cover landing

Silver Line of Clouds

By filzaaf

"Lompat! Lompat! Lompat!"

"Palingan galau doang gara-gara diputusin pacar."

"Bego banget."

"LOMPAT, WOY! KELAMAAN!"

Jihan Faradita seharusnya tidak berada di sana sekarang. Gadis mungil berusia tujuh belas tahun itu seharusnya duduk manis di salah satu ruangan di lantai dua gedung ini, mendengarkan penjelasan guru lesnya seperti yang telah dia lakukan selama hampir tiga tahun belakangan.

Jihan tidak seharusnya berada di atap dan berdiri di atas dinding pembatas. Salah bergerak sedikit saja, tubuh Jihan akan terempas tanpa ampun ke lantai parkiran gedung tempat teman-teman lesnya dan warga sekitar menyorakinya.

Tapi Jihan tidak takut. Itulah yang Jihan inginkan.

Malam ini, Jihan menyerah akan hidupnya.

Jihan memilih untuk bunuh diri.

Tadinya Jihan ingin pergi dengan meninggalkan kesan baik, mungkin sedikit menyedihkan juga tidak apa-apa. Makanya dia meninggalkan rekaman video di ponselnya beberapa menit lalu, mengatakan banyak hal yang membuatnya tersakiti hingga memilih untuk bunuh diri.

Jihan bahkan sengaja menahan kata-kata savage yang biasanya keluar kapan pun Jihan membuka mulut saking inginnya Jihan pergi secara baik-baik.

Tapi bajingan-bajingan di bawah sana yang sedari tadi menyorakinya dan mendesaknya untuk segera melompat membuat darah Jihan mendidih juga.

"BACOT, NJENG! NGGAK PERLU DISORAKIN JUGA GUA LOMPAT, KALI!" maki Jihan keras-keras.

Yang kemudian dia sesali.

"Kan anjeng. Ntar kalau gua muncul di berita pasti judulnya, 'Siswi SMA Barbar Mengomeli Warga Sebelum Melompat dari Gedung'," gerutu Jihan.

Tapi, ya, sudahlah.

Lagi pula Jihan tidak akan bisa membacanya kalaupun beritanya keluar.

Sorak sorai yang tadi penuh nada menantang sekaligus mengejek berubah menjadi pekikan ngeri ketika Jihan benar-benar melompat dari atap gedung berlantai tiga itu.

“KYAAAA!!!”

Jihan memejamkan matanya. Jantungnya berdegup semakin kencang setiap tubuhnya kian mendekat ke lantai parkir. Tidak nyaman, bahkan adrenalin yang tercipta saat menaiki wahana paling ekstrem di taman bermain tidak sampai setengah dari yang Jihan rasakan saat ini.

Jihan seharusnya ketakutan, namun senyumnya malah mengembang di tengah tubuhnya yang membelah udara malam dengan cepat.

Malam ini, kesakitannya akan berakhir.

Begitu dia membentur lantai parkiran gedung tempatnya les ini, semuanya akan berakhir. Jihan akan pergi dari dunia. Tidak perlu merasa takut, dia tidak perlu tersiksa lagi setelah ini.

BRUK

Selamat tinggal, dunia. Terima kasih atas tahun-tahun penuh kesedihannya.

 

***

 

            Hanya ada kira-kira dua persen kemungkinan untuk tetap hidup setelah jatuh dari atap gedung berlantai tiga. Dan Jihan gagal mendapatkan dua persen kemungkinan itu.

Jihan mati.

Jihan melihat sendiri bagaimana keadaan tubuhnya. Menelungkup di lantai parkiran gedung, darah yang banyak menggenang di sekitar kepalanya. Jasadnya terlihat hancur.

Berhubung semasa hidup Jihan bukan seorang indigo, Jihan tidak bisa menanyai para arwah soal bagaimana perasaan mereka saat melihat jasad mereka sendiri.

Apakah yang mereka rasakan sama dengan yang Jihan rasakan? Melihat jasadnya yang remuk ditonton banyak orang, Jihan merasa—

"Padahal gua udah berusaha biar posisinya keliatan cantikan dikit," decak Jihan.

—kesal.

Ugh, dia kelihatan jelek sekali! Matanya terbuka, mulutnya menganga. Belum lagi, posisi seperti apa itu?

"Kayak cicak. Astaga." Jihan memegangi keningnya, merasa pusing lagi. Tapi kali ini pusingnya disebabkan oleh sesuatu yang lain, bukan karena habis membentur lantai parkiran.

Kerumunan orang yang tadi menyorakinya untuk melompat kini mulai mengambil gambar jasadnya. Mereka semua mengeluarkan ponsel, memotret jasad Jihan hingga Jihan pusing melihat flash kamera mereka yang berkedip-kedip.

