cover landing

Post Meridiem

By Daniel Ahmad

Hidup Rami sangatlah normal. Seperti kebanyakan remaja desa lainnya, Rami melewati pubertas sederhana di perkampungan terpencil yang jauh dari gemerlap kota saat itu; tahun 90-an. Lima belas tahun sudah Rami tinggal di Desa Keruak, daerah Bukit Tinggi Trawang, Kabupaten Praya, Nusa Tenggara Barat. Selepas SMP, Rami mulai rajin membantu orangtuanya berkebun. Merawat ladang jagung warisan turun temurun. Apa boleh Rami buat, gedung SMA terdekat berada 10 km dari desa. Sekolah sudah jadi angan. Jarak tak tercapai, biaya tak memadai.

Sore ini Rami pulang dari Hutan Trawang dengan semringah. Buruannya bermacam-macam digendong di bahunya. Kelinci, ayam hutan, ular, dan sekantong buah-buahan, serta tanaman liar yang mereka sebut sayuran.

“Sebentar lagi kami pasti makan enak. Amak (ayah) dan Inak (ibu) pasti suka sekali daging ayam ini. Apalagi Nita dan Dian,” gumam Rami, sepanjang jalan pulang sambil menggigil kedingingan. Maklum, desa tempat tinggalnya berada di atas gunung.

Hutan Trawang adalah dinding alami. Membungkus Desa Keruak dengan lebatnya pepohonan, dan beragam cerita seram. Walau begitu, satu-satunya akses ke Desa Keruak adalah dengan melewati hutan tersebut. Ada jalan berbatu yang mengular di pedalaman.  Jalannya berkelok-kelok menuruni gunung, sekitar 5 km sebelum sampai di jalan utama Kota Praya. Memasuki tahun 1993, jalan tersebut diperluas agar bisa dilalui kendaraan. Sejak saat itu, Keruak mengalami kemajuan pesat, seperti terjangkaunya jalur listrik, dan segala macam bantuan pemerintah.

“Hei, Rami, mbe wah e laik?(Hei, Rami dari mana kamu?), sapa seorang petani yang kebetulan berpapasan. 

“Wah ko jok gawah, Pak (baru pulang dari hutan, Pak),” jawab Rami, ramah.

“Wah, banyak sekali buruanmu itu.”

“Ya, syukurlah, Pak. Sedang beruntung hari ini.”

“Ingat, jangan pergi terlalu jauh ke dalam, jangan sampai melewati jembatan!”

Dendek(jangan) khawatir, Pak. Saya bisa jaga diri.”

Selanjutnya, Rami dan petani itu berpisah di persimpangan empat. Di sana terpampang papan kayu penunjuk arah. Hutan Trawang ke selatan, tebing ke barat, Keruak ke utara, dan Tanah Bangsawan ke timur.

Tidak ada yang spesial di Desa Keruak. Mereka tidak punya hasil bumi yang melimpah, tidak pula wisata yang indah. Namun, setiap pekan selalu ada yang berkunjung ke Hutan Trawang. Sering kali pengunjungnya mampir ke desa. Konon, di tengah hutan juga dibuat papan yang sama, setelah banyak laporan orang hilang dan ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa. Tragis.

Ke utara dari persimpangan—sekitar 200 meter, adalah daerah pemukiman. Rumah-rumah penduduk berbaris memanjang ke utara, di kelilingi pagar besi berkawat dan pohon-pohon khas dataran tinggi. Sudah banyak rumah gedung di Keruak. Dampak era pembangunan yang merata. Bahkan Keruak punya sekolah dasar dan menengahnya sendiri. Ada sekitar 100 kepala keluarga di desa itu. Jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Sebagian penduduk adalah perantau dari luar desa, bahkan ada yang dari luar pulau.

Sampailah Rami di rumah, dan langsung disambut oleh kedua adik perempuannya.

“Kakak bawa apa?” tanya Dian.

Rami jongkok sejajar dengan kedua bocah itu.

“Coba tebak. Ekornya pendek, telinganya panjang.”

