cover landing

Purnama Malam Ganjil

By Ulfa Khairina

Desember 1980

“Malam ini penentu untuk hidup kau, Banjar.” Wijawi menatap Banjar dengan mata merah menyala. Pantulan lidah api yang meliuk-liuk di tengah lingkaran terpancar di matanya semakin menciutkan nyali Banjar.

Banjar tidak menanggapi apa-apa. Matanya berkeliling memandang pengikut Wijawi yang semakin banyak. Malam ini dia akan kembali ke Istana Beringin menjadi orang penting jika mampu melepas teluh. Jika tidak, hidupnya mungkin akan susah mati seperti para pendahulu yang kematiannya harus dibantu dengan membuka atap.

Sama sekali Banjar tidak bisa membayangkan harus hidup terkucil dan kembali bertapa. Setiap malam purnama ganjil harus mengawini perawan suci untuk mendapatkan darahnya. Kekuatanya akan kembali pada bulan ke seratus. Kalau berhasil dia akan tetap hidup, kalau tidak dia akan mati mengenaskan. Banjar tidak bisa membayangkan hal paling buruk ini akan menimpanya.

“Yang Mulia, maafkan hamba,” Banjar menempelkan kedua telapak tangan di depan dada dengan kepala menunduk dan kaki berlutut di tanah.

“Maafmu akan aku terima setelah teluh api kau lepaskan,” Wijawi memandang berkeliling. Tangannya terangkat ke udara. Memberi kode agar ritual di mulai menjelang tengah malam.

“Hamba berjanji, Yang Mulia.” Banjar menunduk, kemudian mulai bersujud saat tabuhan gendang pertama terdengar.

Dung, dung, tak, dung, dung! Dung, tak, dung, dung!

Satu persatu perempuan muda yang masih molek tubuhnya keluar dari lingkaran. Mereka membentuk lingkaran baru di tengah lingkaran besar. Tangan kiri dan kanan meliuk-liuk di atas kepala membentuk gerakan seirama yang indah. Wajah-wajah itu terlihat dingin dengan tatapan tajam.

Pelaku ritual lain mengambil seekor ayam cemani, mematahkan leher ayam sampai mati. Giginya menancap di leher ayam, darah bercucuran. Satu persatu pelepas teluh masuk ke dalam lingkaran. Duduk bersila dengan tangan bersedekap di dada. Tetes demi tetes darah ayam dialirkan ke mulut mereka. Gerakan tangan mereka berubah membentuk gerakan-gerakan. Mata merah tajam. Berjam-jam mereka menari dan bergerak tak tentu arah.

Serbuk-serbuk debu beterbangan di udara menyatu dengan  embun menjelang pagi. Banjar mengulangi berulang kali. Serbuk debu yang dia lepas ke udara tidak beterbangan. Dia terus mengulang dan mengulang. Ketakutan merayapinya bersama dingin malam.

Lengking-lengking mulai terdengar. Teluh sudah menemukan rumahnya. Ada tujuh pelepas teluh, hanya enam lengking yang terdengar. Banjar gagal. Hingga kokok ayam jantan pertama yang terdengar, Banjar tidak mendapatkan korbannya.

“Karena kebaikan hati, aku tidak membuangmu ke hutan larangan. Kau, jagalah Lae Butar.” Wijawi melepas blangkon putih yang dikenakan Banjar dan menggantinya dengan  blangkon hitam.

Banjar bersujud memohon di antara isak tangis. Meskipun tidak akan mati di hutan larangan, dia juga tidak sanggup menjaga Lae Butar. Arwah-arwah yang mengikuti alur sungai tidak semua bisa dia kendalikan.

Wijawi tidak mendengarnya. Dia meninggalkan tanah lapang di tengah hutan diikuti para pengikutnya.

***

Kanaya memandangi satu persatu isi lemari yang berpindah ke dalam koper Mia. Rok berwarna gelap, baju tidur, kerudung, kosmetik, mukena, dan beberapa perlengkapan pribadi lainnya. Naya menghela napas ketika beberapa bungkus mi instan dan susu bubuk yang sudah dibuang kotaknya ikut masuk ke dalam koper berukuran 22 inci itu.

“Kamu masih ada kesempatan untuk mengundurkan diri, Mia. Aku akan bicara pada pihak P2M.” Mia menatap benda terakhir yang dimasukkan ke dalam koper oleh Mia. Sepasang sepatu sandal yang baru dia beli di Matahari Mall sepekan lalu.