Benar-benar tidak ada akhlak.

"Kalau orang lagi jelek jangan difoto, taik," kata Jihan kesal tepat di telinga seorang gadis yang Jihan kenali sebagai teman satu lesnya. "Yah, bangsat. Malah di-upload ke Twitter."

"Mereka nggak akan bisa dengar kamu."

Umpatan Jihan terhenti begitu suara berat seorang pria terdengar dari arah belakang.

Jihan berbalik. Seorang pria berdiri tidak jauh darinya dengan tatapan tertuju pada Jihan. Pria itu bertubuh kurus namun tinggi, berdada bidang, dan memiliki kaki yang sangat jenjang.

"Malaikat maut?" tanya Jihan sambil memiringkan kepala. Yeah, memangnya ada kemungkinan apa lagi?

Pria itu tidak menjawab. Tapi dari tatapannya, Jihan tahu kalau dia menjawab pertanyaan Jihan dengan sebuah ya.

Tapi ....

"Wah, anjir. Gua kira malaikat maut pake jubah hitam terus mukanya tua."

Alih-alih mengenakan jubah hitam khas malaikat maut yang sering muncul di film, malaikat maut di depan Jihan malah modis sekali. Dia mengenakan jeans ketat berwarna hitam dengan robekan kecil di lutut dan kaus putih longgar. Bagian depan kausnya dimasukkan ke dalam celana, menampilkan kepala ikat pinggang besar yang dia pakai, sementara bagian belakang dibiarkan begitu saja.

Belum lagi ....

"Njeng, yang di mata lu eyeliner? Parah. Gua yang cewek aja nggak bisa make eyeliner."

Malaikat maut fashionista di hadapan Jihan tidak tahan untuk tidak memutar bola matanya kesal. "Kamu kira di dunia malaikat maut nggak ada fashion?"

Jihan menggeleng dengan polos. "Enggak."

"Ck! Sudahlah." Malaikat maut itu mengibas-ngibaskan tangannya, ingin menyudahi topik soal outfit yang dia kenakan sekarang. "Pokoknya, Jihan Faradita, 18 tahun, anak dari Edwin Wijaya, meninggal hari ini, tepat pukul 7.47. Penyebab kematian—"

Jihan ikut-ikutan mengibaskan tangan. "Bodo amat," potongnya. "Bawa gua ke akhirat aja udah. Udah muak gua di dunia. Nggak usah segan kalau gua masuk neraka. Gua juga udah bisa nebak. Pokoknya asal nggak di sini lagi dah."

"Kamu ini memang sama sekali nggak tahu apa-apa, ya?"

Kening Jihan otomatis mengerut. "Maksudnya?"

"Arwah dari orang yang meninggal karena bunuh diri nggak akan menyeberang ke akhirat dengan semudah itu."

"Terus?"

"Kamu harus tinggal di dunia untuk mengerjakan tugas,” tutur sang malaikat maut dengan nada datar. Kemudian kalimat selanjutnya yang dia katakan membuat Jihan melotot. “Kalau kamu gagal menyelesaikan tugas tersebut, kamu akan tetap tinggal di dunia sebagai arwah gentayangan hingga hari kiamat."

"NJEEENG?!?" teriak Jihan penuh protes.

Ya, bagaimana tidak protes? Dia bunuh diri karena mau cepat-cepat meninggalkan dunia. Tahu-tahu setelah mati dia malah terancam harus tinggal di dunia sampai kiamat.

What the hell, duh.

Malaikat maut di hadapannya sampai menutup sebelah telinganya sambil mengerutkan wajah. Teriakan Jihan tidak main-main.

"Sudahlah, mulut kamu kasar, suka bicara dengan suara keras pula." Malaikat maut itu menggeleng-geleng tidak habis pikir.

"Ya lagian bangsat amat peraturannya," umpat Jihan. Wajahnya terlihat sangat kesal. Keningnya mengerut dan matanya menatap tajam penuh kekesalan.

Tapi beberapa saat kemudian, ekspresinya itu berubah drastis.

"Please-lah gua udah muak banget sama dunia, huhuhu ...." Dengan menyatukan kedua tangannya di depan dada penuh permohonan, Jihan menatap malaikat maut layaknya anak anjing minta dipungut. Bibirnya juga sengaja dilengkungkan ke bawah.

Selama tujuh belas tahun hidup plus beberapa puluh menit mati, baru kali ini Jihan memasang ekspresi semenjijikkan ini.

"Ew." Malaikat maut itu mendorong kening Jihan dengan telunjuknya. "Makanya kerjain tugasnya baik-baik. Jangan sampai nggak selesai."

