cover landing

Satu Musim Lagi

By adesaragih

Panglima menjulurkan kakinya ke atas meja dengan tubuh menempel di sandaran kursi sambil meregangkan otot-otot kaki yang mulai kaku. Rapat selama tiga jam tadi membuat kepalanya hampir mendidih. Bukannya membahas keuntungan perusahaan,  dia malah disodorkan data hampir dua ribu sepatu yang baru saja launching ternyata reject karena ulah teknisi mixing-nya salah mencampurkan bahan. Seharusnya pria itu tidak memasukkan ethanol ke dalam campuran cat untuk sepatu model baru sesuai saran engineer, sehingga aroma cat itu seperti batang pinus yang terbakar.

Engineer mereka, Diggo, mati-matian membela diri. Dia bersikeras sudah memberitahu pada teknisi dua hari sebelum mereka me-running-kan produk terbaru itu, tapi malah kebablasan. Di lain pihak, Supervisor Departemen Mixing, Julius, balas menyerang Diggo, menuduh tidak memberikan worksheet dan ditempelkan di papan mixing seperti yang dilakukan setiap akan menjalankan produk baru. Dan ujung-ujungnya, semua mencari-cari kesalahan satu sama lain. Saling lempar argumen sudah menjadi nyanyian yang diputar  pada saat rapat produksi, dan hari ini, nyanyian itu diulang lagi.

Rapat dengan urat leher yang menegang baru selesai pukul dua belas siang, membuat perut berbunyi menuntut untuk diisi. Panglima biasanya keluar untuk makan siang, tapi kali ini dia sedikit malas karena mood-nya sedang buruk. Dia sudah menyuruh sekretarisnya memesankan makanan lewat ojek online. Untung aplikasi itu ditemukan di zaman sekarang, pikirnya. Sehingga dia mudah memesan apa pun tanpa harus repot-repot bergerak dari kursi empuknya, dan suhu ruangan yang membuatnya nyaman di balik dinding kaca yang membatasinya dengan para karyawan.

Menjadi CEO di perusahaan yang dikelola ayahnya memang impian Pang sejak kecil. Ayahnya beberapa kali membawanya ke acara perusahaan dan melihat ayahnya dihormati oleh bawahannya, membuat Pang terobsesi ingin menjadi pria itu di masa depan. Dalam pikirannya saat itu, beginilah menjadi seorang bos besar, orang-orang akan membungkukkan badan dan mendengarkan apa kata-katanya. Dia bisa mengatur orang lain, dan orang lain juga akan menurut karena mereka membutuhkan pekerjaan.

Sambil melihat deretan panjang piagam penghargaan yang tertempel di dinding kantornya, dia tersenyum-senyum sendiri, bangga akan pencapaiannya selama ini sejak menggantikan ayahnya, walaupun dia belum bisa sehebat orang tua itu. Setidaknya, dia sudah membuktikan bahwa ayahnya tidak salah memilihnya memimpin perusahaan ini.

“Ups, sorry, Pang. Tampaknya kau sedang bersantai.” Sekretarisnya masuk tiba-tiba dan membuyarkan lamunannya.

“Ah, berapa kali kukatakan, kau harus mengetuk pintu dulu, Li. Kalau kau membawa tamu, mereka pasti langsung jijik melihat kakiku terjulur di atas meja begini,” protes Pang sambil menggoyangkan kakinya yang besar. Dia langsung menurunkan kakinya dan meregangkan kembali otot-ototnya. Dia sedikit mengantuk, tetapi jam pulang masih lama.

“Karena aku tidak membawa tamu, makanya aku masuk saja. Lagi pula, kau sendiri yang berkelakuan aneh. Masa seorang CEO menjulurkan kaki ke atas meja seperti itu.” Lia langsung duduk di seberang meja Pang. Wanita ini memang to the point saja pada Pang karena mereka teman sekelas sejak SMA. Mereka dekat, sehingga Pang tidak bisa marah padanya walaupun kadang Lia tidak bisa menempatkan posisinya di kantor ini, bahwa Pang adalah atasannya.

“Nih, pesananmu. Tumben kau tidak makan di luar bersama Manager Purchasing kesukaanmu itu?” Lia menyodorkan bungkusan berwarna hijau dengan merek dagang terkenal ke hadapan Pang.

