cover landing

Silent

By louisa

Aku akan menceritakan pada kalian tentang sebuah kisah.

Dalam kisah ini, kalian bisa memanggilku Louisa.

Aku akan menceritakan pada kalian tentang sebuah keluarga yang bagi orang lain terlihat begitu sempurna. Seorang ayah yang bekerja sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit ternama, seorang ibu yang bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas terbaik di Indonesia, dan dua orang anak yang tumbuh dengan sehat dan lucu.

Sempurna bukan?

Sayangnya di dunia ini tidak ada yang sempurna.  

 

***

1 Juli 2009

 

Cuaca siang itu begitu terik saat sebuah keluarga baru saja tiba di rumah barunya. Pasangan suami istri Johan dan Diana kini tengah sibuk menata barang-barang yang baru saja diturunkan dari truk, sementara dua anak mereka William dan Rosaline tengah bermain mobil-mobilan di halaman depan rumah yang masih gersang. Bocah berusia tujuh  dan enam tahun itu tampak ceria meskipun hari ini adalah hari pertama mereka tiba di rumah barunya.

Setelah mengatur letak sofa di ruang tamu, Johan lantas membongkar sebuah kardus besar yang berisi tumpukan buku tebal. Buku-buku tebal itu ia susun dengan rapi pada sebuah rak berukuran cukup besar yang diletakkan di ruang tamu. Laki-laki berusia tiga puluh tahun yang baru saja menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis beberapa bulan yang lalu itu sengaja meletakkan buku-buku lamanya di ruang tamu agar dapat dibaca oleh siapapun.

“Sayang, aku mau ke mini market sebentar, jaga anak-anak, mereka bermain di depan,” ucap Diana sembari mencium pipi suaminya dengan singkat kemudian pergi menuju garasi mobil.

Melihat Diana memasuki mobil, membuat dua bocah yang semula sibuk bermain kini tergesa-gesa menghampiri Ibu mereka. “Bunda, Rosie ingin ikut,” ucap si anak perempuan yang kini berusia enam tahun sembari memanyunkan bibirnya.

“Rosie tunggu di rumah ya, Bunda cuma sebentar,” jawab Diana sembari mengusap kepala Rosie dengan lembut.

“Will, tolong ajak Rosie bermain, Bunda ke mini market sebentar,” ucap Diana pada anak sulungnya, bocah kecil itu mengangguk kemudian menggandeng tangan adiknya untuk masuk ke dalam rumah.

Setibanya di ruang tamu, Rosie langsung menangis dengan kencang, sementara Ayah mereka kini tengah berada di lantai dua untuk membereskan kamar. Melihat adiknya menangis, Will lantas mengambil sebuah buku gambar dan pensil warna dari dalam kardus yang tadi dibongkar oleh Johan.

“Rosie jangan nangis, sini biar Kakak gambarin bunga,” ucap Will kecil sembari mengusap wajah adiknya yang kini sudah basah, tangisan Rosie seketika terhenti. Kakak beradik itu kemudian sibuk mencoret-coret buku gambar yang hanya tersisa beberapa lembar itu. Johan yang baru saja menuruni tangga dan melihat kedua anaknya tengah menggambar dengan tenang di ruang tamu tersenyum. Kehidupannya saat ini terasa begitu sempurna. Laki-laki itu lantas menghampiri kedua anaknya, kemudian duduk di tengah-tengah mereka sembari ikut menggambar di buku gambar kecil itu.

Pikiran Johan lantas terlempar pada kehidupan keluarga kecilnya beberapa tahun belakangan yang terasa cukup berat, mengingat dirinya yang sibuk menyelesaikan pendidikan dokter spesialis dan Diana juga sibuk menempuh pendidikan doktoralnya. Keduanya bahkan tidak memiliki waktu yang cukup untuk menjaga Will dan Rosie pada usia mereka yang seharusnya dipenuhi dengan perhatian dari kedua orang tuanya. Hal itu pula yang membuat baik Johan maupun Diana kerap kali merasa bersalah pada kedua anaknya. Namun Johan dan Diana bersyukur, karena Will dan Rosie tumbuh sebagai anak yang sehat dan pintar.

“Ayah, ini gambar apa?” tanya Will sembari menunjuk gambar yang baru saja dibuat oleh Johan.

“Ini tubuh manusia,” jawab Johan.

“Rosie nggak mau gambar manusia Yah, Rosie mau gambar bunga,” ucap Rosie merajuk, tampak tidak senang dengan gambar yang dibuat Johan. Mendengar ucapan polos Rosie membuat Johan seketika tertawa.

“Rosie kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya Johan lembut pada putri kecilnya itu.

“Rosie mau jadi seperti Kakek, punya banyak sapi,” jawab Rosie yang kembali membuat Johan tertawa.

“Kalau Will mau jadi apa?”

“Will mau jadi dokter seperti Ayah.”

