cover landing

Signature Dish

By rinoevans

“Tolong!”

Putu Yuliana terus berteriak sembari berlari tergesa-gesa, sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah si pengejar masih mengikutinya atau tidak. Jalanan yang dipenuhi kerikil kecil menyusahkan dirinya untuk mengindar dari si pengejar. Namun, si pengejar seperti sudah terlatih berlari dalam kondisi jalanan seperti itu.

Ekspresi si pengejar itu tidak terlihat jelas oleh Putu Yuliana. Selain karena tertutupi tudung hoodie, kegelapan malam membantu menyembunyikan wajah si pengejar. Pisau yang digunakan pengejar sebagai senjata terus digenggam erat seperti telah menyatu dengan lengan dan menjadi bagian dari tubuhnya.

Putu Yuliana di ambang keputusasaan. Napasnya terengah-engah dikuasai kepanikan. Jalanan begitu sepi ditelan larutnya pekat malam. Ia seharusnya bisa menikmati waktu istirahatnya setelah lelah bekerja semalaman. Namun, ia malah terlibat adegan kejar-kejaran dengan seorang psikopat yang mengancam keselamatannya.

Putu Yuliana tiba di pertigaan jalan menuju rumahnya, berharap bisa menemukan orang yang bisa menolong. Namun pertigaan itu pun sunyi sehingga ia masih harus berjuang menghindari si pengejar.

TAP!

Tangan si pengejar memegang erat bahu Putu Yuliana. Refleks, Putu Yuliana menepis dan mendorongnya hingga mengakibatkan keduanya terjatuh. Tudung hoodie si pengejar terbuka sehingga kini Putu Yuliana bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Putu Yuliana tersekat. “Ka-kamu?”

Kepanikan Putu Yuliana semakin menguat setelah melihat siapa pengejar itu. Ia beringsut bangkit namun kondisi jalanan yang bertabur kerikil membuatnya kembali terjatuh. Situasi itu langsung dimanfaatkan oleh si pengejar, yang sekarang menahan tubuh Putu Yuliana dengan kaki dan tangannya agar tetap dalam posisi tengkurap.

“Tolong! Maafkan saya!” rengek Putu Yuliana, air matanya merebak oleh ketakutan serta keputusasaan.

Si pengejar tidak menghiraukannya. Ia tetap mengayunkan pisaunya, lalu .…

“Saya tidak bermaksud—”

SREB!

Pisau itu merobek kulit lalu menembus daging yang kenyal dan mungkin juga merusak jantung Putu Yuliana. Gadis itu hanya bisa memekik kesakitan. Ia bisa merasakan dinginnya pisau itu menembus dari punggung hingga dada. Bagian tubuhnya yang lain terasa kaku, seolah seluruh sarafnya mendadak mengalami malfungsi.

Putu Yuliana menyadari bahwa ini adalah akhir dari hidupnya. Di tengah momen sakaratul mautnya itu, sayup-sayup ia mendengar si pengejar mendesis, “Appetizer .…

 

***

22.03

Dua jam sebelumnya

 

Risotto kurang seasoning, balik!” teriak Chef Michael sembari melempar fry pan berisi adonan risotto ke arah section cold kitchen.

Yes, Chef!” Seseorang yang berada di section itu menimpali perintah dengan rikuh. Semua juru masak di sana terlihat sangat sibuk.

Panci melayang dan umpatan-umpatan kasar sudah menjadi hal lumrah di Salt & Grill Restaurant, rumah makan premium di Sanur, Bali. Para chef di sana sudah terbiasa dengan tekanan yang tercipta di dapur karena mereka yakin kedisiplinan merupakan kunci sukses agar hidangan dapat tersaji dengan cita rasa yang sempurna. Hal itulah yang membuat Salt & Grill menjadi restoran favorit di Sanur.

Salt & Grill menjadi daya tarik bagi para chef di seluruh penjuru nusantara yang ingin menjadi bagian dari restoran itu. Tokoh di balik suksesnya Salt & Grill adalah Chef Michael Tanubrata, sang head chef sekaligus owner berkebangsaan Singapura yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia professional kitchen.

