cover landing

Partner in Crime

By Indah Nur Wakhid

The Walkerville Motel

Siapa yang menyangka kalau menempelkan pupil ke mikroskop ternyata mengasyikkan? Apa yang terlihat di bawahnya tampak luar biasa. Makhluk yang tak kan bisa ditemui secara gampang setiap hari itu bergerak pelan agak meliuk bagai penari perut khas Timur Tengah yang berusaha menggoda iman para bangsawan. Warnanya merah terang dikelilingi serat halus berwarna kebiruan. Perpaduan warna yang segar dan cantik. Wait, ia mengernyit. Makhluknya adalah yang berwarna kebiruan itu, sedangkan merah terang merupakan seratnya. Ia telah terbalik mengidentifikasi sebab komposisi makhluk kebiruan itu lebih tipis, pendek, dan agak transparan dibandingkan makhluk merah di sekitarnya. Ia menambah konsentrasi. Sekarang jelaslah bahwa warna merah terang itu baru bergoyang setelah si biru menggeliat.

Mata Renee mulai sakit. Perempuan itu sering memicingkan mata untuk menajamkan penglihatan. Bentuk matanya bahkan mulai menyipit karena terlalu sering memicingkan mata. Mengamati makhluk mungil di bawah mikroskop selama 5 menit memang terasa melelahkan. Ia berhenti, beralih memperhatikan ruangan sempit tempatnya berada.

Ruangan ini berbentuk persegi ukuran 4x4 meter. Seluruh dindingnya tertutup wallpaper merk Valencia bernuansa keemasan yang memberi kesan glamour sekaligus hangat. Ruangan ini, mungkin, sebelumnya adalah kamar tidur, ruang tamu, atau ruangan lain, selain tempat kerja pengap dan berantakan seperti ini. Sebuah rak buku kecil menghuni salah satu sudut ruangan. Di atas lemari terdapat tumpukan penelitian ilmiah, kardus entah apa isinya, kotak berisi tabung, dan kotak makanan instan yang belum terjamah sampai berdebu. Di samping lemari terdapat tumpukan kardus lain yang katanya berisi file nggak penting.

Agak ke tengah terdapat meja penelitian berisi puluhan tabung bening berukuran mini yang tampak steril dan berbahaya. Lalu sebuah meja kerja dan meja mikroskop. Ruangan ini rasanya mirip kamar anak SMA pecandu pelajaran Kimia yang malas bersih-bersih. Hanya saja tak ada tempat tidur.

Renee lalu beralih ke meja kerja. Kertas coretan berbagai rumus, catatan belanja, dan janji kencan, oh! Orang ini punya pacar. Ia melongok lebih intens pada robekan kertas yang mestinya berasal dari salah satu buku di situ. Di sana tercantum nama sebuah pub, jam ketemu, serta nomor telepon. Bukan, ini bukan kertas yang berasal dari ruangan ini. Ini mungkin berasal dari sang pacar. Kertas ajakan ini diselipkan di bawah pintu, diambil oleh si pemilik ruangan untuk diletakkan di meja kerja supaya ia tidak lupa. Mereka janjian ketemu malam ini jam 7 tepat.

“D. Dian.” Renee membaca nama yang tertera di kertas note dengan tubuh sedikit miring dan kepala meneleng.

Well, orang ini belum tentu bisa menemui pacarnya. Ia menatap prihatin pada seonggok tubuh yang diam tergeletak di lantai entah tidur, pingsan atau mati. Sesaat ia teringat pada seorang pria yang mengisi hatinya, Damar. “Nasib kita nggak jauh beda,” gumamnya. “Nggak bisa ketemu orang yang kita suka.”

Bayang-bayang Damar menari di pelupuk mata Renee. Tak satu pun yang bersifat fisik. Ia ingat senyumnya, caranya menatap, bicara, duduk, bahkan saat menyeruput kopi, dan suaranya yang maskulin cenderung berat masih terngiang-ngiang.

Mengingatnya selama lima menit saja bisa mengobarkan rasa sukanya hingga membara.

Kembali ke meja mikroskop. Renee melihat tempelan di dinding. Tadi ia sudah membaca deretan huruf di situ, tapi sekarang ia bosan dan akhirnya membacanya lagi.

