cover landing

Sixth Sense Love

By Lenita Cahya

 

Dingin.

Gelap.

Siska tidak tahu di mana dia berada saat ini. Ke mana matanya memandang, hanya ada kegelapan pekat. Siska dapat merasakan tubuhnya menggigil kedinginan, walau tidak terasa angin berembus. Jantungnya berdebar kencang.

Di manakah dia?

Siska merayap, meraba-raba dengan kaki telanjang dan mulai berjalan secara perlahan. Berusaha dengan sangat hati-hati agar tidak menubruk entah apapun itu.

Kemudian, dia melihatnya. Seorang wanita bertubuh gempal dengan rambut disanggul rapi di belakang kepalanya, berjalan tak jauh di depannya. Cahaya redup misterius mengelilingi tubuh wanita tersebut. Siska merasa bulu kuduknya berdiri. Perasaan tidak enak menghinggapi hatinya.

Siska sudah mengalami kejadian seperti ini berulang kali. Namun, entah mengapa ia selalu melakukan yang hal sama berulang kali pula.

Ia merasakan kakinya berlari mendekat– padahal otaknya berteriak untuk menjauh. Jangan dekati wanita itu!

Siska berhasil menyusul wanita tersebut. Jantungnya berdegup begitu kencang, napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi pakaiannya.

Tanpa diperintah, tangannya terulur menyentuh bahu wanita tersebut. Seketika sekujur tubuhnya membeku. Seakan ada seember es yang memenuhi paru-parunya – yang dinginnya menyusup hingga ke tulang belulang, membekukan tubuhnya dari dalam hingga luar.

Wanita itu berbalik secara perlahan. Matanya yang kosong menatap Siska. Bibirnya yang bergincu tebal menyunggingkan senyum paling mengerikan yang pernah Siska lihat. Dan tubuhnya dipenuhi lubang berlumur darah, menodai gaun putih yang wanita itu kenakan.

Siska tidak dapat menahan dirinya lagi.

Gadis itu menjerit.

 

***

“Siska!”

Tubuh Siska tersentak dan gadis tersebut membuka matanya. Seseorang mencengkeram kedua bahunya. Dan untuk sesaat, Siska panik karena menyangka wanita gemuk menyeramkan tadi berhasil menangkapnya. Tapi, napasnya perlahan kembali teratur saat melihat yang mencengkeram kedua bahunya adalah Mama Maria.

“Nak, kamu baik-baik saja?” Kerutan di keningnya membuat keriput bermunculan di wajah beliau.

“Mama…” desah Siska. Dipeluknya Mama Maria erat-erat.

Wanita berusia 50 tahun tersebut membalas pelukan anak asuhnya. Beliau merasa khawatir dengan keadaan gadis malang itu. Ini sudah kesekian kalinya Siska bermimpi buruk hingga menjerit-jerit dalam tidur.

Mama Maria menemukan Siska di depan pintu Panti Asuhan, 16 tahun yang lalu. Dia adalah bayi yang sehat dan lucu seperti pada umumnya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Siska menjadi pendiam, pemalu dan sering melamun. Jika matahari mulai terbenam, gadis itu akan duduk di pojok kamarnya sambil menggenggam senter.

Awalnya, Mama Maria merasa heran dengan tingkah laku anak asuhnya itu. Kemudian, beliau mengetahui bahwa Siska bisa melihat makhluk gaib.

Terkadang gadis itu akan berhenti berjalan secara tiba-tiba dan wajahnya memucat. Di lain waktu, ia akan berlari masuk ke ruang kerja Mama Maria dengan tubuh gemetar ketakutan. Pernah juga ia menangis ketakutan di tengah malam, duduk di pojok kamarnya sehingga membangunkan teman sekamarnya.

Sejak itu, Mama Maria sedikit demi sedikit mulai mengerti keadaan Siska. Beliau memberikannya sebuah kamar kecil yang paling dekat dengan ruang kerjanya agar Siska merasa bahwa beliau tidak jauh darinya. Ketika tidur, beliau tidak mematikan lampu kamar karena Siska phobia kegelapan. Tidak ada yang mau menjadi teman satu kamar Siska lagi karena mereka merasa takut. Jadi, mau tidak mau Siska harus tidur seorang diri.

