cover landing

Secret Origami

By Daisy Moe

Audyra Sativa memandang teman-temannya dari kursi panjang di belakang gudang sekolah. Dari jarak yang cukup dekat, Audy bisa melihat raut ketakutan siswi rambut kucir kuda yang sedang dikelilingi teman-temannya. Daripada ikut aksi mereka, Audy lebih memilih memperhatikan mereka sembari mengunyah permen karet. Teman-temannya mulai memainkan rambut kucir kuda siswi itu dan melepasnya dengan satu kali tarikan. Siswi tersebut hampir jatuh, namun ia bertahan sebisa mungkin. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika ia sampai terjatuh. Ia akan semakin jadi bulanan tiga cewek sadis itu.

High Five. Siapa, sih, di Bright Generation School yang nggak kenal geng satu ini? Terdiri dari tiga cewek cantik dari keluarga kaya, membuat mereka berkuasa untuk merundung siapa pun yang mereka inginkan. Seperti Indah, yang saat ini berdiri dengan badan gemetaran di hadapan tiga cewek itu. Ia menjadi target bully karena kucir kudanya yang katanya mengganggu Ajeng, ketua Geng High Five.

“Kayaknya bentar lagi dia kencing di celana,” ucap Kyla yang tadi melepas ikat rambut Indah dengan kasar.

Ajeng mendekatkan wajahnya ke wajah Indah, kemudian tersenyum licik. “Lo takut?”

Indah mengepalkan tangannya. Ia masih duduk di kelas 10, satu tingkat di bawah Geng High Five. Namun, ia sudah tahu cerita-cerita tentang aksi bully tiga cewek itu. Katanya, jika ia menjawab pertanyaan Ajeng dengan takut, maka Ajeng akan bilang, “Gini aja takut. Gimana menghadapi kekejaman dunia? Pengen nyoba nggak kekejaman dunia?” Dan jika menjawab nggak takut, Ajeng akan bilang, “Dia nggak takut, Gais! Lanjutkan!” Sama-sama akan berakhir dengan aksi bully yang terus berlanjut.

Jadi, Indah memilih diam.

“Dia nggak bisa ngomong, Gais,” ucap Ajeng. Ternyata diam juga sama saja, tidak menghentikan perundungan. Ajeng menyentuh bibir Indah dan menepuk-nepuknya. “Sayang banget punya mulut nggak bisa dipake.”

“Apa perlu kita masukkan dia ke waiting list selanjutnya, Jeng?” tanya Kyla yang berdiri di samping Ajeng. Waiting list yang dimaksud adalah waiting list aksi bully yang setiap korbannya memiliki jadwal masing-masing. Saat ini sudah ada sekitar dua orang yang menjadi target tetap mereka. Jika ditambah dengan Indah, berarti ada tiga orang.

Ajeng menarik napas cukup panjang. Namun sebelum dia menjawab, Audy yang sedari tadi hanya memandangi aksi mereka dari kursi mendadak bangkit, membuang permen karetnya sembarangan, dan berjalan mendekat ke arah teman-temannya. “Nggak ada salahnya memasukkan dia ke waiting list,” ucap Audy sambil menyentuh pundak Ajeng. “Bukannya masih banyak slot kosong?”

Indah mengangkat wajahnya pelan, berharap Ajeng tidak setuju dengan saran Audy. Masih ada banyak hal yang ingin dia lakukan di sekolah. Ia tidak mau menjadi korban bully yang akan membuat kehidupan SMA-nya seperti di neraka.

Namun, harapan Indah tidak terkabul. Ketua Geng High Five itu mengangguk tanda setuju. “Oke. Indah Ayuningsih,” sahut Ajeng, membaca nama lengkap Indah di name tag seragamnya, “jadwal lo setiap hari Kamis saat istirahat. Jangan lupa bawa makan siang buat kami bertiga dan untuk peraturan selanjutnya Kyla akan menghubungi lo.”

Kyla mendekat dan menyerahkan ikat rambut Indah. “Simpan, jangan sampai hilang! Bisa aja ini jadi syarat pertemuan kita selanjutnya,” ucap gadis itu dengan senyuman penuh kemenangan.