Mampuslah. Tugas sekolah aja udah nyontek gua masih salah. Apalagi disuruh ngerjain sendirian.

Tenanglah, itu hanya suara hati Jihan. Jihan memilih untuk tidak menyuarakannya. Selain karena kebegoannya akan terlihat jelas, Jihan juga yakin malaikat maut yang sudah cocok jadi brand ambassador ini tidak akan peduli.

"Tugasnya apa?" tanya Jihan. Dia menyudahi ekspresi menjijikkan tadi, berganti ke ekspresinya yang biasa. Kalau kata Jihan sendiri, a chill bitch.

"Dengan bunuh diri, kamu telah menghilangkan satu kehidupan secara paksa. Agar akhirat mau menerimamu, kamu harus memberikan satu kehidupan juga sebagai gantinya."

"Memberikan kehidupan? Melahirkan gitu?" tanya Jihan. Keningnya kembali mengerut. "Ya gimana, njeng, gantinya? Mau ngelahirin juga gua kan udah mati."

"Yang bilang kamu harus melahirkan siapa?" Bukannya memberi jawaban, malaikat maut itu malah bertanya balik. Wajahnya yang sudah jengah sejak Jihan mulai membahas dandanannya makin bertambah jengah.

"Ying biling kimi hiris milihirikin siipi," cibir Jihan. Kemudian suaranya naik saat berkata, "Ya makanya jelasin, dong, elah! Lagian lu ngomongnya belibet amat. Gua ini semasa hidup ada bego-begonya, tahu. Jelasin yang singkat, padat, dan jelas, dong, biar gua paham!"

TOK

"AW!!"

Tidak dapat menahan kekesalannya lagi, malaikat itu mengetuk kening Jihan dengan buku jarinya dengan keras. Membuat Jihan berjengit mundur sambil memegangi keningnya.

"Dengarkan sebelum saya ninggalin kamu sampai kiamat." Malaikat maut itu menghela napas, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu lihat ini."

Mata Jihan terbelalak dan mulutnya menganga takjub ketika tiba-tiba saja di hadapannya terbuka sebuah buku berwarna kecokelatan, menampilkan sebuah foto dengan nama Fariz Arayyan tertulis besar di bagian tengah atas halamannya.

"Kamu lihat di sana, tertulis tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Berdasarkan kedua tanggal itu, seharusnya dia akan berumur sampai 86 tahun. Benar, kan?"

Jihan mengangguk beberapa kali.

Iyakan saja. Jihan malas menghitung. Pengurangan angka ribuan itu merepotkan.

Tapi kemudian Jihan menyadari sesuatu.

"Eh." Jihan terkejut. "Tanggalnya berubah,” ucapnya setengah kagum setengah terkejut. Angka-angka di bagian tanggal kematian memudar perlahan, lalu perlahan muncul kembali dengan menunjukkan angka berbeda.

"Tepat sekali," kata malaikat maut tepat saat angka-angka di tanggal kematian itu kembali memudar.

Secara tiba-tiba juga, buku itu menghilang.

"Waktu kematian Fariz Arayyan dan juga penyebabnya berubah-ubah gara-gara niatnya untuk bunuh diri."

Jihan terdiam. Ketengilan di wajahnya mendadak hilang.

"Tugasmu adalah memastikan niat itu hilang sepenuhnya. Dengan mencegah usahanya untuk bunuh diri, kamu akan dianggap berhasil memberikan satu kehidupan."

 

***

 

            “Setan ....”

            Jihan berjongkok memegangi perutnya. Mual sekali. Kenapa bisa tidak ada satu pun film yang mengatakan kalau teleportasi sangat membuat mual? Jihan bergerak maju dengan begitu cepat hingga sekelilingnya tampak hanya seperti warna-warna yang mundur dengan cepat, tidak lagi bisa dilihat bentuk aslinya. Roller coaster mana pun tidak bisa menandinginya.

            Malaikat maut pasti sudah menanam dendam pada Jihan sampai dia tidak memperingatkan apa pun pada Jihan sebelum membantu Jihan untuk berteleportasi. Setidaknya kan Jihan bisa menutup matanya agar tidak merasa terlalu mual, mengingat selama teleportasi ternyata Jihan tidak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhnya.

 Oh, well, mengecewakan memang, ternyata hantu tidak bisa berteleportasi.

            “Udah berapa?” Jihan berusaha mengingat jumlah umpatan yang telah dia buat. “Tujuh, ya? Cacing besar Alaska, hidung Voldemort, ingus hijau.” Jihan berdiri setelah itu, tampak jauh lebih riang. “Okeh, udah sepuluh umpatan, cukup buat mood naik.”

            Dari tadi Jihan tidak terlalu memperhatikan sekeliling lantaran rasa mualnya yang begitu hebat. Jadi dia agak terkejut setelah memperhatikan tempatnya berada sekarang.