Namun, mimpi buruk masih sering datang mengganggu tidur Siska, dan ia masih sering memojokkan diri karena ketakutan.

Sinar matahari menyerbu masuk ke dalam kamar dan menyinari wajah Siska yang pucat. Gadis itu mendesah lega. Pagi hari adalah hal yang ia nantikan. Di mana semua sudut tergelap disinari cahaya pagi dan kicauan burung yang merdu membangunkan semua makhluk yang terlelap. Ia jadi merasa tidak sendirian.

“Mandilah, Nak. Sebentar lagi waktunya sarapan,” gumam Mama Maria dengan lemah lembut.

Siska mengangguk dan beranjak dari tempat tidur.

Panti Asuhan Cempaka adalah sebuah rumah tua nan besar yang memiliki sekitar 30 kamar. Lima belas kamar berada di sayap barat – asrama bagi anak-anak perempuan yang dikepalai oleh Mama Maria, dan lima belas kamar lainnya berada di sayap timur – asrama bagi anak-anak lelaki yang dikepalai oleh Mama Susan. Asrama sayap barat dan sayap timur dihubungkan dengan kamar bayi, kamar belajar, ruang makan, ruang sembahyang, kamar mandi dan dapur.

Di halaman depan, tumbuh pohon-pohon bunga cempaka. Pada jam istirahat sore, banyak anak-anak yang bermain di halaman atau sekadar bersantai sambil menikmati jajanan yang dibeli dari pedagang asongan yang lewat.

Siska menghela napas. Tetapi, terkadang ada rasa jenuh dan lelah hidup di panti asuhan ini. Tidak ada yang mau berteman dengannya karena semua anak merasa takut terhadap Siska. Mungkin dalam pikiran mereka, ia semacam penyihir yang akan mengeluarkan tongkat sihir dan mengutuk mereka menjadi katak setiap kali mereka mendekatinya. Tidak ada yang mau menjadi teman satu kamarnya juga. Itulah mengapa Siska memiliki kamar sendiri.

Bagi anak lain, itu adalah hal yang keren. Karena mereka bisa menguasai kamar seorang diri tanpa harus berbagi dengan anak lain. Mereka bisa mendekor kamar sesuka hati, memasang musik keras-keras tanpa mengganggu teman sekamar dan bisa mengisi lemari dengan barang-barang mereka hingga penuh. Tapi, bagi Siska itu adalah mimpi buruk. Hal tersebut malah akan membuat semua arwah gentayangan mendekatinya dan mimpi-mimpi buruknya semakin sering datang.

Melihat Siska berjalan mendekat, para gadis yang sedang mengantri giliran mandi segera menyingkir dan membuang muka. Tidak ada yang mau menatap matanya.

Siska diam saja. Walaupun rasa tidak nyaman masih menghinggapi hatinya. Setidaknya, kehadiran para gadis tersebut cukup menghiburnya. Selain itu, salah satu keuntungan menjadi gadis aneh yang ditakuti teman-temannya adalah mendapat giliran mandi lebih dahulu.

Teman-temannya sangat takut menegur Siska, sehingga mereka membiarkan saja ia masuk duluan ke dalam kamar mandi tanpa protes sedikitpun. Mungkin mereka mengira jika tidak membiarkan Siska mandi lebih dulu, mereka akan disihir menjadi batu.

Siska mandi dan berganti pakaian dalam waktu singkat. Dia keluar kamar mandi, setelah menggantung handuknya, Siska berjalan menuju ruang makan yang sangat luas.

Anak-anak lelaki sudah memenuhi setengah ruangan itu. Ribut memperebutkan tempat duduk dan makanan.

Siska tidak memedulikan semua hal di sekitarnya. Dengan tatapan lurus ke depan, dia berjalan menuju mejanya di pojok terjauh. Juru masak asrama, Ibu Mila sudah tahu bahwa itu adalah meja khusus Siska. Tidak akan ada yang berani mengusiknya.