“Kucing!” tebak Nita penuh semangat.

“Salah.”

“Kelinci?” tebak Nita lagi.

“Hei! Gantian dong, Kak Nita. Biar Dian yang jawab,” rengek Dian, si Kecil yang manja.

“Ya sudah, sekarang Dian yang jawab.” Rami mencoba jadi penengah.

“Kelinci!” jawab Dian dengan suara lucunya.

“Lho, itu kan jawaban Kakak!” protes Nita.

Merasa jadi biang pertengkaran, Rami memutuskan untuk menutup kuis kecilnya dengan segera, sebelum kedua adiknya menangis.

“Ah, baik-baik. Jawabannya kelinci! Kalian berdua memang adik yang pintar,” ujar Rami seraya memeluk kedua adiknya. Pemandangan itu disaksikan seorang tetangga yang kebetulan sedang sibuk sendiri di halaman rumah.

“Wah, Rami sudah dewasa, ya! Sudah jadi kakak yang baik,” goda Pak Somadi, tetangga sebelah rumah yang sedang angkat jemuran, sambil menggigit rokok.

“Ah, Tuak(paman) bisa saja.” Rami tersipu.

“Rami!”

Sesosok pria tinggi dan tegap memanggilnya. Pria itu adalah Pak Jafar, bapak Rami. Dia sedang memegang palu dan sekeranjang paku. Dari wajahnya yang penuh noda debu, bisa dipastikan dia sedang sibuk memperbaiki sesuatu.

“Iya, Amak.

“Kasih barang-barang itu sama adikmu. Kamu ke sini bantu Amak!”

“Baik, Amak.”

“Ini, berikan pada Inak agar dimasak.” Rami memberikan barang bawaannya pada Dian dan Nita.

“Baik, Kak.”

“Somadi, berhentilah merokok! Benda itu kelak bisa membunuhmu tanpa kau sadari.” Pak Jafar menasehati tetangganya.

Pak Somadi terpingkal.

“Sudah puluhan tahun sejak terakhir kali ada warga Keruak yang mati karena penyakit. Selebihnya, kamu sangat tahu apa yang benar-benar bisa membunuh kita. Iya, kan, Jafar?” Pak Somadi melirik Hutan Trawang, dengan raut wajah yang aneh.

“Terserahlah!” sahut Pak Jafar, tak mau tahu.

“Jafar, apakah mereka masih sering mendatangi rumahmu?” tanya Pak Somadi, membawa percakapan itu jadi lebih serius.

“Mereka?”

“Ya, para penjaga menara.”

“Ah, ya. Hampir setiap malam. Saya sudah bertekad, kalau malam ini mereka masih berani ke rumah, dan masih membawa ide serta teori gila mereka tentang Hutan Trawang, maka saya tidak segan-segan ambil tindakan keras.”

“Kamu selalu keras, Jafar.”

“Oh, kamu belum lihat yang sebenarnya, Somad.”

“Sebenarnya….” Wajah tegang Pak Somadi melunak, berubah jadi ragusebenarnya saya menerima tawaran mereka.”

Pak Jafar terbelalak.

“Kamu gila!”

“Dengar Jafar, kalau apa yang dikatakan para penjaga menara itu benar, maka ini satu-satunya kesempatan kita untuk mengakhiri semuanya. Kita tidak bisa selamanya hidup seperti ini!”

“Kalau kamu ingin hidup yang berbeda, pergilah dari desa ini, Somadi! Tidak ada yang akan berubah. Keruak dan Trawang adalah satu kesatuan, dan hidup kita ini adalah kutukan.”

Pak Jafar menggantung percakapan itu, meninggalkan Pak Somadi yang bimbang. Termenung oleh kata-kata Pak Jafar barusan. Sementara itu, Rami hanya diam. Dia tidak mengerti apa yang baru saja dibicarakan dua orang dewasa itu, yang Rami tahu, bapaknya sudah memanggil, dan kali ini sedikit membentak. Sepertinya perbincangan dengan Pak Somadi sudah membuat Pak Jafar marah.