Kemampuannya sudah diakui oleh juru masak-juru masak terkenal di dunia, seperti Gordon Ramsay, Wolfgang Puck, serta Nusret Gocke. Bahkan ia memiliki koneksi yang baik dengan Juna Rorimpandey dan Edwin Lau. Profil ini berimbas pada Salt & Grill dan menjadikannya salah satu restoran yang berperan penting dalam dunia kuliner Indonesia.

Meskipun prestasinya gemilang, bukan berarti Chef Michael mampu membuat semua juru masak di restorannya memiliki cita rasa yang sama tanpa tekanan serta kedisiplinan tinggi. Itulah alasan Chef Michael selalu memimpin jalannya kitchen setiap malam. Matanya selalu tajam menilai kinerja setiap juru masak. Telinganya selalu jeli mendengar setiap tiket pesanan. Mulutnya senantiasa melontarkan umpatan-umpatan demi memicu semangat para juru masak dan lidahnya selalu tepat mengecap setiap detail rasa dalam satu suapan.

Chef Michael berdiri tegap menatap salah satu juru masak di section cold kitchen, yaitu Ardi Sanjaya. Ia tahu bahwa kelemahan Ardi adalah hidangan pembuka bernama risotto. Sudah sepuluh kali risotto milik Ardi tak memenuhi standarnya, sehingga malam ini Ardi selalu menjadi pelampiasan amarah Chef Michael.

Risotto berapa lama?!” bentak Chef Michael ke arah Ardi. Ia begitu kesal masakan itu tak kunjung matang sampai-sampai ia harus menangihnya.

Yes, Chef!” sahut Ardi rikuh mengaduk-aduk adonan risotto.

“Apa yes Chef-yes Chef?!” Chef Michael mendekati section cold kitchen. “Saya gak butuh yes Chef kamu, saya butuh risotto!”

Dengan tergesa-gesa, Ardi menyerahkan fry pan berisi adonan risotto. Tanpa membuang waktu, Chef Michael mulai mengaduk-aduk dan mengecap sedikit hasil masakan Ardi.

“Terlalu lembek, ulangi!” ujar Chef Michael sembari melempar fry pan itu ke tempat sampah. “Eh, Ardi, kamu di sini sudah berapa lama? Masa bikin risotto aja harus balik beberapa kali!”

“Maaf, Chef,” balas Ardi pasrah. “Saya janji, selanjutnya akan lebih baik.”

“Halah! Gak usah kamu janji-janji sama saya, udah kayak caleg aja!” hardik Chef Michael. “Sekarang balik, bikin risotto yang memenuhi standar saya!”

Ardi mengangguk cepat dan membalikkan badannya.

“Eh, tunggu,” kata Chef Michael, menahan Ardi yang telah beranjak beberapa langkah. “Tadi kamu bilang mau izin pulang lebih awal kan? Lebih baik kamu pulang sekarang daripada bikin kacau di dapur saya!”

Ardi menghela napas berat sembari mengangguk. “Yes, Chef.

Tak ada yang memedulikan kepergian Ardi, semua orang sedang fokus mengerjakan hidangan di section masing-masing. Kejadian seperti tadi memang sering terjadi di dapur, bahkan ada yang langsung dipecat saat itu juga.

Malam ini Ardi memang membuat kekacauan di cold kitchen karena risotto, berbanding terbalik dengan yang terjadi di hot kitchen. Ni Made Nadira Anastasya merasa malam ini adalah malamnya. Banyak menu hidangan malam ini yang telah ia kuasai, beberapa bahkan ada signature dish miliknya, sehingga performanya sangat baik dibanding juru masak lain.

Setelah memulai kariernya di Salt & Grill sebagai seorang helper yang membantu juru masak menyiapkan atau sekadar memotong bahan-bahan masakan, tiga bulan kemudian ia diangkat menjadi commisjunior chef yang memasak hidangan. Banyak yang kagum akan pencapaiannya ini karena lazimnya seorang helper butuh setidaknya satu tahun untuk naik menjadi seorang commis. Namun peningkatan drastis itu juga membuat beberapa orang di Salt & Grill curiga Nadira menempuh jalan pintas agar bisa sampai ke tahap itu dalam kurun waktu yang singkat.