Periksa kelengkapan alat. Tempat dan alat harus dibersihkan sebelum menggunakan mikroskop.

Peringatannya mirip yang biasa dikatakan suster pada perawat yang baru belajar menyuntik. Gadis itu melanjutkan bacaannya.

Cahaya matahari lebih menguntungkan daripada cahaya buatan. Gunakan cermin cekung untuk praktikum dalam ruangan.

Ia tersenyum. Semua peringatan ini memberi tahu bahwa ruangan ini tidak bersifat pribadi. Ada banyak orang yang menggunakan mikroskop itu sehingga perlu ditempel ‘tata cara menggunakan mikroskop.’

Padahal sebaliknya. Ruangan ini sebenarnya sangat rahasia. Hanya diketahui oleh segelintir orang yang berkepentingan, dihuni oleh ilmuwan paling jenius yang dilindungi agen khusus federal.

Yah, dulunya, sebelum dia berhasil mengelabui semua penjaga keamanan dan masuk ke sini.

Renee mengumpulkan temuannya. Beberapa CCTV yang terhubung langsung ke satelit dan penyadap suara. Perlahan dimasukkannya semua perangkat yang telah kehilangan fungsi itu ke dalam tas ransel. Sekarang ia mengambil perangkat penyimpanan komputer untuk menyelamatkan data yang mungkin tersimpan. Dengan cekatan tangannya memisahkan setiap komponen, CD-ROM, Mother Board, VGA, Memory, Sound Card, dan Processor tentu saja. Sesaat ia menimbang-nimbang. Floppy disk si pembaca data bisa saja dihancurkan, tetapi lebih baik ia membuat semua penyimpanan tak pernah ada, bukan?

Akan timbul kecurigaan kalau di sebuah lab misterius tak ada satu pun alat penyimpan data. Akhirnya Renee memutuskan untuk membuat lab itu tampak seperti tempat tak berguna. Ia tersenyum garing. Apakah bedanya pintar, cerdik, atau cerdas? Dia merasa bodoh. Otaknya biasa-biasa saja, tetapi toh dia selalu berada di atas orang-orang pintar itu. Bahkan di atas orang-orang beruntung. Tentu, semacam pekerja keras, begitu dia menyebut dirinya.

Gadis itu lalu menggendong ransel sedikit terburu-buru. Waktunya tidak banyak dan dia sudah membuang-buangnya dengan mengintip mikroskop serta memperhatikan detail ruangan. Perlahan ditutupnya pintu. Sarung tangan steril yang melingkupi kedua tangannya akan membebaskan dia dari masalah sepele seperti sidik jari yang tertinggal.

Sebuah mobil Pontiac pinjaman menunggunya di bawah. Ehm, lebih tepatnya meminjam tanpa izin. Tidak sulit mendapatkan Pontiac itu. Ia sudah memperhatikan bahwa di depan gedung tempat tinggal sementara yang ia huni terdapat apotek 24 jam yang tidak memiliki tempat parkir, kecuali pelataran sempit di depan etalasenya. Salah satu pengunjung rutin adalah seorang anak muda berusia belasan, yang selalu datang dengan mobil Pontiac biru klasik. Pemuda pirang yang kurus ceking itu tampangnya seperti penjaga pom bensin urakan yang senang melarikan diri dari tugas. Pemuda itu sering ke situ, hanya untuk mengecengi penjaga apotek, seorang gadis muda berwajah Hispanik—merujuk pada keturunan Spanyol—yang memang menggoda. Nah, paling cepat pemuda itu akan mengobral gombal selama 30 menit sebelum diusir petugas apotek yang lain.

Tiga puluh menit sudah cukup baginya.

Selain sudah mengetahui perkiraan waktu tersebut, ada hal lain yang menjadikan Renee bertambah yakin untuk ‘meminjam’ Pontiac yang akan laku mahal kalau dibersihkan itu. Ia sudah lama memperhatikan bagaimana anak itu membiarkan kuncinya menggantung begitu saja. Perfect.

