cover landing

Remember You

By Ria N. Badaria

Tangan-tangan mengerikan itu terulur ke arahnya, berniat untuk menggapainya, suara seruan sosok-sosok itu terdengar sangat mengerikan di telinganya. Mata sosok-sosok itu menunjukkan berbagai perasaan yang ingin mereka sampaikan. Ia merasakan napasnya mulai sesak, sosok-sosok mengerikan itu perlahan-lahan seperti menghimpitnya, menyudutkannya, membuatnya merasa lebih baik mati saja agar bisa terlepas dari ini semua.

“Tolong! Tolong! Tolong!” suara teriakan orang-orang itu memenuhi sistem pendengarannya.

Tidak tahan menghadapi semua. Ia berteriak sekuat tenaga, tapi sama sekali tidak ada suara yang berhasil ia keluarkan, padahal ia sudah mengerahkan sisa tenaganya. Demi Tuhan ia ingin mereka pergi, ia ingin mereka menghilang dari kehidupannya.

Jantungnya mungkin sebentar lagi akan meledak saat tangan-tangan mengerikan itu menyentuhnya. Dengan sesak luar biasa yang ia rasakan, ia memejamkan matanya, ia yakin sesuatu yang buruk akan terjadi padanya sekarang. Mungkin ia akan mati atau semacamnya, tangan-tangan mengerikan itu mungkin akan membuatnya binasa.

Bara membuka matanya, napasnya terasa tidak beraturan, jantungnya berdetak begitu cepat, sementara keringat dingin bermunculan membasahi dahinya.

“Bara bangun!...Sudah siang, ingat pagi ini kamu harus antar pesanan.”

Seruan yang sangat rutin didengarnya setiap pagi terdengar samar di telinganya. Bara menghela napas panjang, seiring kelegaan yang menyelubungi dirinya. Kakeknya menyelamatkannya kali ini, menyelamatkannya dari mimpi yang benar-benar buruk dan menakutkan, mimpi yang sebenarnya sudah sering mendatangi tidurnya.

“Iya, Kek. Bara siap sebentar lagi,” Bara membalas seruan kakeknya setelah berhasil menormalkan napasnya.

Ia mendudukkan dirinya di tempat tidur, mengusap wajah dengan kedua tangannya, sebelum sekali lagi menghela napas panjang. Kaos oblong yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Bara tersenyum singkat, merepotkan sekali jika ia harus bangun tidur dengan rasa lelah mendera seperti seseorang yang baru saja melakukan lari maraton, alih-alih seperti orang yang baru saja mengistirahatkan diri.

Bara tahu tidak akan ada yang normal lagi dalam hidupnya setelah peristiwa dua tahun lalu, peristiwa yang hampir membuatnya tidak dapat lagi menghirup udara di bumi ini. Peristiwa yang kemudian memunculkan banyak keanehan setelah berhasil mengeluarkan dirinya dari lingkaran kematian.

***

“Kamu jangan lupa antarkan brosur yang sudah selesai dicetak  ke Pak Hari ya, terus setelahnya kamu juga antarkan undangan ke Ibu Wulan.”

Kakeknya terus merinci apa saja yang dikerjakannya hari ini, sesuatu yang biasa ia dengar saat sarapan pagi. Sejak berusia lima belas tahun Bara memang tinggal bersama dengan kakeknya di Jakarta. Setelah nenek Bara meninggal dunia, kakek yang hanya memiliki anak seorang saja, yaitu Ayah Bara, harus tinggal seorang diri di Jakarta. Maka dari itu setelah kepergian neneknya, Bara yang begitu dekat dengan kakeknya memutuskan untuk tinggal dan bersekolah di Jakarta menemani kakeknya, alih-alih tetap tinggal bersama keluarganya di Yogyakarta.

Setelah dua bulan lalu ia menyelesaikan kuliahnya di bidang desain, Bara memberikan semua waktunya untuk membantu kakeknya mengelola sebuah percetakan kecil milik kakeknya. Membantu di percetakan sebenarnya sudah biasa dilakukannya sejak dulu. Meski Bara tidak berencana untuk terus bekerja di percetakan ini sebagai pegangan hidupnya, ia senang bisa membantu kakeknya mengurus percetakan. Sebelum ia mendapat pekerjaan yang diinginkannya.