Walau begitu, Nadira hanyalah seorang perempuan yang fokus pada mimpinya untuk menjadi chef berkelas. Ia tidak akan mendengarkan cibiran-cibiran yang justru akan menghambat lajunya menuju tujuan utama. Ia hanya akan terus menyajikan hidangan-hidangan bercita rasa tinggi.

Chef Nadira, butuh berapa lagi potongan ayam untuk menu tandoori?” tanya Hani, seorang helper pengganti Nadira di section hot kitchen.

“Buat jaga-jaga, dua dulu, Han. Soalnya udah gak ada tiket yang pesen tandoori,” jawab Nadira tanpa memalingkan fokusnya dari menata dua hidangan chicken tandoori terakhir malam ini.

Hani hanya mengangguk sebagai balasan dan berlalu menuju section butcher­—section yang mengurus daging-daginganuntuk mengoordinasikan ayam yang dibutuhkan.

“Dua tandoori udah, Nad?” tanya Chef Wayan Tirta—chef de partie dari section hot kitchen.

Ready, Chef.” Saat menjawab pertanyaan itu, Nadira memalingkan pandangannya ke arah si penanya. Berbeda dengan Hani, Wayan Tirta ini adalah seniornya di section hot kitchen. Jika di sebuah perusahaan, chef de partie setara dengan supervisor yang bertanggung jawab memimpin divisi.

“Langsung ke table waiter,ya, biar cepet di-serve. Jangan sampe Chef Michael marah-marah di section kita.”

“Baik, Chef,” balas Nadira sembari mengangkat dua hidangan chicken tandoori dengan nampan dan berlalu menuju waiter table.

Jarak waiter table dengan section hot kitchen tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa detik, Nadira sudah meletakkan dua hidangan itu dan menekan bel. “Dua chicken tandoori ready to serve.

Beberapa saat setelah Nadira menyerahkan dua hidangan di waiter table, Chef Michael datang mengambil secarik kertas di waiter table yang merupakan tiket pesanan terakhir malam ini. Head chef itu bergegas menuju bagian tengah dapur agar suaranya terdengar di seluruh section.

Last order ticket!” seru Chef Michael menggelora. “Dua risotto, satu caesar salad, tiga tenderloin, dan tiga chocolate lava!”

Selagi Chef Michael membacakan pesanan, para juru masak menyebutkan ulang pesanan yang menjadi tugas masing-masing.

“Dengar!” seru Chef Michael tegas, menarik perhatian seluruh juru masak di dapur. Mereka menghentikan aktivitas sementara untuk menunggu kelanjutan komando sang head chef. “Saya ingin semua ready dalam dua puluh menit!”

YES, CHEF!!!”

***

23.17

 

Nadira menyelesaikan tugasnya hari ini. Setelah menyiapkan hidangan terakhir ia membantu para helper melakukan mise en place—membersihkan dan menata ulang perlengkapan di kitchen. Meski sebenarnya mise en place adalah tugas para helper, naluri seorang helper belum lepas dari diri Nadira sehingga ia pun ikut membantu. Lagi pula, beberapa teman dekatnya adalah seorang helper.

Pada saat Nadira sedang membersihkan pisau-pisau dapur, sekelompok commis wanita keluar dari toilet. Salah satu dari mereka adalah Putu Yuliana. Wanita itu menatap sangsi ke arah Nadira.

“Liat tuh, si Nadira, caper banget, ya?” bisik Putu Yuliana kepada orang terdekatnya. “Sok-sokan bantuin helper.

Lalu orang yang diajak berbisik ikut menatap ke arah Nadira. “Iya, padahal hari ini bukan bagiannya beres-beres.”

Wanita lain dari gerombolan itu menimpali, “Mungkin cuma itu cara dia buat naik jabatan. Buktinya baru tiga bulan aja udah langsung jadi commis.”

Putu Yuliana dengan tampang meremehkan berucap, “Ya udahlah, mungkin mentalnya dia cuma jadi seorang helper.”

Kelompok wanita itu cekikikan sembari berlalu menuju locker room. Tanpa mereka sadari, Nadira dengan saksama mendengarkan pergunjingan itu. Ia sudah sering mendengar cibiran-cibiran seperti itu. Padahal malam ini performanya cukup baik dibandingkan yang lain, tapi tetap saja dicibir. Kesabarannya akan habis jika sudah keterlaluan.

