cover landing

Putri Botol

By Aswi Malik

“Jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu.”

“Aku jauh lebih mencintaimu.”

“Percayalah, aku bukan pembunuh Ayah. Jangan pergi, Bu.”

“Ibu sudah tidak tahan dengan penyakit ini.”  

“Jangan menyusul Ayah begitu cepat, Ibu. Ajaklah aku.”

“Tugasmu masih panjang. Putri harus kuat dan tetap jujur.”

“Sampaikan salamku untuk Ayah, Ibu. Aku mencintai kalian.” Aku berbisik ke telinga Ibu yang tubuhnya mulai dirambati suhu dingin. Aku menciumi pipi Ibu setelah menutup kelopak mata Ibu yang teduh.

Semenjak Ibu meninggal, tidak ada seorang pun yang aku percaya. Di mataku, semua orang sama saja. Pembual. Bermuka dua. Tamak. Pendengki. Pengkhianat. Tidak ada seorang pun yang benar-benar tulus mencintaiku selain cinta Ibu. Tidak ada seorang pun yang ikhlas setengah mati mendukung dan menjagaku selain Ibu.

Di senja ini, aku rindu Ibu. Sangat rindu. Ibu yang selalu aku andalkan dalam segala hal. Aku rindu di mana Ibu selalu memperingatkanku ini-itu. Aku menyesal sering mengelak dan mengabaikan Ibu.

Aku berjanji akan diam dan menurut apa pun ucapan Ibu, asal, aku bisa bertemu lagi dengan Ibu. Sayangnya, impian bertemu dengan Ibu tidak mungkin lagi bisa terjadi. Orang pertama yang mencintaiku dengan sepenuh jiwa dan hati sudah terpisah alam dariku. Namun, hatiku tetap merasa diriku begitu dekat dengan Ibu.

Secara fisik memang sudah terpisah, namun kontak batin terasa sangat dekat. Bagaimana tidak, aku pernah satu tubuh dengan Ibu. Ibu rela membagi udara dan sari makan denganku berminggu-minggu. Darah yang mengalir deras di tubuhku pun darah Ibu. Menurut banyak orang, aku harus bersyukur, Ibu telah mewariskan titisan kecantikan wajah padaku. Memang hidung panjangku mirip ayah, tetapi bentuk lainnya, persis seperti Ibu: bola mata cokelat, bibir kemerahan, dan lesung pipit kanan.

Mereka semua salah jika mengira aku hanya sekadar bersyukur, jika ada kata yang lebih dari bersyukur, itu yang aku rasakan. Sangat bersyukur. 

Semenjak Ibu meninggal, aku hanya sanggup memercayai diriku sendiri. Aku hanya berani mengandalkan satu orang di dunia ini, yaitu diriku sendiri. Di mataku, semua orang sama saja. Pembohong. Licik. Rakus. Cinta harta. Cinta kedudukan. Susah dipercaya. Aku belajar banyak keikhlasan menerima sekaligus melepaskan dari Ibu. Ibu memintaku agar belajar tulus mencintai, sekaligus memaafkan orang yang menyakiti. Ibu melatihku sanggup tersenyum anggun dalam kesedihan, sekaligus tersenyum lembut dalam kekecewaan.

Ibu mendidikku agar mampu membahagiakan dan mengutamakan orang lain ketimbang diri sendiri. Sejak kecil aku dilatih menjadi perempuan yang berhati lembut dan bermental baja. Ibu orang terkuat pertama di dunia yang pernah aku temui. Ibu selalu mengajariku menjadi perempuan tangguh, pemberani, dan adil. Aku berjanji, tidak akan ada yang mampu menggantikan posisi Ibu di dalam hidup dan hatiku. Ibu, ratu bagi rakyat sekaligus ratu penguasa jiwaku. Ibu, guru termulia pertama bagiku, setelah Ayah.

Ayah, orang kedua yang selalu juga kurindukan.

***

Aku kerap menikam keras hatiku dari hujan rindu yang tak pernah reda. Kerinduan yang meluap di hatiku terlalu rumit. Aku sendiri susah memahami hatiku sendiri. Aku kadang merasa tidak waras karena tak mampu mengendalikan hatiku sendiri. Aku sering dibuat tidak sanggup memahami perasaan dan keinginanku sendiri. Aku sudah berulang kali mengingatkan hati, untuk belajar membunuh setiap bibit rindu yang akan tumbuh.