Pang menjawab dengan tak acuh, “Aku sedang malas keluar siang ini. Rapat tadi membuatku muak. Dan satu lagi, aku menyukai Riska karena pekerjaannya, bukan karena yang lain.”

“Oh, come on, Pang. Usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan kau belum juga memiliki pacar yang pas. Kau jangan mengajak keluar anak gadis orang dan membiarkan mereka begitu saja seperti membeli buku, kau baca, lalu kau simpan di lemari. Kau mau menjadikan gadis-gadis itu seperti koleksi jam tanganmu?”

“Pacaran hanya menambah masalah, Li. Aku belajar dari kau dan Basti. Waktu SMA, kalian sering bertengkar, sedikit-sedikit merajuk, tugas sekolah tidak beres, ujung-ujungnya aku yang kena masalah karena satu tim dengan kalian,” kekeh Pang.

“Justru di situ nikmatnya pacaran, Pang. Buktinya, kami jadi punya bahan yang diceritakan di masa sekarang. Lagi pula, pacaran memang harus penuh dengan liku-liku, karena itu yang akan membuat kita lebih mengenal pasangan kita. Kalau datar saja, kita tidak akan mengetahui lebih dalam satu sama lain.”

Pang menghela napas. “ Bagiku wanita terlalu banyak menuntut. Aku bukan tipe orang yang suka merayu kalau pacarku merajuk. Dan itu yang akan membuatku gagal setiap berhubungan dengan wanita. Aku paling tidak suka dengan wanita yang hanya diam kalau dia menginginkan sesuatu. Misalnya, makan di mana? Mau ke mana, nonton apa, dan mereka menjawab ‘terserah’, lalu setelah semua pilihan kuputuskan, kalian malah ngambek karena tidak sesuai ekspektasi. Ah, kenapa kalian tidak to the point saja seperti kami?”

“Itulah uniknya wanita, Pang. Mereka akan semakin membuat kalian penasaran.”

“Ya, cukup unik,” angguk Pang, “Sampai-sampai kami kewalahan dengan kalian.”

“Sebenarnya kau hanya perlu belajar memahami wanita. Kau terlalu kaku menjadi laki-laki, dan menganggap semua orang harus mendengarkan perintahmu. Aku paham kalau kau punya istilah, ‘semua harus ikut aturanmu’. Tapi, kau tidak bisa melakukannya pada setiap orang di luar sana. Kau bos di perusahaan ini, tetapi di luar, kau tetaplah orang biasa.”

“Hah… kau sudah mewakili perempuan di luar sana, Li. Mengomel, dan tidak mau kalah.”

Lia terkekeh. “Percakapan itu bukan urusan menang atau kalah, tetapi benar atau salah. Dan menurutku, apa yang kukatakan benar.  Lantas, kau tidak mau memikirkan pernikahan?”

Pang menggeleng cepat. “Tidak untuk saat ini. Aku lebih suka sendiri dan meniti karier. Wanita bisa datang kapan saja ketika pria sudah mapan. Lihat Mr.Mono dari Croosdorrovxe Company, dia menikah di usia 50 tahun setelah menjadi CEO di perusahaannya. Lalu Anglo, si bujang tua yang diejek karena tidak laku, akhirnya menikah dengan gadis berusia dua puluh lima tahun, karena dia menjadi pengacara terkenal. Lalu Anthony, ah… kolega kita yang satu itu. Dia menikah di usia empat puluh tahun setelah mendapatkan warisan miliaran rupiah dari orang tuanya. Intinya, lelaki bisa mendapatkan wanita dengan gampang setelah kaya raya.”

“Oh, kau jangan merendahkan kami, Pang. Kau pikir dengan duduk di kursi itu, memakai dasi dan memiliki uang banyak, kau bisa membeli wanita sesukamu?” Lia menaikkan intonasi suaranya. Tampak dia sedikit tersinggung dengan kata-kata pria di depannya.

Pang mengibaskan tangannya tanpa rasa bersalah. “Aku sedang tidak ingin diomeli. Mending kau selesaikan makan siangmu!” Pang menarik bungkusan makanan yang disodorkan Lia tadi. Aromanya sudah membuat liur Pang tak terbendung. Walaupun kepalanya pusing, bukan berarti perutnya tidak perlu diisi. Sejak pagi dia hanya makan dua lembar roti dan susu cokelat dicampur dengan seiris daging sapi buatan asisten rumah tangganya. Pang memang tidak banyak santapan ketika sarapan. Dia lebih memilih makan banyak di siang hari karena staminanya perlu diganti dengan protein yang lebih tinggi.