Ajeng merangkul Kyla di sampingnya sembari jalan meninggalkan area belakang gudang sekolah. “Target kita sepulang sekolah si Yura kan?”

Kyla mengangguk. “Gue udah suruh dia bawa telur sama susu kental manis.”

Ajeng melepaskan rangkulan dan memandang Kyla dengan antusias. “Lo ada rencana apa?” tanyanya sambil tersenyum senang.

“Akan jadi kejutan,” jawab Kyla.

“Kita pesta!” sorak Ajeng.

Audy yang tertinggal di belakang Ajeng mendahului dan memandang Ajeng. “Gue nggak bisa ikut lagi, ya,” ucapnya. “Gue harus ke kafe. Lo orang tahulah karyawan-karyawan gue itu kerjanya beda ketika ada gue sama nggak ada gue.”

“Emang beda, ya, hidup pemilik kafe,” cibir Kyla.

Audy nyengir. “Gue sebenernya males waktu disuruh handle kafe, tapi Papi udah sibuk banget ngurus bisnis di Jepang,” katanya. “Sori, ya, gue beneran nggak bisa ikut. Have fun lo pada di sana.”

Ajeng mengangguk. “Nggak apa-apa, asalkan besok lo bawa album BTS yang kemarin lo upload di IG.”

Audy langsung membentuk huruf O dengan ibu jari dan jari telunjuknya dan mengarahkannya ke Ajeng. Mereka melanjutkan perjalanan ke kelas masing-masing. Mereka akan berpisah di depan ruang UKS; Kyla dan Audy yang satu kelas akan belok kiri menuju kelas mereka di XI IPS 2, sedangkan Ajeng akan belok kanan untuk menuju kelasnya di XI MIPA 4. Namun, sebelum mereka berpisah, Ajeng menghentikan langkah kakinya di depan mading yang terletak di samping UKS.

“Si Dio kayaknya belum dapat asisten,” ucap Ajeng menatap poster yang dipasang ketua ekskul Jurnalistik, Diorama Dewa yang sedang mencari asisten.

Kyla tertawa. “Siapa juga yang mau jadi asisten manusia garang kayak dia? Mana kerjaannya mencari aib orang la—” Ucapan Kyla menggantung karena cowok yang ia bicarakan tiba-tiba muncul di hadapannya. Kyla menatap cowok bertubuh tinggi itu dengan takut. Benar kata orang, Dio memang ajaib. Dia bisa tiba-tiba datang saat ada orang yang membicarakannya.

Dio memelotot ke arah Kyla. “Lo ngomongin gue?” tanyanya. “Jangan macam-macam sama gue. Kalau gue udah nemu bukti bully yang lo orang lakuin, habis lo orang!” lanjutnya mengancam Geng High Five.

Ajeng tersenyum mencoba merayu Dio. “Yo, apa transferan dari gue kurang?”

Anggota High Five serentak memandang Dio. Namun belum sampai cowok itu menjawab, ponsel Audy berdering dan membuat perhatian mereka teralihkan. “Pacar gue nelpon,” ucap Audy menjauh dari teman-temannya dan menempelkan ponsel ke telinganya. “Yeoboseyo, Oppa,” ucapnya dengan bahasa Korea.

Dibandingkan teman-teman satu gengnya, hidup Audy memang lebih beruntung. Dari segi fisik, banyak yang bilang dia paling cantik di antara dua anggota High Five lainnya. Dengan tinggi 165 cm dan berat badan 50 kg, Audy bisa dikatakan memiliki tubuh yang ideal. Ditambah kulitnya yang berwarna kuning langsat serta hidung mancung dengan tahi lalat kecil di sebelah kiri hidungnya, ia benar-benar tampak sempurna.

Ia juga putri dari keluarga kaya. Selain kaya karena bisnis ekspor papinya, Audy juga memiliki bisnis kafe yang ia kelola sendiri. Nggak benar-benar sendiri, sih, tetap ada campur tangan kakaknya yang saat ini di Amerika. Audy bagian handle kafe secara fisik, sedangkan untuk keuangan dan sistem bisnis semuanya dikerjakan oleh kakaknya.