Kerja bagus, Pak Somadi. Sekarang saya yang harus jadi korban, gerutu Rami.

Rami dan Pak Jafar memutar ke belakang rumah. Mereka sedang mengamati pintu belakang yang rusak akibat angin kencang tempo hari. Beberapa genteng rumahnya juga jatuh diterpa badai.

“Sudah separah ini?” Rami khawatir.

“Ya, cuaca sedang tidak bersahabat. Ini akan jadi musim yang merepotkan bagi kitaOh, ya, kamu pasang grendel pintu! Amak mau perbaiki atap.”

“SiapAmak!”

Kendati berseru siap, Rami tidak lantas melaksanakan tugas. Dia masuk ke rumahnya untuk mengambil radio, lalu setelah menemukan saluran yang pas, Rami mulai bekerja berlatar lantunan lagu klasik kesayangan.

Hari mulai petang. Suara palu dan bunyi-bunyian perkakas mulai hilang. Hampir tidak terlihat lagi ada orang yang lalu-lalang di jalan, bahkan di halaman rumah. Semua warga sudah bersiap di dalam hunian masing-masing. Berkumpul bersama anak dan istri, serta merawat orangtua yang butuh persiapan lebih untuk menyambut datangnya malam.

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIT, tapi Rami dan keluarganya sudah bersiap menikmati makan malam. Hal yang lumrah bagi warga Keruak. Mereka harus makan sebelum pukul 18.00 WIT, atau terpaksa menunggu fajar untuk bisa mengisi perut.

Di meja makan sudah ada Rami, Pak Jafar, Bu Riana, Nita dan Dian. Berkali-kali Bu Riana memuji kelihaian Rami dalam berburu, tanpa melupakan nasihatnya agar Rami tidak pergi terlalu jauh ke jantung hutan. Semua orang tahu akibatnya, karena itu, Bu Riana tidak  pernah lupa mengingatkan. Biarlah dianggap cerewet, asal buah hatinya selamat.

“Kita akan memasuki musim hujan. Karena itu, besok Amak akan pergi ke kota membeli barang-barang untuk perbaiki atap rumah,” ujar Pak Jafar, “dan kalian tidak boleh ikut!” tegasnya, seketika melihat reaksi antusias Nita dan Dian.

“Yah,” protes Dian, kecewa.

Amak akan pergi bersama Rami, kalau Inak tidak keberatan.”

“Mobil siapa yang akan Amak pakai?” tanya Bu Riana.

“Seperti biasa, Amak akan pinjam mobil pikap milik Papuk(kakek/nenek) Sundari. Kami akan berangkat pukul tujuh pagi.”

Rami tersenyum sambil menggigit sendoknya. Dia melirik Dian dan Nita lalu memainkan alis tebalnya, menggoda sang adik yang sedang cemberut karena tidak diajak.

“Curang!” kata Dian.

“Nanti Kakak bawakan boneka.”

“Benar, Kak?”

“Benar, tapi satu untuk berdua.”

Kedua adiknya mengangguk mantap. Tak masalah bagi Dian dan Nita. Mereka sudah terbiasa berbagi mainan. Mereka tak kuasa menahan bahagia, lalu melompat dari kursi untuk memeluk sang kakak. Suasana yang hangat untuk sore yang dingin. Malam akan segera datang, dan Keruak akan menunjukkan wajah aslinya.

*** 

WAKTUNYA TELAH TIBA

Terdengar suara sirene yang nyaring sekali. Membuat pelukan bahagia Dian dan Nita berubah jadi pelukan minta perlindungan. Mereka ketakutan. Mereka tidak pernah terbiasa dengan suara itu walau sudah didengarnya setiap hari.

“Baik anak-anak, waktunya sudah tiba. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan... lakukan!” perintah Bu Riana.