Kini senyum mengembang di bibir Johan. Ia akan sangat senang jika kelak William dapat mengikuti jejaknya sebagai seorang dokter, mengingat keluarganya sebagian besar juga berasal dari kalangan dokter.

Di usianya yang masih tujuh tahun, William terbilang cukup cerdas karena sudah dapat membaca dengan lancar dan juga dapat melakukan beberapa perhitungan sederhana. William bahkan meraih juara satu di kelasnya saat kenaikan kelas kemarin. Sementara Rosie sangat berbeda dengan kakaknya karena gadis kecil itu lebih suka menggambar dan bermain bersama teman-temannya daripada belajar.

“Sayang, Bunda beli es krim untuk kalian,” ucap Diana yang baru saja tiba di rumah dengan membawa sebuah kantung plastik besas berisi banyak makanan.

Mendengar ucapan Diana membuat Will dan Rosie berteriak kegirangan. Dua bocah itu langsung menghampiri Diana kemudian menikmati es krim rasa cokelat itu di teras rumah.

“Di mini market hanya ada beras dan mi instan, aku nggak tahu dimana pasar yang dekat di daerah ini,” ucap Diana sembari mengeluarkan satu persatu barang belanjaanya di dapur. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu kini mengeluarkan sebuah penanak nasi dari dalam kardus, kemudian mencuci beras yang baru saja ia beli.

“Jangan makan mi instan, apalagi buat anak-anak.”

“Kita nggak punya makanan lain, Mas.”

“Kita makan di luar saja malam ini.”

 

***

 

Restoran yang mereka datangi terletak tidak terlalu jauh dari rumah baru mereka. Restoran itu menyediakan berbagai macam masakan tradisional mulai dari masakan khas jawa hingga masakan khas sunda. Bangunan restoran itu cukup besar dengan dua lantai yang masing-masing lantainya berisi enam buah meja bundar yang dikelilingi dengan empat kursi kayu.

Johan dan Diana kini duduk di meja bernomor 5 yang terletak di sudut ruangan, sementara Will dan Rosie tengah bermain di taman yang terletak di belakang restoran. Taman itu ramai oleh anak-anak, karena terdapat dua buah ayunan, sebuah papan jungkat-jungkit dan sebuah kolam ikan berukuran sedang yang berisi banyak ikan koi.

“Rosie, lihat ikannya ada banyak,” ucap Will setengah berteriak pada Rosie yang kini tengah sibuk bermain bersama teman-teman barunya. Rosie memang tipe anak yang mudah akrab dengan teman-teman sebayanya, sementara Will cenderung lebih pendiam dan sulit untuk berkomunikasi pada orang-orang yang baru dikenal.

“Rosie nggak suka ikan. Rosie mau main di sini aja sama teman-teman,” jawab Rosie terdengar begitu ceria.

“William, Rosaline, ayo makan dulu,” kata Johan sembari menggandeng tangan kedua anaknya untuk kembali masuk ke dalam restoran, Will si sulung hanya menurut sementara Rosie kini menangis karena masih ingin bermain bersama teman-temannya.

“Rosie kalau kamu masih menangis, Ayah nggak mau belikan barbie untuk Rosie lagi.”

Seketika tangisan Rosie terhenti. Tentu saja bagi gadis kecil itu tidak ada yang lebih penting daripada boneka barbie.

“Setelah makan Rosie mau ke depan, tadi Rosie lihat di depan ada banyak bunga,” ucap Rosie kecil di sela-sela kegiatan makannya.

Melihat tingkah anak bungsunya itu membuat Diana tersenyum, sementara Johan menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan perilaku dua anaknya yang sangat bertolak belakang.

“Setelah dari sini Rosie juga mau membeli boneka barbie, tadi Ayah sudah janji,” kata Rosie yang sepertinya tidak bisa terdiam barang sedetik saja.

“Rosie, jangan berisik, kasihan orang lain yang mau makan jadi terganggu sama suara kamu,” sahut William mengingatkan adiknya, yang seketika membuat Rosie memanyunkan bibirnya, gadis kecil itu merajuk.

“Padahal usia mereka cuma berbeda dua belas bulan, Sayang,” ucap Johan setengah berbisik pada istrinya.

“Di usia mereka perbedaan usia satu tahun itu terbilang besar, tapi nanti kalau mereka sama-sama remaja, pasti nggak terlihat perbedaanya kok, malah nanti terlihat seperti anak kembar.”

“Kata siapa? Usia kita cuma berbeda satu tahun tapi kita tidak terlihat seperti anak kembar.”

“Aku dan kamu bukan saudara, Mas.”

Sepasang suami istri itu kemudian tertawa, hingga tidak menyadari bahwa kedua anaknya kini tengah berlari menuju halaman depan restoran. Rosie berlari dengan bersemangat untuk melihat berbagai macam tumbuhan berbunga yang ditanam disana, sementara William hanya mengikuti adiknya.