Aku sudah tegaskan pada hatiku, orang-orang yang aku rindukan sudah tidak merindukanku lagi. Namun, degup rindu tak mau peduli. Rasa rindu terus saja berdenyut mengalahkan sejuta rasa lain yang sebenarnya lebih baik untuk hadir.

Aku kesal pada diriku karena tidak bisa menguasai hatiku sendiri. Aku rindu pada orang yang seharusnya tidak boleh aku rindukan lagi. Beban berat rindu ini, bukan karena seseorang yang kurindukan tak berbalik merindukanku. Namun, orang yang kurindukan, tak mungkin sanggup aku jumpai lagi. Rindu ini tidak akan pernah sembuh. Rindu ini takkan pernah tuntas terobati.

Setengah mati aku meyakinkan diriku, bahwa takdir yang kujalani adalah yang terbaik. Aku tidak bisa mengelak karena tidak disodorkan pilihan lain, selain menerima. Aku berusaha keras untuk terus memunculkan rasa ikhlas yang kerap hampir lenyap.

Sore ini, langit di hutan kembali berwarna jingga keunguan. Aku duduk sendiri di tengah hutan yang maha luas. Aku sudah bertahun-tahun berdiam diri di dasar botol kaca ini menyaksikan kawasan sekitarku perlahan-lahan dirambati kekeringan. Tubuhku gerah, serasa hampir terbakar oleh suhu panas yang terus membara.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dalam ketidak berdayaan. Mengisi potongan detik demi detik dengan bernanyi dan selebihnya duduk bisu dengan hati yang penuh rapalan doa, sekaligus ratapan duka. Berdoa di dalam kurungan botol sialan ini adalah puncak  penyiksaan terpanjang yang pernah aku alami. Aku tak berminat menyalahkan siapa pun, itu tak akan mengubah apa-apa.

Aku hanya ingin bebas. Keluar dari botol ini, kembali ke istana demi pendudukku, dan bertemu kesatria.

Tanganku kembali meremas gaun pengantin yang sudah dua puluh tahun membalut tubuhku. Bagi perempuan, mengenakan gaun mekar warna putih ini menjadi impian serta kebahagiaan. Awalnya, aku juga berpikir begitu, nyatanya jalan takdirku berlainan.

Ujian hati dan mental justru hadir bertubi-tubi dan berkepanjangan setelah aku mengenakan gaun indah rancanganku sendiri. Nasib burukku di mulai dua puluh tahun lalu. Tepatnya saat sepuluh menit sebelum ikrar pernikahanku berlangsung dan kemalanganku terus menjeratku sampai sekarang.

Mungkin kamu bingung apa yang sedang aku bicarakan. Tenang saja, waktuku begitu luang. Tidak ada yang bisa kulakukan di dasar botol cembung mengesalkan ini, selain duduk dan melamun. Dengan senang hati, aku akan membuang potongan waktu hidupku sekaligus membunuh bukit kebosanan dengan menceritakan kisah hidupku.

Aku harap kamu lebih mengenalku. Meski kamu tidak tertarik dan tidak ingin tahu tentang aku, aku tetap bersikeras menceritakan kisah hidupku padamu. Kamu boleh menutup telinga, asal, jangan berhenti membaca tentang kisahku ini.

***

Namaku Esladivya. Aku seorang penyihir sekaligus putri, biasa dipanggil ‘Putri’ Esladivya. Aku putri tunggal Raja Hansel dari Istana Dewandalu. Kamu benar, jika menduga aku terbiasa disegani dan dilayani oleh banyak pelayan sedari aku kecil hingga dewasa. Tepatnya, sebelum Ayah meninggal secara mendadak setelah meminum teh. Teh yang sengaja kuseduh sendiri dalam perayaan hari ulang tahunku ke-18. Secangkir teh itu dengan singkat merubah seluruh jalan hidupku.

Kita tidak bisa lahir memilih orang tua sendiri. Kita tidak bisa meminta ingin lahir di tempat dan waktu sesuai keinginan. Begitu pula takdirku, aku tidak pernah meminta lahir dengan ayah dan ibu seorang pemimpin istana, yang secara otomotis memaksaku jadi calon penerus istana. Kebanyakan, orang menilai hanya dari sisi hidup yang terlihat berlimang kemewahan, mereka tak tertarik membayangkan, apa saja tekanan dan beban hidup yang harus dijalani oleh seorang anak raja sedari bayi.