Mia tersenyum lebar. Menggeleng. Gelengan kesekian yang didapat oleh Kanaya setiap kali diminta mengundurkan diri. Padahal Kanaya bisa mengurus perpindahan tempat KPM untuk Mia. Kedekatannya dengan beberapa pengurus di sana memberikan kemudahan untuk segala aspek. Beruntung untuk Kanaya yang terbebas dari KPM karena keaktifannya di berbagai bidang organisasi dan kerja sama kampus dengan berbagai pihak. Kebetulan, dia terlibat. Dia hanya perlu mengantarkan lembar laporan disertai sertifikat saja. Semuanya beres setelah dievaluasi dan dinyatakan lulus. Puluhan baksos yang diikuti oleh Kanaya selama kuliah sangat membantunya terbebas dari siksa KPM. Kuliah Pengabdian Masyararakat yang sama dengan KKN.

Mia menarik resleting kopernya dan mengunci dengan gembok kecil. Dia memasukkan kunci ke dalam sling bag coklat muda keluaran merek lokal. Ditatapnya Kanaya lama kemudian berkata, “Kak Kanaya Diandra tersayang. Aku ke sana bukan untuk berperang. Hanya akan memenuhi tri darma perguruan tinggi. Cobalah dimengerti, Kak. Tidak akan terjadi apa-apa kepadaku.”

Kanaya menghembuskan napas berat. Dia sudah mencari tahu tentang desa Sinatas, tidak ada berita terkait yang menceritakan kampung tersebut. Bahkan Google pun tidak memberi petunjuk peta tentang kampung ini. Bukankah ini sebuah kejanggalan dan petunjuk buruk? Susah memang berbicara pada Mia yang terlalu realistis. Apalagi sepupunya ini tidak pernah mau mendengar cerita yang terkadang tidak masuk akal selama Kanaya melakukan baksos di pelosok-pelosok yang cenderung primitif.

“Mia, kamu nggak ngerti. Kampung itu aneh, Mi. Tidak ada dalam google map.” Kali ini suara Kanaya meninggi. Tidak tahan lagi dengan sikap keras kepala Mia.

“Karena itu aku perlu menemukannya dan memasukkan ke dalam google map. Kamu jangan khawatir, Kak. Aku akan baik-baik saja di sana. Aku akan bawa oleh-oleh dari sana. Sebuah buku catatan perjalanan. Aku sudah membawa sebuah buku khusus untuk menulis ceritaku di sana. Aku akan tulis buku seperti Sokola Rimba itu, lho, kak. Bukunya Butet Manurung.”

“Aku harus bilang apa sama miwa (bibi yang lebih tua ayah) dan abuwa (paman)?”

“Nggak ada yang perlu dibicarakan. Mi (ibu) dan abu (ayah) sudah tahu kan aku ikut KPM. Asal kakak nggak lebay saja dengan cerita aneh-aneh pada mereka. Semuanya aman terkendali.”

Kanaya memilih diam sambil mengamati semuanya. Dia sudah lelah berbicara itu-itu saja pada Mia. Pun sepupunya ini sudah membuat keputusan. Dia tidak bisa berbuat banyak selain berdoa untuk kebaikan Mia.

***

Mia dan Kanaya menarik koper dengan susah payah menuju ke titik kumpul semua mahasiswa yang akan berangkat. Ratusan orang berkumpul di lapangan bola dengan jaket almamater biru dengan lambang Universitas Islam Darussalam. Mia berjalan memandu jalan untuk Kanaya sambil melihat peta lokasi mobil penumpang yang akan dia tumpangi. Mobil nomor empat puluh.

“Ini dia!” Mia bersorak girang begitu melihat mobil merah maroon masih baru terparkir dengan angka nomor empat puluh di kaca depan. Lengkap dengan denah posisi duduk setiap penumpang. Mia akan duduk di dekat jendela, bagian depan. “Untung aku duduknya di dekat jendela.”

Kanaya mendengus tidak suka. Bukan perkara duduk di mana. Dia masih tidak rela sepupunya berangkat ke perbatasan dengan segala kemungkinan buruk menanti. Belum ramai di sekitar mobil, meskipun dia melihat koper-koper ditinggal pemiliknya begitu saja di sana. Mereka pastilah sedang berkumpul di suatu tempat. Berbincang dengan teman atau menerima nasihat dari keluarganya. Kanaya merasa ada aura aneh di sekelilingnya. Bukan perasaan biasa yang dia alami di rumah. Kali ini beda.

Kanaya memandang sekeliling saat Mia sibuk mengirimkan pesan ke grup kecamatan Simpang Kanan. Seorang lelaki berblangkon hitam di dalam kegelapan mengintai mereka. Kanaya mengangkat langkah pertama untuk mendatangi beberapa mobil tempat orang tua itu berada.

“Ke mana, Dek?” Sebuah suara menahan langkah Kanaya. Kanaya menunjuk ke arah lelaki berblangkon. Mata Kanaya tidak menemukan lagi lelaki itu. Dia memilih berdiri di sana dan mengobrol dengan lelaki yang ternyata supir mobil nomor empat puluh. Lelaki itu namanya Erwin.