Nadira menahan amarah dengan menggenggam pisau yang sedang dibersihkan. Namun secara refleks ia menusukkan pisau itu ke wastafel yang berisi air.

SHIT!

***

Selesai bercengkerama dengan sahabat-sahabatnya di locker room, Putu Yuliana menuju parkiran dan bergegas menaiki motornya. Dari kejauhan, Nadira menatap kepergian Putu Yuliana lekat-lekat. Bahkan pandangan dingin Nadira tetap mengekor hingga Putu Yuliana berlalu ditelan kegelapan malam.

Jarak tempuh rumah Putu Yuliana dengan Salt & Grill hanya sekitar setengah jam menggunakan motor. Namun, di daerah Panjer, motornya mogok tiba-tiba. Putu Yuliana kebingungan. Di tengah malam dengan jalanan sepi, ia tidak bisa meminta tolong pada siapa pun.

“Haduh, ini motor pake mogok segala, lagi!” rutuk Putu Yuliana. Ia merogoh saku celana berniat mengambil ponsel untuk menghubungi sahabatnya, tapi ia baru ingat bahwa ponselnya tertinggal di locker room restoran. “Ah, hari ini kenapa, sih? Kok sial banget?”

Dari kejauhan terlihat bayangan seseorang yang menghampiri. Putu Yuliana memicingkan mata untuk melihat lebih jelas sosok yang datang. “Permisi, Bli, Mbok? Boleh minta tolong?”

Ucapan Putu Yuliana tak dihiraukan. Orang itu malah mendekat sembari mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Mata Putu Yuliana terbelalak melihat apa yang dikeluarkan orang itu. Kilauan pisau tajam terlihat jelas dalam kegelapan malam.

“To-tolong!”

Putu Yuliana pun bergegas menjauhi si pengejar yang membawa pisau itu. Ia khawatir orang itu adalah begal yang akan merebut motornya, jadi agar selamat ia harus merelakan motor dan lari meminta pertolongan.

Dugaan Putu Yuliana salah. Pengejar itu bukan begal, bahkan dia tidak melirik ke arah motornya yang terbengkalai. Pengejar itu tetap terpaku menatap Putu Yuliana dalam kegelapan. Tentu hal itu menambah kepanikan dalam diri Putu Yuliana.

Di tengah pelariannya, angin malam yang dingin membuat bulu kuduk berdiri sehingga menambah suasana menjadi tegang. Putu Yuliana terus berlari menyelamatkan diri dari psikopat itu. Buliran keringat membasahi sekujur tubuhnya, membuatnya tak nyaman berlari sehingga salah satu sepatu pantofelnya terlepas.

Putu Yuliana terus berlari hingga mencapai pertigaan yang hampir dekat dengan daerah tempat tinggalnya. Namun suasana masih saja sepi dan si pengejar semakin dekat ke arahnya. Alhasil, si pengejar berhasil mencapai posisi Putu Yuliana dan menyentuh bahunya. Gerakan refleks Putu Yuliana membuat keduanya terjatuh dan membongkar identitas si pengejar yang langsung diketahui oleh Putu Yuliana.

Putu Yuliana tak sempat mengelak ketika pengejarnya membuatnya berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Si pengejar menahan tubuh Putu Yuliana menggunakan kaki dan tangan agar tetap tengkurap di tanah. Si pengejar tanpa ragu langsung menusukkan pisau dari punggung hingga menembus ke dada.

Putu Yuliana terus mengerang kesakitan hingga sekujur tubuhnya berubah kaku. Entah berapa lama si pengejar membiarkan pisau itu menempel di punggung sampai kembali dilepas.

Di tengah sekaratnya Putu Yuliana, ia melihat dalam keremangan, sosok yang mencabut pisau itu dari punggungnya adalah seorang perempuan dengan tatapan dingin. Dengan pisau tergenggam sekuat tenaga, sosok itu adalah Nadira.

Gadis itu membiarkan Putu Yuliana meregang nyawa di hadapannya. Lalu beberapa saat kemudian ia mendesis, “Appetizer .…” []





<