Di atas meja sudah tersedia semangkuk bubur ayam dan segelas susu.

Tanpa menunggu, Siska langsung duduk dan segera melahap sarapannya. Dia tidak mengangkat wajah saat para gadis masuk ke ruang makan dan sibuk berceloteh, bergosip dengan sahabat-sahabat mereka.

Selesai makan, Siska berdiri membawa mangkuk dan gelas kosongnya ke dapur, mencucinya. Ibu Mila diam saja, tidak melarang gadis itu. Beliau sibuk menyendokkan bubur ke dalam mangkuk anak-anak yang minta tambah.

Siska berbalik untuk mengeringkan tangannya yang basah setelah mencuci piring. Tetapi dia tertegun.

Arwah seorang gadis melayang tak jauh di hadapannya.

Siska meringis ngeri. Karena arwah gadis itu tidak mempunyai kedua bola mata.

Arwah itu menatapnya (atau itu hanya perasaan Siska saja, mengingat si arwah tidak mempunyai bola mata) dan bibir pucat keringnya bergerak-gerak.

“Apa?” bisik Siska pelan sehingga hanya si arwah saja yang dapat mendengar.

“Siska!”

Tepukan di pundak Siska mengejutkan gadis itu. Ia menjerit nyaring.

Ia berbalik dengan cepat dan menatap Ibu Berta – guru fisikanya. Di panti asuhan Cempaka, memang ada beberapa pekerja sosial yang berprofesi sebagai guru bagi anak-anak yatim piatu.

“Hush! Jangan teriak-teriak!” tegur Ibu Berta sambil mengerutkan kening. “Kamu sedang apa? Ayo cepat, kelas akan segera dimulai,” kata Bu Berta.

Siska menoleh dan memandang ke sekeliling ruangan, tapi si arwah sudah menghilang di telan udara.

“Baik, Ibu,” gumamnya kepada Ibu Berta. Buru-buru dikeringkannya tangan lalu berjalan mengikuti Bu Berta menuju salah satu kamar kecil yang digunakan sebagai kelas.

Siska menoleh untuk terakhir kalinya, sebelum dia benar-benar keluar dari dapur. Dan di sana tampak si arwah – dia muncul lagi!

 

***

 

Bulan telah berganti tugas dengan matahari. Panti Asuhan telah lama sepi. Waktu tidur bagi anak-anak sangat tegas di sini. Segala kegiatan dihentikan pada pukul setengah sembilan malam, semua anak wajib menggosok gigi, mencuci muka, tangan dan kaki sebelum masuk ke kamar dan tidur. Tidak ada yang boleh terjaga di atas pukul sembilan malam.

Tepat pukul sembilan malam, Mama Maria dan Mama Susan akan berpatroli, mengecek kamar anak-anak satu persatu, meyakinkan bahwa semua anak sudah tertidur dan tidak ada yang melanggar peraturan.

Namun Siska kesulitan untuk memejamkan matanya. Dia masih memikirkan arwah gadis tanpa mata tadi.

Siska mendesah kesal, memaksa matanya untuk tertutup. Lupakan saja si arwah! Dia cuma arwah biasa!

Siska berusaha mengosongkan pikirannya dan fokus pada suara jam yang berdetik pelan di sudut kamar.

Tak lama kemudian dia sudah terjatuh ke dalam kegelapan pekat.

 

***

 

Siska phobia kegelapan.

Kegelapan yang melingkupinya terasa sangat pekat. Angin dingin berembus, membuatnya gemetar kedinginan. Kakinya terasa sedikit perih dan membeku.

Apakah dia lupa memakai selimut? Kenapa kakinya terasa perih? Apakah sebelum tidur dia secara tidak sengaja menginjak sesuatu yang tajam?

Gadis itu membuka mata dan langsung tersentak mundur. Dia berada di gang sempit yang gelap. Jauh dari keramaian dan cahaya. Siska tidak tahu bagaimana caranya bisa sampai di sini. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah dirinya yang beranjak tidur.

Dia tidak mengingat berjalan keluar di tengah malam ke sebuah gang kecil yang menyeramkan ini.