            Sangat berkelas!

            Sebelum mengirim Jihan berteleportasi, malaikat maut memberi tahu kalau tempat Jihan muncul nanti adalah asrama—Fariz sekolah di SMA berasrama. Jihan jadi langsung membayangkan kalau dia akan muncul di tempat penuh kamar-kamar sempit dan tempat tidur bertingkat. Semua asrama yang Jihan kenal seperti itu.

             Tapi ternyata ruangan tempat dia muncul malah berlantai marmer. Begitu luas dan megah serta  terdapat banyak loker-loker. Anak laki-laki berkemeja putih dan rompi krem serta celana cokelat tua hilir mudik di sana. Sebagian berjalan lurus menuju ruangan selanjutnya, sedangkan sebagian lainnya menuju loker masing-masing terlebih dahulu, lalu masuk dengan membawa surat atau paket di tangan.

            Jihan sebenarnya ingin sekali berkeliling dulu. Yakin sekali pasti ruangan lain akan tampak lebih berkelas dibanding tempatnya berada sekarang yang cuma tempat loker.

            Sayangnya Jihan ngeri juga melihat angka di jam tangan yang diberikan oleh malaikat maut. 39:22:47. Tiga puluh sembilan hari, dua puluh dua jam, empat puluh tujuh menit. Waktu Jihan sudah berkurang dua jam namun dia bahkan belum bertemu dengan Fariz.

            Jihan mengerang kesal sebelum benar-benar melangkah mencari kamar Fariz, tempat di mana Fariz kemungkinan besar berada.

            Dan selagi berjalan cepat, Jihan kembali mengumpat untuk meredakan kekesalan yang kembali terbit di hatinya. Mungkin kali ini butuh lebih dari sepuluh.

***

"Kamar Fariz nomor delapan di lantai dua. Jangan sembarangan masuk ke kamar selain kamar Fariz! Jangan mentang-mentang bisa nembus dinding, kamu jadi mengintip setiap kamar di asrama putra."

Untungnya, malaikat maut setidaknya sempat memberi tahu nomor kamar Fariz. Jadi waktu Jihan bisa lebih efisien.

Dan bisa menikmati desain interior asrama Fariz yang super bagus.

"Bagus, njay ....” Jihan menatap norak.

Sejak awal, Jihan sudah bertanya-tanya mengapa Fariz ingin bunuh diri. Dugaan pertama, kemiskinan, langsung Jihan coret sejak awal tiba di gedung asrama. Jihan yakin hanya anak-anak dari kalangan atas yang sekolah di tempat seperti ini.

"Stres?" pikir Jihan.

Kemungkinan untuk penyebab itu cukup besar menurut Jihan. Sekolah elite biasanya persaingan nilainya selalu ketat sampai siswa-siswinya jadi stres. Sekolah Jihan juga begitu. Jihan saja yang terlalu cuai sampai bisa haha-hihi tanpa peduli pada nilainya yang sekecil amuba.

Apalagi kalau dilihat dari tahun lahir mereka yang sama, Jihan memperkirakan Fariz juga siswa tahun akhir seperti dirinya, tahun paling stressful.

“Atau di-bully,” pikir Jihan lagi.

Semua kemungkinan dapat terjadi, ya kan?

Yang jelas, penyebab Fariz ingin bunuh diri tidak akan sama dengan penyebab Jihan bunuh diri.

Jihan kan ingin bunuh diri karena—

"Eh? Ini kenapa?" Pikiran Jihan yang tadinya melanglang buana memikirkan alasan Fariz ingin bunuh diri langsung kembali ketika dia telah berdiri di depan pintu kamar nomor delapan, kamar Fariz. Jam tangan yang diberikan malaikat maut tiba-tiba bersinar merah.

Malaikat maut tidak berkata kalau jam itu dapat bersinar.

“Mungkin karena Fariz udah dekat kali, ya?” Jihan mengangkat kedua bahunya tidak peduli.

Tanpa babibu lagi, Jihan langsung menembus pintu kamar nomor delapan itu.

Dan ....

Jihan memekik kaget.

Saat dia membuka pintu, hal pertama yang Jihan lihat adalah Fariz Arayyan. Laki-laki dengan wajah yang sama persis dengan yang Jihan lihat di buku milik malaikat maut kini sedang berdiri di atas sebuah kursi, di sekeliling lehernya ada simpul yang dibuat dari seprai, sementara ujung lain dari seprai itu diikat ke kusen jendela.

Sepersekian detik setelah Jihan membuka pintu, Fariz menendang kursi tempat dia tadinya berdiri, membuatnya tergantung di udara.

Checked, ini bunuh diri.





<