Ayahku, Raja Hansel adalah keturunan ke enam Istana Dewandalu, istana yang cukup terpandang bagi kaum penyihir. Istana Dewandalu terkenal sebagai tempat andalan bagi penyihir maupun kaum kurcaci untuk berobat dari beragam penyakit. Mayoritas penduduk Dewandalu berkemampuan sebagai tabib, penterapi, peracik obat herbal, dan terlatih untuk mendeteksi penyakit secara tak kasatmata. Tidak heran usia penduduk Dewandalu banyak yang berumur panjang. Selain karena mereka paham prosedur terapi penyembuhan, mereka memang menjaga diri dari pola hidup tidak sehat.

Semua keahlian penduduk untuk mendeteksi dan menyembuhkan penyakit bukan berasal dari kemampuan mereka sejak lahir. Semua berkat pelatihan yang digalang atas kebijakan dan kedisiplinan Raja Wals, kakekku.

Raja Wals sengaja mendidik rakyat untuk mempelajari dan bekerja dalam bidang kesehatan. Raja Wals sering memerintahkan pelayan kesehatan untuk menggalangkan kegiatan pelatihan penyembuhan gratis bagi penduduk muda dan mendirikan sekolah umum bidang kesehatan gratis. Hasilnya, dalam satu dekade wilayah Dewandalu terkenal jadi kiblat pengobatan. Tidak heran kota Dewandalu banyak dikunjungi.

Di lain sisi, penduduk Dewandalu sangat terpukul dengan meninggalnya Raja dan Ratu Hansel yang begitu mendadak. Puluhan penduduk merasa bersalah tidak menolong raja dan ratunya sendiri. Mereka tidak peduli hatiku jauh lebih hancur. Aku penyihir berkemampuan penyembuh, namun tidak berkesempatan sanggup mengurangi rasa sakit ayah dan ibuku. Kehilangan singkat kedua orang tua menjadi siksa panjang batinku.

Penduduk Dewandalu, selain bekerja di bidang kesehatan tradisional, mereka bekerja berkebun, menjahit, berdagang, pendidik, ya selayaknya penduduk di berbagai tempat pada umumnya. Rumah-rumah penduduk tersebar di sekitar istana. Kebanyakan rumah penduduk mempunyai corong atau lubang perapian yang diandalakan saat musim dingin.

Aku tinggal di bangunan utama istana, yang berdiri kokoh enam lantai dan diapit dua bangunan sayap istana. Bangunan sayap kanan digunakan untuk bekerja para menteri yang  mengatur segala kebijakan dan hukum tertulis. Sedangkan bangunan sayap kiri digunakan sebagai markas dan pelatihan prajurit keamanan.   

***

 Sedari kecil hidup di istana, aku sudah terbiasa dengan tekanan hidup yang memaksaku dewasa lebih cepat dan sanggup bertahan dengan beragam permasalahan yang lebih umum dan berat. Namun isu satu ini sungguh membuat jiwa dan batinku hancur.

Telingaku terasa terbakar sehabis tersambar percikan isu dari dalam kementerian istana yang mengungkapkan bahwa aku adalah tersangka pembunuh Raja Hansel. Tim medis mengungkapkan bahwa di dalam cairan teh ditemukan kandungan bahan zat berbahaya. Aku tercengang dan kemarahanku langsung meledak-ledak atas fitnah tersebut. Mana mungkin aku membunuh Ayah!

Ayah sedih dan sakit ringan saja, aku khawatir setengah mati. Aku sangat mencintai dan mengagumi Ayah. Sungguh, aku berani bertaruh dengan nyawaku, bahwa aku tidak memasukkan bubuk apa pun ke dalam teh yang kusajikan kepada ayah tercinta, kecuali gula dan serbuk celupan teh hijau. Sayangnya, tak seorang pun percaya ucapanku. Pengakuanku tidak sanggup aku buktikan sekadar melalui lisan.

Aku terpukul dengan kepergian ayah yang tiba-tiba dan misterius. Gelembung penasaranku tentang kebenaran semakin membesar. Sayangnya, tim medis kesehatan istana justru semakin rapat menyimpan kerahasiaan penyebab kematian Ayah. Aku dengar, ibuku, Ratu Gratel sendiri yang memerintahkan untuk tidak menyebarkan informasi kebenaran penyebab kematian Ayah. Tega sekali. Aku, putri kandungnya dilarang mengetahui kebenaran yang maha penting menyangkut nyawa ayahku. Dihadapan publik, tim medis merilis penyebab sakit Raja Hansel adalah serangan jantung. Padahal, sejauh yang aku tahu, Ayah tidak mempunyai riwayat sakit jantung.