“Kamu juga harus mampir ke Pak Heru, dia bilang dia mau pesan kartu nama untuk beberapa karyawannya,” kakeknya kembali menambahkan, terkadang Bara berpikir pria berusia 65 tahun ini bukan main cerewetnya. Tapi Bara kagum dengan semangat kerja kakeknya yang masih terjaga di usianya yang sudah renta.

“Bara ngerti, Kek. Setelah selesai sarapan Bara datangin semua orang yang Kakek suruh tadi,” kata Bara, sambil memasukkan suapan terakhir nasi uduk di atas piring sarapannya. “Kakek kan tahu Bara ini orangnya cekatan kalau kerja, jadi nggak usah khawatir.”

Bara tersenyum pada kakeknya yang duduk di kursi di depannya, dengan menghadap secangkir kopi hitam. Kakek Bara hanya mengangguk singkat menanggapi itu semua. Kakek Bara itu termasuk orang yang jarang sekali tersenyum atau bersikap manis, pembawaannya selalu terkesan tegas dan tanpa basa-basi. Tapi di balik itu semua, Bara sangat tahu sikap asli kakeknya, beliau orang yang sangat lembut dan sangat perhatian, hanya saja mungkin beliau terlalu malu untuk menunjukkannya.

Bara bangun dari kursi meja makan, mengambil kunci motor dan helm dari sofa yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Bara mencium tangan kakeknya sebelum melangkah pergi keluar rumah.

“Jangan ngebut kamu bawa motornya,” kakeknya berpesan di balik punggungnya. Sebuah kalimat yang rutin diucapkan kakeknya setiap kali Bara akan pergi dengan motornya. Kalimat yang juga sering ia dengar, setelah kecelakaan mengerikan itu terjadi dua tahun lalu.

“Siap, Kek. Di Jakarta mana bisa ngebut, bentar juga ketemu macet.”

“Jangan bantah kalo orang tua kasih nasihat.”

Bara mengacungkan ibu jarinya, sebelum melangkah pergi ke luar rumah, motor kesayangannya sudah menunggu di halaman depan. Motor yang dibelikan kakeknya saat ia berusia 17 tahun. Motor ini juga menjadi saksi saat pertaruhan antara hidup dan mati dirinya terjadi, sesuatu yang kalau diingat kembali, membuatnya merinding. Mengalami kecelakaan dan terbaring koma selama hampir dua minggu dan terbangun dengan membawa kemampuan mengerikan jelas hal yang tidak menyenangkan untuk diingat kembali, bukan?

***

Rania hanya bisa menatap semua dengan mata basahnya, ini seperti mimpi buruk. Mana mungkin dirinya berdiri di sini, sementara tubuhnya terbaring di atas brangkar dan didorong oleh orang-orang berbaju putih itu. Isakan tangis terus terdengar, ia bisa melihat bundanya menangis histeris, sementara ayahnya berusaha memeluk bundanya untuk menenangkan. Apa yang sedang terjadi dengannya sekarang ini? Mengapa ia tidak bisa bicara pada orang-orang yang disayanginya? Mengapa mereka seperti tidak menyadari keberadaannya?

Rania melihat brangkar pembawa dirinya memasuki UGD, orang-orang yang memakai pakaian putih itu segera menutup pintu, mencegah kedua orang tuanya untuk ikut masuk. Seketika saja ada rasa kosong yang menyergapnya, kalau yang baru saja didorong memasuki ruang UGD itu benar dirinya, lalu sekarang ini mengapa ia bisa berdiri di sini? Rania mendekap mulut dengan tangannya seiring pemahaman yang merayapi dirinya. Air matanya terasa hangat mengalir ke pipinya yang entah kenapa sekarang terasa begitu tipis dan transparan. Mungkinkah, mungkinkah ia benar-benar sudah mati? Juga, apakah dirinya sekarang adalah sesosok hantu yang baru saja meninggalkan tubuhnya?

***

Bara menghentikan langkahnya di depan pintu masuk lobi sebuah rumah sakit, ada keraguan dan sedikit kecemasannya terasa sekarang. Sejak apa yang terjadi padanya ia tidak pernah suka masuk ke dalam sebuah rumah sakit. Banyak alasan yang bisa diberikan Bara jika ada yang bertanya padanya kenapa. Pertama, rumah sakit selalu membuatnya cemas. Kedua, rumah sakit selalu mengingatkan masa-masa menyakitkan selepas kecelakaan yang dialaminya. Dan alasan ketiga, Bara agak sulit mengatakan alasannya satu ini, apa yang diutarakannya mungkin membutuhkan pemahaman yang tidak biasa. Dia tidak menyukai rumah sakit karena di rumah sakit banyak sekali roh yang bergentayangan meninggalkan tubuh mereka.