Segera Dian dan Nita membereskan piring dan peralatan makan lainnya. Rami pergi ke depan untuk memastikan pintu dan jendela tertutup, begitu juga dengan semua tirai dan lubang ventilasi. Bu Riana membimbing kedua putrinya agar tidak gegabah karena harus bekerja dalam ketakutan. Dalam kegaduhan itu Pak jafar memejamkan mata, berdoa, memohon agar Tuhan menjaga mereka dari malam ini, seperti Tuhan menjaga mereka dari malam-malam sebelumnya. Lima menit kemudian, sirene berangsur menghilang. Menyisakan kesunyian di permulaan malam.

Rami melihat ke rumah sebelah melalui celah jendela. Tampak tetangganya pun sedang gawat. Mereka berusaha menutup jendela yang tersangkut, sambil uring-uringan karena dikejar waktu. Semua warga tahu, celah sebesar jendela bisa berakibat fatal.

“Kamu bilang engselnya sudah diperpaiki, kan? Kenapa masih nyangkut?” seru seseorang di rumah sebelah. Terdengar jelas karena suasana sangat sunyi.

“Daripada marah-marah, sebaiknya bantu saya menutup jendela ini!” balas seseorang tak mau kalah.

Pak Jafar menyadari kebekuan Rami. Pemuda berambut ikal itu bukan melanjutkan tugasnya, malah sibuk memperhatikan kemelut tetangga.

“Rami, kunci jendelanya!”

“Tapi, Amak. Sepertinya Pak Somadi dalam masalah.”

“Dan apakah itu masalahmu juga?”

Amak sudah ajari saya memperbaiki engsel pintu tadi, biarkan saya bantu perbaiki punya Pak Somadi.”

“Tidak!”

Pak Jafar mencengkeram kedua pundak Rami. Sedikit terkesima akan betapa tegapnya anak kurus itu. Sepintas Rami kelihatan lemah, tapi pendiriannya kuat. Kelemahan Rami hanyalah dia terlalu baik.

“Dengar, Rami. Kita memang hidup bertetangga, bersahabat, rukun dan saling membantu. Tapi di atas pukul enam sore, kita hidup sendiri. Kamu boleh saja pergi membantu mereka, tapi Amak yakinkan padamu, bahwa mereka tidak akan melakukan hal yang sama jika yang tersangkut itu adalah jendela rumah kita.  Sekarang….”

Pak Jafar melepaskan cengkeraman tangannya. Tampak raut terpaksa paham di wajah Rami. Dia mengangguk pelan dan berat.

“Jadilah anak yang baik. Tutup jendela ini rapat-rapat, dan kita lewati malam seperti biasa. Tidak kah kamu lebih ingin melindungi Inak dan kedua adikmu?”

Rami menutup jendela rumahnya rapat. Apa pun kesulitan tetangganya barusan, Rami pura-pura tidak lihat.

“Anak pintar,” puji Pak Jafar, dia berbalik melihat istri dan kedua putrinya. “Sudah siap?” tanya Pak Jafar, disusul anggukan mantap dari anggota keluarganya. “Kalau begitu... Rami, matikan lampunya!”

Tepat pukul 18.00 WIT, Keruak berubah jadi gelap gulita. Lampu di setiap rumah sudah padam, lampu jalan pun dimatikan. Tidak ada cahaya walau hanya percikan korek api ataupun bara rokok. Semua warga kompak dan taat aturan, karena mereka tahu, nyawa mereka sedang dipertaruhkan.

Perlahan tapi pasti, gelap menguasai. Sisa-sisa cahaya merah dilangit sudah terhapus hitam, disinari sedikit cahaya bulan. Dalam hening yang nyata, Rami bisa mendengar suara di kejauhan. Suara lolongan hewan malam, dipadu erangan dan tangisan manusia, menggema di Hutan Trawang. Dian dan Nita memeluk erat ibunya, hingga akhirnya malam semakin larut, dan mereka bahkan tidak bisa melihat jari tangannya sendiri. Gelap. Sekarang, semua diam di dalam rumah. Berharap mereka mampu melalui malam, dan saat pagi datang, anggota keluarga mereka masih dalam jumlah yang sama.

***

 





<