Gadis itu tertegun. Matanya waspada, memerhatikan setiap sudut gelap dengan ketakutan.

Suhu udara tiba-tiba saja turun drastis. Membuatnya nyaris membeku. Siska menegakkan tubuhnya. Dia harus segera pergi dari gang sempit menakutkan ini. Siska memaksa tubuh dan kakinya untuk bergerak. Tetapi ia hanya berhasil beringsut beberapa sentimenter dari tempatnya semula.

Udara dingin berembus di tengkuk Siska. Gawat! pikirnya.

Otak Siska meneriakkan segala macam perintah kepada tubuhnya. Lari! Kabur! Pergi! Cepat!

Namun, tetap saja Siska bergeming. Itu bukan kehendaknya, sumpah! Merasa sangat putus asa, Siska melakukan kebiasaannya. Menutup mata rapat-rapat dan berdoa dalam hati, meminta perlindungan Tuhan.

Embusan hawa sedingin es menerpa wajah Siska. Dengan takut-takut, gadis itu membuka matanya.

Dan jeritan Siska membelah sunyinya malam...

Arwah gadis tanpa mata, yang ia lihat di dapur sebelumnya, berdiri sangat dekat dengan wajah Siska, hampir menyentuh hidungnya. Siska dapat melihat rongga matanya yang begitu dalam dan karena darah kering.

Dengan gerakan liar, Siska berusaha memukul si arwah. Namun, lengannya hanya menembus tubuh si arwah, membuat Siska semakin histeris.

Siska mundur beberapa langkah dan tersandung kakinya sendiri sehingga dia terjatuh di aspal yang dingin. Arwah tersebut mengangkat tangannya, hendak menyentuh Siska. Kemudian dia berbisik sangat pelan,

“TOLONG AKU!”

Cahaya putih menyilaukan tiba-tiba saja muncul. Sebuah mobil sport berwarna merah muncul dari kegelapan, menabrak si arwah (yang langsung menghilang ditelan udara) dan berhenti secara mendadak dengan suara berdecit nyaring, tepat di depan Siska yang terpaku karena kaget.

Kejadian tersebut berlangsung dengan sangat cepat. Belum hilang keterkejutan Siska, seseorang turun dari dalam mobil dan berlari menghampirinya. Orang tersebut meneriakkan sesuatu, namun telinga Siska berdengung nyaring – ia tidak bisa mendengar perkataan orang itu. Ia tidak bergerak dari posisinya yang nyaris telentang di tengah jalan.

Sebuah tangan hangat menyentuh lengan Siska, membuat ia tersadar kembali dan secara refleks bergerak menjauhi tangan hangat tersebut. Dengan mata ketakutan, gadis itu mendongak dan menatap seorang pemuda tampan.

“Astaga! Kau baik-baik saja? Aku tidak menabrakmu kan? Kau tidak mati kan?” tanya pemuda itu bertubi-tubi. Ekspresinya kelihatan panik. Siska diam saja. “Kamu sedang apa di sini, malam-malam begini?!” tanya pemuda itu lagi. Siska tetap membisu, pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Siska berdiri. “Ayo, kuantar kau pulang. Siapa namamu?”

Tanpa memedulikan uluran tangan si pemuda, Siska buru-buru bangkit dan bergerak menjauh. Siska menunduk dan baru menyadari bahwa ia hanya mengenakan piyama yang sekarang kotor dan basah. Rasa nyeri menjalar di kakinya yang tidak beralas.

Siska mengerutkan keningnya. Apakah dia baru saja berjalan dalam tidur ataukah ini hanya mimpi buruk lagi?

Si pemuda menatap Siska dengan rasa ingin tahu. Siska akhirnya mendongak dan menatap kedua matanya yang berwarna coklat muda. Seperti warna susu cokelat hangat yang selalu Siska minum jika sedang hujan lebat.

“Kau tinggal di mana? Ayo, aku antar pulang,” ajak pemuda itu lagi.