Meski begitu, dibandingkan semua itu, ada satu hal yang membuat Audy lebih beruntung dibandingkan teman-teman satu gengnya: ia punya pacar oppa Korea. Lee Yoo-Tae, pelanggan kafe yang kini menjadi pacar Audy. Mereka sudah pacaran selama enam bulan dan Audy sering mendapatkan hadiah dari Yoo-Tae setiap bulan, salah satunya album BTS yang sangat diinginkan Ajeng.

Karena keistimewaan Audy itu, anggota High Five lainnya selalu memaklumi saat Audy nggak bisa datang di jadwal aksi mereka.

***

Audy menatap gusar jam tangan Alexandre Christie warna silver di tangan kanannya. Jarum yang berputar di jam tangan itu hampir menunjuk angka tujuh dan dua belas. Mana hari ini hari Rabu. Bisa panjang urusannya jika ia sampai telat. Pelajaran pertama adalah Matematika dengan guru Pak Luki. Jika ia sampai telat, ia tidak boleh masuk kelas.

Audy sudah ada di jalan depan rumahnya menunggu ojek online yang sudah ia pesan.  Beruntung, ojek online yang dipesan Audy datang tepat waktu. Ia tidak perlu membuang-buang waktu dengan menunggu.

Setelah hampir sepuluh menit menempuh perjalanan, ia sampai di depan gerbang sekolah. Ia baru saja melangkahkan kaki melewati gerbang saat tiba-tiba merasa seluruh mata orang yang dilaluinya terarah kepadanya. Audy memeriksa sekeliling untuk meyakinkan diri, dan pandangan mereka semua benar-benar tertuju kepadanya. Audy mengeluarkan ponsel dan memeriksa penampilannya di layar. Tidak ada yang aneh. Ia berpenampilan seperti biasa. Rambut pendek sepundaknya terurai tanpa aksesori. Ia juga tidak merasa ada yang ganjil dengan wajahnya. Ia hanya merapikan alis dan memakai lip balm.

“Kayaknya dia nggak tahu,” ucap seorang siswi yang bisa Audy dengar.

Audy memandang siswi itu dengan bingung. Meminta penjelasan. Tapi percuma, siapa juga yang mau menjelaskan kebingungan anggota geng tukang bully seperti dirinya. Audy hanya bisa mempercepat langkah kakinya dan saat ia sampai di depan ruang BK, dari kaca jendela ia melihat Ajeng dan Kyla berdiri di sana ditemani oleh orang tua mereka.

Kenapa ada orang tua teman-temannya di sana?

“Pak, ada apa, ya?” tanya Audy ke Pak Eko di meja piket depan ruang BK.

Pak Eko memandang Audy dengan heran. “Lho, kamu nggak tahu?” tanyanya balik.

Audy menggeleng.

“Kemarin Yura jatuh dari tangga saat kabur dari teman-teman kamu. Yura mengalami patah tulang dan dirawat di rumah sakit,” jawab Pak Eko yang langsung membuat Audy membelalakkan mata. “Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah.”

Audy mendekat ke ruang guru tempat teman-temannya berada. Ia bisa mendengar sayup-sayup suara guru BK dan kepala sekolah dari dalam.

“Kalian tahu kan sekolah ini melarang keras semua aksi bully,” ucap Kepala Sekolah. “Bahkan saya pernah mengatakan di upacara penerimaan siswa baru, bahwa siapa pun yang melakukan bully maka dia akan dikeluarkan.”

Audy menggigit bibir mendengar ucapan Kepala Sekolah. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang telah teman-temannya lakukan kepada Yura karena ia tidak ada di tempat itu. Teman-temannya hanya bilang akan membawa Yura ke belakang sekolah tempat biasa mereka melakukan aksi.

Jika sampai teman-temannya dikeluarkan dari sekolah, siapa yang akan menjadi temannya di sini?