“Aku sudah makan. Tadi aku bawa bekal. Oh ya, aku dan Basti akan mengadakan pesta ulang tahun untuk Nina besok malam. Kau harus datang.”

“Memangnya kapan aku menolak undangan suami istri gila seperti kalian?” Mulut Pang penuh dengan makanan.

“Baguslah kalau begitu. Nina pasti senang sekali kalau kau berkunjung. Dia sering menanyakan kabarmu, dan kenapa kau tidak pernah mengajaknya ke Sun Plaza lagi.”

“Yah, kau kan tahu dua bulan ini aku sibuk sekali. Kau sendiri sering lembur karena berkas yang menumpuk. Tapi tidak akan melewatkan ulang tahunnya. Bilang pada Nina, sebagai hadiah, aku akan mengajak kalian ke kampung ibuku di Tebing Tinggi, kemudian kita ke Parapat dan menginap di Danau Toba.”

“Oh, My lovely dude… kau serius?!” Lia hampir terlonjak dari kursinya saking senangnya. “Nina dan Basti pasti tidak mau melewatkannya. Aku tidak sabar untuk memberitahukan berita ini pada gadis kecilku. Thanks, Pang,” kata Lia sambil bangkit. Sebelum dia keluar, mulutnya kembali mengoceh, “Tapi sebaiknya kau terima saja usulku. Coba kau ajak Riska ikut bersama kita, pasti dia tidak akan menolaknya. Lagi pula, kau perlu seseorang untuk mengurusmu ketika di Danau Toba nanti. Jangan mengharapkan aku dan Basti karena kami sekalian berbulan madu.”

Pang sudah siap melayangkan cangkir plastik ke arah Lia, tetapi wanita itu buru-buru menutup pintu sambil terkekeh. Pang menggeleng-gelengkan kepalanya. Berhadapan dengan Lia, dia bisa bersikap santai, tidak bersikap formal seperti yang ditunjukkannya pada karyawan lainnya. Memang kadang mereka berselisih paham, tapi kemudian akrab lagi.

Sebenarnya bukan hanya Lia yang merecoki Pang karena belum memiliki pacar sampai saat ini. Ibunya juga beberapa kali memaksanya supaya segera menikah sebab kakak perempuan Pang juga menikah di usia muda. Namun, karena sampai sekarang kakaknya belum memiliki anak, ibunya berharap Pang bisa memberikan cucu. Berbeda dengan sang ibu, ayahnya tidak terlalu memedulikan pernikahan anak-anaknya. Dia lebih mendukung Pang untuk memajukan bisnis mereka, baru kemudian memikirkan untuk berumah tangga.

Ayahnya selalu berpesan agar tidak menjadikan pernikahan sebagai beban. Dia menekankan pada Pang untuk mencari wanita yang benar-benar mencintainya apa adanya, bukan karena kekayaan yang dimiliki Pang. Bagi ayahnya, wanita yang baik adalah wanita yang bisa menjadi pendorong menuju kesuksesan seorang pria, bukan wanita yang hidup dalam bayang-bayang pria yang sudah mencapai kesuksesannya.

Sambil menyuap makanannya, Pang terpikir kata-kata Lia. Benar apa yang dikatakan sahabatnya. Riska memang menarik. Wanita itu berpendidikan tinggi dan pastinya sangat cocok jika bersanding dengan Pang. Namun, Pang tidak memiliki perasaan lebih pada wanita itu. Beberapa kali Pang mengajaknya makan siang di luar kantor, dan itu tidak berhasil membuat Pang menaruh perasaan khusus. Selain itu, Riska adalah karyawannya dan dia tidak mau menjadi buah bibir karena mengencani anak buahnya sendiri, walaupun sebenarnya sah-sah saja jika itu terjadi. Bahkan banyak drama-drama Korea yang menceritaka seorang CEO menikah dengan karyawannya, dan drama seperti itu mendapatkan rating yang tinggi. Namun sayangnya, ini bukan Korea. Ini Indonesia, di mana kisah-kisah cinta seperti itu harus ditayangkan dengan logika.

Baru saja Pang menyelesaikan makan siangnya, pintu ruangan terbuka lagi, tapi kali ini setelah terdengar ketukan beberapa kali dari luar.