Apa sekarang kalian sedang mengerutkan kening atau semacamnya selesai membaca kalimat di atas tadi? Seperti yang sudah dikatakan, membutuhkan pemahaman tidak biasa untuk mengerti ini semua. Oleh sebab itu Bara tidak pernah mengatakan alasannya yang satu ini pada siapa pun, termasuk pada kakeknya.

Ketika membuka matanya setelah mengalami koma cukup lama selepas kecelakaan yang dialaminya, Bara merasakan ada keanehan yang terjadi pada dirinya. Ia merasa seperti terus diperhatikan oleh sesuatu yang ia sendiri tidak tahu keberadaannya. Mimpi aneh seperti yang belum lama mendatangi tidurnya, terus mengganggunya sejak saat itu. Hingga akhirnya Bara tiba-tiba bisa melihat sesuatu yang manusia normal tidak bisa melihat, ia bisa melihat roh.

Sekali lagi ini memang terkesan tidak masuk akal, Bara tahu ia akan terdengar tidak waras jika mengakui kemampuan aneh yang dimilikinya. Baginya memang bukan hal yang bisa dibanggakan bisa melihat roh atau semacamnya. Tapi paling tidak, sejauh ini ia hanya mendapati dirinya bisa melihat roh dari seseorang yang tubuhnya masih hidup, bukan hantu gentayangan yang mungkin akan lebih mengerikan dari roh-roh itu.

“Kamu ngapain berdiri aja di situ?”

Suara kakeknya menyadarkan Bara dari ketertegunan, Bara menatap kakeknya yang berdiri tidak jauh darinya.

“Ayo cepat masuk!” Kakeknya menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar Bara segera menyusulnya.

“Bara nggak bisa nunggu diparkiran aja ya, Kek? Sekalian jaga motor.” Bara tetap berusaha mencari alasan untuk tidak masuk, walaupun ia tahu hasilnya akan seperti apa.

“Memangnya motor kamu itu dibuat dari emas, sampai harus kamu jaga?” balas kakeknya berkata tegas.

         Kalau sudah seperti ini tidak ada yang bisa dilakukan Bara selain menuruti perkataan kakeknya. Dengan segenap keengganan yang dirasakan, ia melangkah menyusul kakeknya. Dan benar saja, hawa tidak menyenangkan langsung terasa menyelubungi dirinya. Bara mengedikkan bahunya, ia akan bersikap seolah-olah tidak melihat apa pun jika melihat roh dalam bentuk apa saja di tempat ini. Bara pasti bisa bersikap seperti itu, ia selalu berhasil melakukannya setiap kali ia harus ke rumah sakit mengantar kakeknya memeriksa kesehatan, berpura-pura tidak melihat mereka. Namun entah mengapa hari ini suasananya terasa sangat berbeda.

***

Roh pertama hari ini, dilihat Bara saat mereka berjalan melewati ruang operasi. Roh laki-laki paruh baya itu terlihat berusaha menenangkan istrinya dengan mencoba memeluk istrinya, tentu saja ia tidak bisa melakukannya. Tangannya jelas tidak bisa menyentuh istrinya dan justru menembus badan sang istri. Sementara sang istri histeris setelah mendengar bahwa setelah operasi suaminya akan berada dalam masa kritis. Pemandangan yang sangat tidak nyaman untuk dilihat.

Sesuai yang diputuskan Bara sejak ia menyadari ia memiliki kemampuan untuk melihat roh, ia tidak akan pernah melibatkan dirinya dalam urusan mereka. Ia tidak akan menunjukkan pada roh-roh itu kalau ia bisa melihat mereka. Berusaha untuk tetap hidup senormal mungkin tanpa diganggu urusan dunia tak kasat mata, adalah tekadnya dan itu akan tetap diterapkannya. Jadi sememilukan apa pun roh yang mungkin ditemuinya, jangan harap ia akan mendekat untuk menyapa.