“Mobil mana rupanya kau?” tanya Erwin dengan logat Batak yang halus.

“Bukan aku, Bang. Adikku, Mia.” Kanaya menunjuk ke arah Mia yang sudah duduk di atas kopernya sambil berbalas chat. “Itu orangnya. Abang jaga dia, ya. Dia anaknya keras kepala.”

Erwin melihat ke arah Mia yang sedang duduk sendiri. Hanya sekali lihat saja, dia langsung dapat menyimpulkan anak itu bukan saja keras kepala. Dia terlihat keras di luar, tapi lemah di dalam. Tanpa membuat perjanjian tambahan Erwin mengangguk. Mengiyakan permintaan Kanaya.

Kanaya tidak mengerti mengapa hatinya memerintah untuk percaya pada Erwin. Itulah yang terjadi. Dia mempercayakan sepupunya pada supir yang hanya akan menemani adiknya beberapa jam saja selama perjalanan ke Sinatas. Hanya beberapa menit, Kanaya juga sudah mulai merasa akrab dengan Erwin. Memang Kanaya mudah bergaul dengan siapa saja. Sikap luwesnya memudahkan Kanaya bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan Erwin.

Satu jam kemudian, dari pengeras suara diumumkan jika mereka akan segera berangkat. Beberapa orang memeluk temannya. Keluarga-keluarga ada yang saling berpelukan sambil menangis. Seolah mereka akan pergi takkan kembali. Kanaya mendatangi Mia yang sudah berkumpul dengan beberapa penumpang lain di mopen nomor empat puluh. Kanaya memeluk Mia erat. Sama seperti keluarga lain.

“Kau jaga diri baik-baik di kampung orang,” pesan Kanaya. Logatnya sudah sama dengan Erwin.

Mia tertawa ngakak. Sudah dia tebak, hanya beberapa menit, cara Kanaya berbicara akan rusak dengan logat orang lain. Itulah Kanaya, selalu luwes dan gampang mengikuti cara orang lain berbicara. Nilai lebih dari kakak sepupunya.

Mia masuk ke mobil, sebuah tangan menahannya. Mia agak terkejut. Seorang perempuan berkulit putih pucat dengan tahi lalat menyebar memenuhi wajahnya. Dia tinggi menjulang. Senyumnya terlihat mengerikan. Mia balas tersenyum manis. Kata orang senyum Mia memang sangat manis, dia bisa menenangkan hatinya sendiri dengan senyum manis itu.

“Aku Wirda, boleh kita bertukar tempat? Aku sering mabuk perjalanan, muntah” pinta Wirda. Lebih tepatnya menawar.

Mia menggeleng. Kanaya mengingatkannya berulang kali agar tidak mau bertukar tempat. Katanya, duduk di samping supir akan beresiko pelecehan. Mendengar nasihat Kanaya, Mia menolak dengan alasan yang sama dengan Wirda. Muntah. Wirda tidak menyerah, dia terus merayu dan Mia terus menolak. Kemudian Wirda menyerah dan duduk di samping supir setelah menyapanya sebagai basa basi bentuk keramahan. Sementara Mia memilih memejamkan mata.

“Mia,” panggil Wirda. Mata Mia membuka, Wirda menyodorkan sebatang lolipop untuk Mia. Tanpa ragu Mia membuka plastik pembungkus dan memasukkan ke dalam mulut. Rasa coklat bercampur kacang. Enak sekali.

Mia membuang pandangan keluar jendela. Dia melihat Kanaya melambaikan tangannya pada Mia dengan tatapan sedih bercampur cemas. Mia terus memandangi Kanaya sambil melambaikan tangan sampai menghilang dari pandangannya. Mia menatap lurus ke depan. Matanya berpapasan dengan seorang lelaki berblangkon hitam dengan tatapan tajam padanya. Jantung Mia berdegup kencang. Dia mencoba menenangkan diri.

Di sampingnya Wirda mulai gelisah. Dia terus merapal sesuatu yang tidak jelas terdengar. Seperti nyanyian, tapi bukan sedang bernyanyi. Tepatnya seperti merapal mantra. Wirda berhenti merapal ketika Erwin mengajaknya bicara. Dia terus berbicara tanpa henti dengan Erwin. Membahas hal-hal tidak masuk di logika Mia. Mulai dari cerita hantu sampai ritual yang akan dilakukan di bulan Desember.

Percakapan aneh. Begitu pikir Mia.

“Bang, nanti kita berhenti sebentar, ya. Aku mau bertemu dengan orang tuaku sebentar. Ini mama baru saja WA, katanya akan menunggu di simpang,” pinta Wirda manja.

“Boleh. Apa sih yang nggak untuk dek Wirda,” balas supir itu genit. Mia berdecih dan memejamkan mata. Dasar genit!





<