendiri tidak tahu detil makna dari lagu tersebut, tetapi entah mengapa ketika Via menyanyikan lagu tersebut Via merasa sedih. Ditambah Via pernah menonton dramanya dan cukup menghabiskan sebungkus tisu saku. Hanya satu hal yang Via tahu dari lagu itu, lagu itu menceritakan seorang gadis yang begitu mencintai lelakinya dan rela menempuh jalan apa pun untuk terus mencintainya. Bukankah berkorelasi dengan dirinya saat ini?

Via meletakkan mic di sebelahnya, tangannya kembali meraih ponsel dan membuka chat dari dopaminnya. Siapa lagi jika bukan Iel?

Via menggerakkan jemarinya di dalam kolom ketik pesan, tetapi belum sempat ia mengirim, Via kembali menghapusnya dan mengurungkan niat. Dia hanya tidak ingin mengganggu Iel. Alasan Iel tidak menghubunginya pasti karena cowok itu sibuk.

“Gue kenapa jadi menyedihkan gini, sih? Iel itu sibuk, Via! Dia itu programmer, kerjanya di depan layar. Nggak bakalan berhenti kalau kerjaannya belum kelar. Lo kok kolot banget sih maksa Iel suruh merhatiin lo? Kayak kekurangan perhatian aja!” omel Via pada dirinya sendiri. Sedetik kemudian Via kembali merengek kesal dan ingin mematikan ponselnya. Belum sempat ponsel tersebut mati, sebuah notifikasi muncul dan membuatnya loncat kegirangan.

---

Dopamine

Lu ngetik apaan dah, kok gak kekirim2

---

Via otomatis senyum-senyum sendiri sambil membalas pesan untuk sang pujaan hati yang jauh di sana. Segala kekesalannya langsung menguap seketika ketika pesan tersebut muncul dari Iel. Via benar-benar merindukan sosok jenaka, cuek, datar, dan nggak jelas dari Iel. Akhirnya, energi yang ia butuhkan datang juga.

Tak sabar menunggu balasan dari Iel, Via langsung menekan tombol telepon untuk menghubunginya. Tak butuh waktu lama, cowok itu mengangkat telepon.

“Udah gue jamin lo kangen.

Via mendelik, bibirnya sudah bermanuver siap untuk beraksi. “Ya, menurut lo? Lo nggak ngabarin selama seminggu! Lo pikir gue nggak kangen? Gini-gini gue tetep pacar lo ya, gue bisa aja cemburu sama layar yang tiap hari lo tatap, sama keyboard yang tiap hari lo teken-teken, sama mouse yang tiap hari lo sentuh!”

Iel terkikik di seberang sana, membuat hati Via makin berbunga-bunga. Via jadi merasa mereka seperti pas jaman PDKT, rasanya Via jatuh cinta lagi pada Iel. Mendadak dia merasa LDR ada untungnya.

“Ya … lo kan, bisa hubungi gue.

“Iya, terus abis itu gue kena semprot gara-gara buyarin otak lo tentang kode-kode nggak jelas itu!”

“Sabar ya, Vi. Suatu saat yang kita tunggu pasti tiba.

Senyum Via terkembang, matanya menatap layar televisi yang sedang menampilkan video klip salah satu lagu yang sudah di-mute olehnya.

“Gue percaya sama kita, kok!”

 “Pinternya, Gendutku, jadi gemes, ih!”

Via ikut tersenyum mendengar suara Iel yang menggemaskan, tetapi hatinya mendadak bimbang dengan kata-kata Iel yang menyuruhnya bersabar dan menunggu. Sudah sekian kali Iel mengatakan hal tersebut dan lelaki itu tak kunjung bergerak untuk mengikat hubungan mereka menjadi lebih resmi. Bahkan Iel tidak pernah mengenalkannya pada keluarganya. Via tahu keluarga Iel bukanlah keluarga seperti “yang lainnya” dan Via tidak mempermasalahkannya. Bukankah itu bukan masalah yang besar? Toh Via bisa bersikap seakan tidak terjadi apa-apa pada keluarga Iel.

“Kok diem, Vi?”

“Ayah Ibu sehat, Yel?”

“Aah… sehat-sehat aja kok, Vi!”

Hening sejenak, Iel mendadak menjadi diam tidak seheboh tadi. “Titip salam ya, buat Ayah dan Ibu.”

Iel tak langsung menjawab, terdengar suara berisik tidak jelas di seberang sana. Via tersenyum kecut, seakan sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi.

“Oke, Vi. Eh, sori ya Vi, gue mau lanjut kerja dulu. Gue kasih gombalan dulu, deh! Ntar lo wajib bales, ya?”

“Apa?” tanya Via lirih, segaris senyum masih berusaha ia tunjukkan meski Iel tidak melihatnya di sana.

“Roses are—”

“Ih, apaan sih, gombalan basi!”

“Dih.”

“Gue aja, deh! Jika metformin mampu mengontrol gula darah, kalau kamu mampu mengontrol hatikuu.”

Iel terbahak di sana, Via hanya tertawa garing karena sadar dia tidak bisa menggombal. “Aneh banget, ya?”

“Hahaha, kayaknya kita perlu mencoret acara gombalan ini tiap telepon. Stres gue lama-lama dengerin gombalan lo.”

“Sialan!”

“Ya udah, gue balik kerja dulu, ya? Bye my semicolon. I love you.”

 Pip. Hubungan telepon terputus seketika tanpa perlu mendengar jawaban dari Via. Tangan Via langsung terjatuh lemas, matanya menatap kosong layar televisi. Iel masih tetap sama, kabur ketika dia berusaha mengakrabkan diri dengan keluarga Iel. Hal-hal aneh yang sedari tadi ia pikirkan kini semakin jelas, benar-benar membuat bentengnya mulai runtuh.

“Apa ada yang salah dengan hubungan kita, Yel?”

***





<