Aku diam-diam mulai merasa janggal pada sikap Ibu kepadaku. Sejak kepergian Ayah, tingkah dan tatapan Ibu padaku terlihat berbeda. Ibu sering menghindariku dan sering tiba-tiba mengabaikanku. Ibu masih sering memberiku nasihat ini-itu, meski tak sehangat dulu. Hubunganku dengan Ibu tak seakrab dulu. Ibu seakan sengaja membangun lapisan pemisah dariku. Padahal biasanya Ibu terlampau perhatian. Ibu selalu berhasil berperan sebagai seorang ibu, sahabat, tempat curhat, dan guru tentang segala hal. Paku kesedihan menancap kuat di dasar hatiku. Tatapan Ibu tidak sehangat dan sedalam dulu. Nada suara Ibu tidak selembut dan penuh kasih sayang seperti ketika ayah masih hidup.

Jika perubahan diri Ibu terpukul atas meninggalnya Ayah, itu tidak adil bagiku. Sebab, aku jauh lebih terpukul sekaligus tersiksa. Saat itu, aku baru sebulan lulus dari Sekolah Negeri Sihir Esellese. Waktu terlalu singkat, aku didesak sanggup menerapkan ilmu kepemimpinan, menjamin keamanan istana, memerhatikan kesejahteraan rakyat, dan sederet kewajiban maha berat lainnya.

Aku merasa, Ibu yang sengaja menjaga jarak dariku sama halnya Ibu sengaja memerintahkan untuk merahasiakan penyebab kematian Ayah. Sempat satu pelayan  berujar, Ratu ingin menjaga Putri dari tuduhan pembunuh”. Ingin rasanya aku berteriak, “Aku tidak meracuni Ayah! Aku tidak membunuh Ayah!” Tapi ucapan itu tertahan di batinku. Dan sampai sekarang, aku sendiri tidak tahu apa penyebab kematian Ayah.

Perlahan, para pelayan istana juga menunjukkan gelagat perubahan dalam melayaniku. Pelayan terkesan abai. Tatapan mereka mengandung ketidak senangan, padahal aku berstatus Putri, pemimpin mereka. Perhatian puluhan orang terpusat pada Ibu, bukan padaku lagi. Pelayan sering menatap Ibu penuh iba, sementara menatapku dingin dan terasa enggan melihatku. Banyak orang berubah tidak ramah. Bukankah harusnya mereka memberiku semangat dan perhatian lebih?

***

Sekian banyak pelayan, ada dua pelayan yang mengusikku. Dumairoh dan Yufentus. Aku tertegun pada sikap keduanya yang tetap teduh dan mendukungku. Tatapan mereka serasa memberi sengatan kekuatan untukku.                                               

Pertama, Dumairoh, pelayan makananku. Dumairoh, perempuan separuh baya yang selalu mengenakan pakaian serba tebal. Setelah Ayah meninggal, Dumairoh sering menyajikan makanan ke kamarku dengan tangan bergetar dan mata berkaca-kaca bak ingin menyampaikan sesuatu padaku. Sayangnya, Dumairoh bisu, hanya mulutnya yang tampak mangap-mangap, komat-kamit dan tangan bergerak memperagakan bahasa isyarat yang tak sanggup kupahami. Aku sedih dan Dumairoh memancarkan air muka jauh lebih sedih. Tangan Dumairoh sesekali mengelus-elus dada dengan kepala merunduk gelisah.

Dumairoh sabar menungguiku makan. Air mukanya terkesan prihatin dan seolah ingin meminta maaf. Pernah dua kali tak ada pelayan yang mengikuti, Dumairoh mendekatiku dan mengelus rambutku lembut dengan mata berkaca-kaca seolah memintaku bersabar. Sentuhannya sungguh tulus, namun aku tak mengerti apa maksudnya. Aku sempat ingin belajar bahasa isyarat agar bisa mengobrol dan memahami apa yang ingin disampaikan Dumairoh. Aku pikir, perlu juga bagiku memahami bahasa isyarat. Setidaknya agar mampu merangkul rakyat yang berkemampuan khusus. Sayang, guru bahasa isyarat yang kuundang, di perjalanan mengalami kecelakaan dan hingga kini aku tidak tahu bagaimana keadaannya.