“Rosie, kita harus bilang sama Bunda dulu, nanti Bunda bingung cari kita,” ucap Will pada Rosie yang kini tengah sibuk mengamati bunga mawar merah yang tengah merekah.

“Tadi kan Rosie udah bilang sama Bunda kalau setelah makan Rosie mau kesini.”

Maka William kecil tidak mempunyai pilihan lain selain menemani adik kecilnya berlarian kesana-kemari memetik bunga. Kedua bocah kecil itu bahkan kini tengah bermain di dekat jalan raya, hingga tiba-tiba seseorang berbaju serba hitam menghampiri mereka.

“Ayo ikut paman, nanti paman belikan es krim.”

 

***

 

Laki-laki dengan pakaian serba hitam itu membekap mulut kecil Will dan Rosie, kemudian menggendong tubuh kecil mereka masuk ke dalam mobil hitam yang dikendarainya. Dua bocah kecil itu meronta-ronta, namun tenaganya tidak sebanding dengan satu orang laki-laki dewasa dengan tubuhnya yang cukup tinggi dan kurus.

Laki-laki itu lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, kemudian melepaskan topi dan masker yang dikenakannya. Matan gelapnya melirik kakak beradik yang kini tengah merintih ketakutan.

“Jangan menangis, nanti Paman belikan es krim,” ucapnya disertai dengan sebuah seringaian yang langsung membuat Rosie menangis kencang. Gadis kecil itu kini memeluk kakaknya erat-erat, tidak berani menatap wajah laki-laki menyeramkan itu.

“Kami mau pulang...” ucap Will disela-sela tangisnya.

“Nanti Paman antarkan kalian pulang, sekarang kalian harus ikut paman dulu.”

Mendengar hal ini membuat tangisan Rosie semakin kencang, sementara William hanya bisa memeluk adik kecilnya erat-erat. Ia juga merasa takut, namun jika ia juga menangis, maka Rosie akan semakin ketakutan.

Laki-laki itu melajukan mobilnya semakin jauh dari kota, menyusuri jalanan yang sepi. Di kanan dan kiri jalan, hanya terdapat pohon-pohon jati yang menjulang tinggi dan diterangi dengan lampu jalanan yang cahayanya sudah memudar. Saat itu hujan turun dengan deras, disertai dengan suara guntur yang lantang, membuat kakak beradik yang kini duduk di jok belakang saling menangis sembari berpelukan dengan erat. Suara tangisan itu begitu keras, membuat laki-laki yang sedari tadi berusaha menahan emosinya itu kini meledak. Ia membanting stir mobilnya untuk menepi di pinggir jalan.

“Kalau kalian tidak bisa diam, akan kubuang kalian kedalam hutan sana!” teriaknya dengan keras. Bukannya terdiam, William dan Rosie justru semakin menangis karena ketakutan.

Melihat hal ini, laki-laki itu tidak bisa tinggal diam. Tubuh tingginya yang dibalut dengan jaket berwarna hitam itu keluar dari mobil, kemudian dengan paksa menyeret tubuh Will dan Rosie yang terus meronta. Tanpa ragu, laki-laki itu menarik dua tangan kecil itu dengan kasar dan mulai melangkah masuk ke dalam hutan. Hujan semakin deras, suasana malam yang begitu gelap, saat itu yang ada dalam pikiran Will dan Rosie kecil hanyalah menangis, berharap Ayah dan Bundanya akan datang menyelamatkan mereka.

“Masih menangis? Dasar sialan!” teriak laki-laki itu dengan lantang kemudian mendaratkan sebuah pukulan mengenai tubuh kecil Will.

“Kau juga mau dipukul?” tanya laki-laki itu pada Rosie, yang membuat Rosie seketika terdiam. Tubuh kecilnya bergetar hebat, apalagi setelah melihat kakaknya dipukul dengan keras oleh laki-laki menyeramkan itu hingga jatuh tersungkur.

Tatapan polos dari dua bocah kecil itu sama sekali tidak membuat laki-laki itu merasa iba. Ia justru mengeluarkan sebuah jarum suntik dari dalam saku jaketnya, kemudian menarik tubuh Will dan Rosie mendekat padanya, dan menyuntikkan sebuah cairan pada tubuh Will dan Rosie secara bergantian. Dua bocah kecil yang semula meronta-ronta itu perlahan terdiam, kemudian jatuh tertidur dalam gendongan laki-laki serba hitam itu.

Tubuh kecil Will dan Rosie itu kini diseret olehnya, dimana tangan kirinya menyeret tubuh Will dan tangan kanannya menyeret tubuh Rosie. Jalanan yang ia lalui untuk menuju tempat dimana mobilnya terparkir berupa tanah yang dipenuhi oleh tumpukan daun daun jati dan kerikil-kerikil kecil yang kini menggores kulit mulus milik dua bocah tanpa dosa itu.

 

***





<