“Tumben kau mengetuk pintu,” ujar Pang begitu melihat Lia sudah berdiri di depannya.

“Kau memang serba salah, Pang. Tadi kau suruh aku mengetuk pintu, dan sekarang kau malah protes,” cercanya. “Julius mau bicara denganmu. Dia di luar. Sebaiknya kau segera menyuruhnya masuk karena aku tidak tahan dengan aroma bahan-bahan kimia yang menempel di seragamnya.”

“Oh, tidak. Jangan bilang kalau dia akan mengatakan teknisinya salah mencampurkan bahan lagi,” keluh Pang dengan nada sedikit lemas. Jujur, dia tidak ingin ada masalah beruntun setelah perutnya kenyang. Dia ingin memikirkan hal lain saat ini.

“Sepertinya bukan itu, karena wajahnya tak sekusut tadi.”

Pang menyuruh Lia untuk memanggilnya, dan pria itu masuk dengan memasang wajah sopan, walaupun Pang tahu, Julius tak pernah bersikap sopan kalau sudah menanggalkan seragam kerjanya di luar sana. Julius dikenal sebagai orang yang urakan dan suka bermain wanita. Namun bagi Pang, selama pria itu bisa bekerja sama dengannya dan bersikap baik di perusahaan, apa pun sikapnya di luar sana dan tidak memalukan seragam perusahaannya, dia tidak mempermasalahkan hal itu.

Julius, pria bertubuh kurus dan wajah seperti rubah masuk ke ruangannya. Benar kata Lia, aroma bahan kimia di pakaiannya membuat ruangan ini sedikit terpolusi. Pang sampai mengerutkan hidung karena dia tidak tahan dengan aroma ethanol.

“Pak Diggo dan beberapa engineer lainnya meminta supaya produk ini dihentikan untuk sementara. Mereka akan melakukan riset ulang dan memberi training pada beberapa teknisi mixing lain supaya kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi,” jelas Julius.

Pang setengah membentak karena kaget sehingga Julius sedikit tergidik. “Baru sekarang mereka melakukan training? Hah! kemarin apa saja yang mereka lakukan? Kalau memang belum bisa dilakukan produksi secara massal, kenapa mereka membuat planning dan menjanjikannya ke supplier?”

Julius tidak menjawab, hanya berdiri dengan menggigit bibirnya. Pang tahu bukan kapasitas Julius untuk menjawabnya. Seharusnya Diggo dan teman-temannya yang memberikan penjelasan, tapi mereka sengaja tidak menemui Pang karena takut diomeli.

Sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, Pang melanjutkan, “Kalau dihentikan, bagaimana dengan pengiriman barang hari ini?”

“Sepertinya akan terlambat, tetapi saya akan bicarakan dengan Planner untuk mengkomunikasikannya pada kustomer.”

“Panggil bagian shipping ke sini! Planner juga sekalian. Aku harus berdiskusi dengan mereka.”

Julius sudah siap berbalik, tetapi kemudian Pang kembali memanggilnya, “Panggil Diggo untuk ikut serta dalam rapat. Seharusnya dia tidak lari dari masalah ini.”

Julius keluar dari ruangan setelah mengangguk sekali, meninggalkan Pang yang menekan-nekan dahinya. Dia memang susah menahan emosi kalau sedang ada masalah. Itu salah satu kekurangannya. Tidak seperti ayahnya yang bisa menahan diri dan berpikir dengan logis. Ayahnya pernah bilang, Pang harus bisa mengontrol emosi jika sedang marah, dan jangan sampai menyakiti karyawannya. Pekerja adalah aset, dan mereka harus diperlakukan sebaik mungkin. Namun terkadang, pekerja yang diberi hati malah meminta jantung, dan di titik itu Pang tidak bisa menerimanya.

Pernah suatu ketika, salah satu operatornya salah mengoperasikan sistem dan mengakibatkan kesalahan laporan walaupun sebenarnya tidak terlalu fatal. Namun saat itu mood  Pang sedang tidak baik, dan dia menyuruh HRD mengeluarkan Surat Peringatan tingkat dua untuk operator itu, dan Pang menjadi buah bibir selama beberapa bulan. Pang tidak peduli karyawannya sering membanding-bandingkannya dengan ayahnya, karena bagi Pang, produksi adalah nomor satu.

*** 





<