Tidak ada jawaban apa pun dari Ajeng maupun Kyla. Orang tua mereka juga sama-sama diam.

“Kami akan memberikan surat pindah buat kalian berdua,” ucap Bu Retno, guru BK.

Audy mendadak lemas. Jika ia berpisah dengan teman-teman gengnya, bagaimana dengan nasibnya? Di sekolah ia tidak punya teman selain Ajeng dan Kyla. Audy menelan ludah dengan berat dan menggigit bibir bawah. Saat teman-temannya keluar dari ruangan, Audy mencegat mereka.

“Kok lo orang nggak cerita ke gue?” tanyanya tidak terima.

Ajeng memandang Audy dengan malas, kemudian berlalu dari hadapan Audy.

“Nggak sempet, Dy. Kemaren rusuh banget,” jawab Kyla.

Audy hanya bisa melepas kepergian teman-temannya dengan mematung di dekat pintu yang memisahkan ruang piket guru dengan ruang BK. Mendadak ia merasakan atmosfer yang berbeda di sekolah itu. Sekolah yang dulu ia anggap sebagai tempat yang menyenangkan, mendadak berubah menjadi tempat paling menakutkan. Ia baru saja kehilangan teman-temannya. Ia tidak memiliki satu pun teman lain di sekolah ini. Seluruh penghuni di sekolah ini membencinya, terlebih para siswi yang pernah menjadi korban bully. Mereka pasti sangat membenci Audy.

Audy merasakan perjalanan yang sangat lama dari ruang BK menuju ruang kelasnya yang hanya berjarak empat kelas. Saat ia masuk ke kelasnya ia juga mendapatkan tatapan sinis dari teman-teman sekelasnya. Meski tidak ada Pak Luki yang entah absen karena apa, tatapan teman-temannya yang ia temui saat itu jauh lebih buruk dari tatapan Pak Luki saat ada siswa yang lupa membawa tugas atau datang terlambat.

Bagaimana ia akan menghabiskan hari-harinya di sekolah?

Ia merasa hari itu menjadi hari paling buruk dalam hidupnya. Namun ternyata nasib buruk Audy tidak hanya sampai di situ. Saat Audy hendak duduk di bangkunya, tiba-tiba ia menemukan kotak di atas bangku itu. Audy meraihnya dan memandang kotak itu dengan ragu. Ia ingin bertanya dengan teman sekelasnya namun itu tidak mungkin ia lakukan. Terlebih ketika mereka masih menatapnya dengan penuh rasa tak suka.

Kotak itu ada di bangkunya, berarti itu untuknya. Audy membukanya dengan perlahan dan dari dalamnya ia menemukan kertas origami berukuran 15x15 cm. Selain itu, ia juga menemukan sebuah kertas dengan tulisan cetak di atasnya. Ia membaca tulisan itu dengan perlahan dan isinya kira-kira seperti ini:

"Halo, Audyra Sativa. Kamu terpilih sebagai penerima secret origami. Kamu memiliki tugas menuliskan rahasia kamu di kertas origami. Kemudian lipatlah dan simpanlah di dalam kotak. Kamu harus memasukkan kotak itu di dalam tas dan membawanya ke mana pun kamu pergi. Jika tidak … tentu saja ada hukumannya. Nggak percaya? Buktikan aja!"

Audy tersenyum kecut membaca tulisan itu. Ia kembali meliarkan pandangannya ke seisi kelas. “Siapa yang ngirim ini ke gue?” teriaknya.

Tidak ada tanggapan. Bahkan tidak ada satu pun penghuni kelasnya yang memedulikannya.

“Siapa yang naro ini di bangku gue? Jawab!” teriaknya lagi.

Masih tidak ada jawaban. Audy hanya bisa memandang teman-teman satu kelasnya dengan kesal, hingga akhirnya ia mengalihkan pandangan ke kotak di atas meja. Tugas macam apa itu? Memang dia anak TK yang senang melipat kertas? Audy mengambil kotak itu, kemudian membuangnya ke tempat sampah di depan kelas. Hukuman? Siapa di sekolah ini yang berani menghukumnya?





<