Siska memandang sekeliling, mencari si arwah tanpa mata dan petunjuk tentang keberadaannya sekarang. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak sebuah papan nama jalan yang sudah miring dan berkarat. Huruf-huruf putih yang sudah agak pudar bertuliskan ‘Jl. Cempaka II’ terbaca jelas oleh Siska berkat cahaya lampu mobil.

Siska mengembuskan napas lega. Ternyata dia tidak pergi terlalu jauh dari panti asuhan.

“Hei. Kenapa bengong?”

Siska kaget setengah mati saat ia menoleh dan si pemuda sudah berdiri begitu dekat dengannya. Dengan secepat kilat, Siska melompat mundur.

Si pemuda mengangkat kedua tangannya, seolah menunjukkan bahwa dia tidak bermaksud jahat.

Sorry kalau bikin kaget. Aku cuma… Kau yakin, kau tidak apa-apa?” dahi si pemuda berkerut cemas.

Siska memerhatikan wajah tampan pemuda itu. Mata cokelatnya adalah hal yang paling menarik bagi Siska. Dia belum pernah melihat orang bermata cokelat sebelumnya.

Perlahan, Siska mengangguk. Gerakannya kaku seperti robot yang engselnya berkarat.

“Mau aku antar pulang?” tanya si pemuda sekali lagi. Dibalasnya tatapan mata Siska tanpa malu. Dia merasa heran, mengapa seorang anak gadis berkeliaran di gang gelap hanya dengan piyama? Apakah dia anak gelandangan?

Kali ini Siska menggeleng, membuat pemuda itu semakin yakin bahwa gadis di hadapannya adalah anak gelandangan. Mata pemuda itu bergerak, mencari-cari semacam tenda atau tumpukan kardus yang sekiranya merupakan tempat tinggal atau tempat tidur si gadis. Tapi dia tidak menemukan apapun.

“Oke. Baiklah… Um… Sekali lagi maaf hampir menabrakmu. Aku hanya… Yah…”

Tiba-tiba ia merasa canggung, pemuda itu buru-buru masuk ke dalam mobil berwarna cerahnya dan melaju pergi.

Siska memerhatikan sampai mobil tersebut hilang di balik tikungan. Barulah dia berbalik dan berjalan pulang. Udara terasa semakin dingin sehingga napasnya mengepul-ngepul menjadi asap.

Kakinya terasa perih, dan Siska yakin pastilah penuh lecet. Ia sudah tidak sabar ingin segera sampai di panti asuhan, membasuh kaki kemudian menyusup ke dalam selimut yang hangat.

Akhirnya, gerbang panti asuhan terlihat. Merasa lega, Siska mulai berlari. Untunglah gerbang itu belum digembok. Atau mungkin ia buka saat berjalan dalam tidur tadi? Entahlah. Siska tidak peduli. Dia buru-buru mendorong pintu gerbang hingga terbuka. Setelah menggemboknya, Siska berlari menyeberangi halaman, menuju pintu depan.

Perlahan sekali, Siska membuka pintu, menyelinap masuk ke dalam rumah yang sunyi senyap, dan menutupnya kembali. Dia tidak lupa untuk mengunci pintu, sebelum akhirnya dia berlari naik ke lantai atas, langsung menuju kamar mandi.

Siska menyiramkan beberapa gayung air dingin ke kedua telapak kakinya yang berdarah dan lecet. Ia berhati-hati sekali agar suara siraman air tidak terdengar sampai ke ruang kerja Mama Maria.

Merasa lebih enak, Siska terpincang-pincang menuju kamarnya, langsung menyelinap masuk. Cahaya lampu yang menyilaukan menerpa wajahnya, membuat matanya terasa perih sesaat.

Siska langsung menanggalkan pakaiannya yang kotor dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur agar tidak ditemukan Mama Maria keesokkan harinya. Kemudian ia memakai setelan piyama bersih yang ia ambil dari lemari dan barulah ia bisa bernapas lega.

Siska naik ke tempat tidur dan menyelimuti dirinya. Pengalamannya malam itu benar-benar aneh dan menakutkan.

Dalam hitungan detik, gadis itu sudah terlelap dan memimpikan sepasang mata cokelat yang indah tadi.

***





<