Sebenarnya agak berisiko membawa Pontiac. Merk ini sudah dihentikan produksinya pada 2010 lalu karena krisis Amerika. Bisa dibilang, mobil ini tergolong mudah dikenali. Tapi sekali lagi, toh Renee tak kan lama. Terbukti, gadis itu berhasil membawa Pontiac Sunbird 80-an itu menggerung pelan, kembali ke depan apotek. Benar kan? Anak muda itu masih sibuk ngoceh di depan kasir yang sepi, bahkan tidak menyadari bahwa mobilnya sempat dibawa Renee berjalan-jalan.

Gadis itu menuju penginapan murah yang ada di Walkerville, lalu memasuki sebuah kamar sewaan yang kumuh. Hanya terdapat tempat tidur tua, meja kecil untuk meletakkan lampu tidur, dan sebuah meja tulis di dalamnya. Kamar mandinya buruk, air mengalir sangat kecil. Pun airnya sedingin es. Tidak ada pemanas. Ia mengamati tas ranselnya tanpa minat. Kamar ini amat sempit, bagaimana dia bisa membongkar semuanya di sini tanpa menimbulkan kegaduhan?

Lagi pula Renee hanya disuruh mengambil data. Mengambil CCTV dan penyadap, serta membongkar isi komputer lebih kepada tindakan penyelamatan diri sendiri. Dia sudah memisahkan barang yang diinginkan oleh penyuruhnya dan barang yang ia ambil untuk dirinya sendiri. Ia lalu mengambil kantong kecil kedap udara dan pengisap udara portable yang ada di tas ransel yang satu lagi. Dikempiskannya kantong, lalu ia pun memasukkan barangnya sendiri. Tas utamanya dibiarkan menggeletak secara tidak mencolok di samping tempat tidur. Sebentar lagi akan ada orang lain yang mengambilnya.

Benar saja. Tak lama kemudian, Renee mendapat panggilan telepon.

My work’s done.” Katanya ditelepon, memberi tahu penyewanya kalau barang yang mereka inginkan sudah di tangan. “Aku akan mengambil award dan ijazah itu segera.”

Perempuan itu mengedarkan pandang sejenak sebelum keluar dan mengunci pintu lantas berlari kecil menuruni tangga yang bentuknya sepeti siap rontok tiap menit. Penjaga penginapan melihatnya, pasti mengira dia turis lokal yang ingin mencari udara segar dengan riang gembira. Ya ampun, memangnya ada apa di Walkerville? Hanya ada rumah besar dan jalanan lebar. Ya, kadang itu terlihat seperti pemandangan yang asyik. Namun, ia harus kembali ke Detroit dan sampai sana setidaknya sebelum malam.

Sambil berjalan, Renee mengingat semua yang telah dilakukannya. Delapan bulan yang panjang, pikirnya. Ia sudah meninggalkan bangku kuliah untuk pekerjaan besar ini. Ia juga harus melalui serangkaian latihan panjang yang menguras tenaga. Dan malam ini adalah final-nya. Setelah itu, ia bisa pulang, kembali ke kehidupan normal dengan kekayaan tanpa batas serta sebuah ijazah palsu yang tak akan bisa dibedakan dari aslinya. Toh dia nantinya akan bekerja di perusahaan ayahnya sendiri. Tak akan ada yang memeriksa ijazahnya.

Sebuah restoran di pinggir jalan yang memasang gambar taco besar menarik perhatiannya. Neon box-nya berkedip-kedip kehabisan tenaga, tetapi suasana di dalam tampak terang benderang dan ramai. Gadis itu teringat, ia belum makan besar sejak pagi tadi kecuali sepotong sandwichdengan potongan selada layu yang kelamaan di kulkas. Perutnya layak mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Gadis itu melangkah menembus keramaian dengan luwes, meyakinkan semua mata bahwa dia adalah pengunjung setia restoran yang merangkap bar tersebut. Setelah memesan dua jenis makanan beserta soda ukuran medium, Renee menuju toilet. Ia membersihkan tato palsunya dengan cepat di toilet restoran sembari menunggu pesanannya datang.

Renee lalu tersadar. Ia melihat jam tangan. Hm, sebaiknya ia beli take away saja karena dia harus ke taman Belle Isle sekarang juga.

Sebuah pekerjaan lain menantinya...

 





<