Sampai di lantai 3 rumah sakit, Bara duduk di kursi tunggu, sementara kakeknya masuk ke ruang dokter untuk pemeriksaan rutin jantungnya. Saat menunggu, Bara berusaha keras memfokuskan diri pada layar LCD yang terletak tepat di tengah ruang tunggu. Tapi sayang, hal itu tidak mudah di lakukan. Karena entah berapa menit sekali ia harus melihat roh-roh dengan berbagai rupa harus lewat di depannya. Sebanyak itu kah orang-orang yang sedang koma di rumah sakit ini?

Bara mengusap wajahnya pelan, ia baru saja melihat roh anak kecil yang mungkin baru berusia 5 tahun berlari di depannya.

“Apa yang terjadi, sampai kamu bisa koma di usia sekecil itu?” gumamnya pelan, matanya tetap mengikuti langkah roh kecil itu.

Seorang ibu yang duduk tepat di samping Bara menoleh prihatin ke arahnya.

“Siapa yang koma, Mas? Anaknya atau adiknya?” tanya ibu itu, sepertinya salah paham dengan apa yang dikatakan Bara.

“Ah... Bukan siapa-siapa Bu,” jawab Bara salah tingkah. “Saudara jauh saya.”

Bara tersenyum canggung, ia memang harus menjaga mulut dan gerak tubuhnya di saat seperti ini. Bara mengeluarkan ponselnya, ia benar-benar harus mengalihkan semua perhatiannya sekarang. Bara baru saja akan memulai permainan game di ponselnya, saat  keberadaan roh itu kembali terasa. Bara mendesah jengkel, mengapa ia harus bisa merasakan ini semua?

Sesosok roh gadis muda mengenakan seragam sekolahnya, berjalan perlahan di depan Bara. Walaupun wajah gadis itu terlihat pucat dan transparan,  Bara masih bisa melihat dengan jelas wajah itu basah. Terasa sekali ada kesedihan mendalam di wajah itu, roh gadis itu bahkan tidak peduli jika banyak orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit menembus tubuhnya.

Apa yang terjadi padanya? Keingintahuan Bara seketika muncul, ia masih terlalu muda untuk bunuh diri karena cinta. Atau ia mengidap penyakit yang sangat mematikan? Tapi rasanya tidak mungkin, gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya, jika ia memang sakit ia akan memakai baju pasien rumah sakit ini. Kecelakaan, itu hal yang paling memungkinkan dialami gadis itu.

Bara menghela napas pelan, matanya masih menatap roh gadis muda itu, ada keprihatinan mengikuti pandangannya. Mengapa banyak sekali nyawa-nyawa muda di ambang kematian.

***

Rania berdiri di depan lobi rumah sakit, tepat di samping pintu masuk rumah sakit. Tubuhnya terasa sangat dingin, terasa kosong, apa seperti ini rasanya menjadi roh? Dari ratusan buku yang pernah dibacanya, tidak ada satu pun yang pernah menjelaskan bagaimana rasanya menjadi roh, juga bagaimana seharusnya roh itu bersikap selama meninggalkan tubuhnya. Rania tiba-tiba mengutuki dirinya yang tidak pernah mencari tahu tentang itu semua. Memalukan sekali murid peringkat pertama di sekolah internasional bergengsi tidak tahu tentang ini. Setitik air mata jatuh membasahi tangan Rania yang sekarang menjadi terlihat transparan. Seharusnya ia dulu banyak membaca buku fiksi yang menceritakan tentang roh dan semacamnya, mengapa selama ini ia mengganggap buku-buku itu sampah?

Air mata Rania jatuh semakin banyak, seiring penyesalan yang dirasakan, ia benar-benar sendiri sekarang. Tidak ada yang bisa mendengar dan melihatnya, tidak ada yang bisa ia sentuh. Kenyataan ini membuatnya benar-benar putus asa. Pertanyaan mengapa ia harus mengalami hal mengerikan ini terus berputar di benaknya, menciptakan ketakutan yang mulai menghantuinya.

“Bunda... Rania nggak mau kayak gini, Rania mau sama Bunda dan Ayah.”

Rania menangis sejadi-jadinya, merengek seperti balita yang terpisah dari orang tuanya. Ia bahkan meraung keras, berharap ada yang mendengar tangisannya, berharap ada yang melihatnya dan mendatanginya, untuk sekadar bertanya ada apa. Tapi sekeras apa pun isakan tangis yang dikeluarkannya, tidak ada siapa pun yang menyadari keberadaannya, ia benar-benar tidak terlihat sekarang.

***

 





<