Kedua, Yufentus, pelayan busanaku. Yufentus perempuan berusia lima tahun lebih tua dariku, sudah menikah dengan pelayan penjaga gerbang istana. Seminggu setelah kepergian Ayah, Yufentus yang tertib menyiapkan gaunku setiap hari, tiba-tiba menghilang. Kabarnya, Yufentus sakit. Tiga pelayan keamanan yang kuminta ke rumahnya, mengatakan Yufentus tidak di rumah. Padahal, malam sebelum kami berpisah, Yufentus sehat dan ceria. Kacaunya, Yufentus menghilang saat benar-benar aku butuhkan untuk mempersiapkan kebutuhan gaun di pemakaman Ayah.

Seminggu saat pertama ketemu, Yufentus terlihat grogi dan menunduk saat aku menatapnya. Bak ada yang sedang berusaha Yufentus sembunyikan dariku. Yufentus biasanya memakai rok dan baju lengan panjang, kini hanya memakai rok selutut dan baju berlengan seperempat. Kaki kanan dan kedua pergelangan tangannya penuh perban. Yufentus biasanya semangat membicarakan model gaun, perpaduan warna, dan menjelaskan berbagai jenis kain gaun. Kini Yufentus berubah, jarang berbicara dan lebih sering merunduk. Saat aku tanya penyebab sakit dan perubahan sikapnya, Yufentus menjawab gugup, “Hanya kecelakaan biasa. Tidak ada apa-apa, Putri Esladivya. Maaf, saya turut berduka atas kepergian Raja,” ucap Yufentus, matanya berkaca-kaca dan tangan meremas gaun yang dikenakannya.

***

Harus kuakui, dengan sangat menyakitkan, para pelayan istana masih memperlakukanku dengan baik dan terkesan perhatian hanya karena segan pada Ratu Gretel. Kepergian singkat ayah yang mengejutkan, secara halus berdampak buruk pada kesehatan Ibu. Perlahan-lahan kesehatan Ibu menurun. Ibu sering tiba-tiba sesak napas parah dan kerap tidak sadarkan diri. Aku sudah menyalurkan sekuat tenaga kemampuan penyembuhku, namun Ibu sering menolak.  

“Cukup” atau “Hentikan” atau “Ibu tidak ingin kamu berbalik sakit, Sayang”.  Kadang aku tidak menurut dan tetap menggenggam erat tangan Ibu yang lemah. Ibu kerap sengaja menarik tangannya dari genggamanku.

“Mana mungkin aku tega membiarkan Ibu kesakitan?”

“Simpan saja kekuatanmu, sayang. Kamu lebih memerlukan banyak energi untuk memimpin… Maafkan Ibu tidak sanggup membantumu lebih banyak. Ibu yakin, kamu bukan pembunuh Ayah. Ibu sayang padamu. Jaga apa yang harus kamu jaga. Maafkan Ibu tidak bisa menemanimu lebih lama.”

Meski sudah dua puluh tahun lalu, aku masih ingat jelas sederet kata-kata terakhir Ibu sebelum pergi menyusul Ayah. Butiran bening berpuluh-puluh hari mengalir membasahi pipiku. Belum pernah aku merasa hatiku benar-benar remuk.

Beberapa guru sekolah datang melayat. Di menit-menit awal, aku terhibur atas perhatian mereka. Namun setelah mereka pulang, hatiku kembali terbalut kepedihan. Sampai sekarang aku masih terngiang-ngiang pesan guru Sejarah Sihir saat berbisik ke telingaku sebelum pulang,

“Kuatkan dirimu. Hati-hati pada orang dalam dan terdekatmu.” Aku hanya sekadar mengangguk tipis menanggapi pesan Profesor. Lebih tepatnya, aku belum memahami makna pesannya.

Bergulat dengan rasa ketidak mungkinan, sanggup tidak sanggup, siap tidak siap, aku harus berhadapan dengan segudang tugas kepemimpinan istana. Aku harus melanjutkan peran Ayah sebagai seorang Raja. Meski sesungguhnya belum tiba waktunya bagiku. Terlalu dini. Wajar jika di awal masaku memimpin, ujian dan fitnah terus bertiup kencang ingin melengserkanku. Aku bertahan bukan karena tamak kekuasaan. Aku hanya ingin menjaga apa yang seharusnya terjaga. Menjaga amanah sang raja. Memelihara tradisi. Melanjutkan ritme aturan semesta sebagaimana mestinya, sesuai garis keturunan.

Sungguh tidak mudah menjadi pemimpin muda sekaligus seorang perempuan. Tatapan puluhan pasang mata menyipit tidak senang. Lirikan mereka mengandung kesan meremehkan. Ekspresi wajah mereka seakan tidak yakin pada kemampuanku. Aku hidup penuh tanda tanya di setiap hembusan napas. Aku tinggal dalam kemewahan berbalut potongan rasa sepi. Terombang-ambing aturan istana yang mudah sekali di setir oleh menteri-menteri istana yang umurnya tiga kali lebih tua dariku. Apa pun keputusanku selalu ditanggapi dengan tidak menggembirakan. Contoh kecilnya: mentri pangan, melaksanakan aturanku tentang pembatasan konsumsi bahan pokok makanan dari luar istana dengan setengah hati.

Puluhan hari, aku tinggal di keramaian istana dengan dijerat rasa kesepian. Aku butuh teman untuk berbagi bongkahan keresahan hati setiap hari. Bukan teman seperti pelayan. Aku butuh teman hidup, seorang kekasih. Aku menginginkan pendamping hidup untuk berbagi keresahan hati dan penguat hati.

***

Di dalam botol kaca ini, apalagi yang bisa aku lakukan selain mengingat masa lalu? Merencanakan masa depan, jelas hal yang sia-sia untukku. Aku bagaikan seekor kupu-kupu yang terkurung dalam sangkar. Sayapku perlahan-lahan akan patah, sama seperti fisik dan hatiku yang perlahan-lahan akan lapuk dan rapuh.

Aku hanya berani berangan-angan. Aku berharap bakal mengalami kejadian seperti yang tertulis pada ramalan kuno dalam dongeng ‘Putri Penyembuh’. Bakal ada dua penyihir tangguh penolong seorang putri.

Entah, kapan aku dapat keluar dari kurungan botol yang telah ribuan kali berusaha kutembus dengan mantra. Selalu tidak berhasil. Botol ini terlapisi mantra anti-mantra. Entahlah, bagaimana ceritanya aku dapat mengecil dan terkurung dalam sebuah botol cembung sialan ini. Bentuk botol ini seperti bejana aneh berleher panjang dan terdapat dua lengkungan di sisi kanan-kiri. Lengkungan botol seperti bentuk hati, biasanya aku gunakan untuk melingkar tidur.

Lagi-lagi aku terheran-heran pada jalan hidupku yang berubah menyedihkan begitu singkat. Kepedihanku tidak sebatas ditinggal pergi ayah, ibu, dan rakyat. Aku terusir dari istana bersamaan dengan kenyataan pahit gagal menikah dengan Kesatria. Kekasihku, ikut pergi meninggalkanku, setelah mendengar ledakan fitnah yang merubah seluruh jalan hidupku.

“Dia Putri yang membunuh sang Raja!”

“Sang pembunuh! Jangan biarkan dia mengusai kita!”

Teriakan kebencian dari pelayan terdengar lantang dan langsung menyulap kesakralan suasana pernikahan menjadi ricuh. Para tamu undangan saling pandang mencari kebenaran, tidak ditemukan seorang pun memberi jawaban. Semua orang yang mendengar seolah menjadi boneka fitnah dan terbakar kemarahan tertuju padaku. Satu satu orang ikut-ikutan berseru menyalahkanku, mencaciku, dan memintaku turun dari panggung pernikahan.

Semua itu terjadi lima menit sebelum ikrar pernikahanku berlangsung. Adu mulut antara puluhan pelayan dan rakyat yang saling keras kepala demi menentukan hukuman, entah penjara seumur hidup atau mengusirku dari istanaku sendiri. Semua tersulut emosi. Dengan singkat semua orang mengarakku keluar istana, tanpa peduli usahaku membela diri dan menjelaskan kebenaran. Hatiku tambah remuk menyadari kekasihku justru berbalik badan dan pergi. Kesatria tak memedulikanku yang ditodong puluhan kepalan tangan dan disertai hujan hujatan bersorot mata kebencian. Burung hantu, merpati, dan hewan-hewan ternak berhamburan kabur, menambah suasana genting. Langit mendadak mendung mengerikan.

“Hukum mati sang Putri!!”

 “Usir dia dari istana!!”

Seruan menyakitkan terus bergaung semakin heboh ke arahku. Aku berlari keluar istanaku dengan hati berlumuran luka, yang hingga kini luka itu tak kunjung sembuh.

***





<