cover landing

Soufflé

By nonali

Rindu

Teruntuk kamu.

Hei, apa kabar?

Semoga kamu baik-baik di sana. Maaf, ya, suratku mungkin mengganggumu lagi.

Sudut bibir lelaki itu tampak terangkat ketika membaca penggalan kalimat di surat yang pagi itu ia terima. Orang di seberang sana—yang mengirim surat itu—memang orang paling aneh sedunia. Kebiasaan-kebiasaan normal di era 90-an, mungkin sudah terlalu mendarah daging baginya. Bisa jadi ini adalah definisi sesungguhnya dari “terjebak nostalgia”.

Entah kenapa, kalau berkabar denganmu, saya selalu tidak pernah bisa beralih ke surel. Ya ... walaupun itu bisa sampai dalam hitungan detik ke kotak masukmu, dibandingkan dengan kirim surat lewat pos.

Ah, surel. Itu adalah satu-satunya media komunikasi lain selain surat yang diketahui sang pengirim. Ya, satu-satunya. Nomor telepon jelas sang pengirim tidak punya. Sampai kapan pun, kalau bisa tidak perlu sampai tahu dan menelepon. 

Ngomong-ngomong, Ayah titip salam untukmu. Katanya, beliau rindu. Kalau nanti kamu pulang, kita harus merayakannya dengan makan soufflé. Aku yang buatkan. Percaya, rasanya nggak akan kalah dengan buatan Ibu.

Jemari-jemari panjang lelaki itu kemudian meraba sejenak huruf-huruf bersambung yang terjalin rapi. Ia seolah ingin membuat jejak rindu terkecap jelas pada ujung-ujung indera perabanya karena semua masih terasa buram. Abu-abu. Ah, rindu. Sebuah terminologi yang bentukannya sudah tak jelas lagi baginya.

Semua kata-kata manis itu, mengapa selalu tak pernah berhenti terselip dalam surat-suratnya? Semua masih selalu terbaca seolah-olah tak pernah ada hal buruk yang terjadi. Semua masih selalu terbaca serupa sebuah bentuk permohonan yang tiada habisnya. Dia benci. Benci karena selalu tak bisa membalasnya. Bukan tak ingin, tetapi tak mampu. Semua justru hanya semakin terasa jauh setiap kali rindu tertulis di sana.

Saya mungkin akan ada di sana ketika sakura mekar. Kalau Tuhan berkehendak, kita pasti akan bertemu. Semoga kamu sehat selalu.

Salam,



K. A.

-:-:-

1.    Perantauan

 

"Kenapa kamu lakukan ini?"

"Kamu manusia keji."

Dingin. Pemanas di ruangan itu serasa rusak. Ah, bukan. Itu hanya sekadar bunga tidur yang kerap kali menebar dingin dalam alam bawah sadar. Tatkala benda berbentuk kubus di atas nakas terdengar menjerit, pemuda itu akhirnya tahu kalau dirinya masih utuh. Kesiap kecil terlontar dari bibir seraya mata membuka. Lelapnya penyap.

Christoff sontak menegakkan tubuh. Sekujur punggungnya terasa basah, dibanjiri peluh yang juga tak kalah dingin. Suara seorang perempuan yang tadi menyebutnya "manusia keji" itu, adalah satu-satunya yang tersisa dari jejak bunga tidur—meninggalkan pilu. Tatapan netra hitam pekat Christoff lalu menyapu kedua tangan dan jemari-jemarinya yang kini agak gemetar. Ia bersumpah kalau cairan pekat merah itu tadi terlihat melumuri telapaknya—terasa begitu nyata dalam batas bunga tidur, membangkitkan kengerian lampau yang telah lama terkubur.

Apa lagi? Kesahnya mengendap di batin.

Christoff menyugar jurai-jurai rambut depannya yang berantakkan, lalu mengusap wajah frustasi. Mimpi itu, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali dihantui begitu. Semua terasa tiba-tiba, seperti bencana tanpa pertanda. Tidak ada rasa lelah atau kantuk yang terpuaskan. Waktu tidur yang telah ia habiskan semalam justru malah berbuah keletihan yang kian liar, semangat paginya tertelan.

Sebelum Christoff sempat membenamkan wajah kembali, dua tubuh kecil yang hangat dan penuh bulu tiba-tiba sudah merangsek pelan ke pembaringan. Empat pasang kaki-kaki kecil mereka memijat-mijat gundukan selimut.

"Meoong ...."

Panggilan dari si bulu oranye berbuntut pendek setidaknya masih terdengar lebih baik daripada bunyi alarm tadi. Ya, setidaknya begitu meski lebih terdengar seperti "panggilan minta makan" ketimbang panggilan sayang.

"Meooong ...."

Kali ini suara si putih berbuntut panjang terdengar lebih nyaring. Ultimatum pertama untuk Christoff si "karyawan pemalas".

Goma dan Shima—dua "Anak Bulu" kesayangan Christoff itu—lalu dengan enaknya sudah duduk manis di atas pangkuan, memberi kode bagi sang karyawan untuk cepat-cepat bangkit dari tilam. Sebagai budak sejati kaum felidae, Christoff paham kalau harus bergegas melaksanakan "tugas pagi".

"Hai, hai, wakatta." (Iya, iya, aku tahu).

Suara Christoff menjawab dengan serak. Jemarinya kemudian membelai sayang kepala-kepala berbulu putih dan oranye yang menggemaskan itu.

Beri kami makan, manusia.

Mungkin begitu ucap mereka, kalau dua kucing-kucing itu bisa bicara.

-:-:-

Bunyi butiran-butiran makanan kucing yang dituang terdengar memenuhi cawan-cawan yang terletak di dekat kulkas. Christoff menuangnya secara asal, beberapa tampak tumpah sedikit karena mata lelaki itu belum sempat membuka penuh—kelopaknya berat. Langkah Goma dan Shima tanpa malu-malu menyerbu, mematahkan mitos "malu-malu kucing" yang selama ini beredar di masyarakat. Mereka makan sudah seperti kesetanan. Christoff hanya bisa tersenyum simpul—sebuah hiburan di pagi hari.

Biru gelap nan kelabu terlihat menggantung di langit yang terbingkai kaca jendela kecil di sudut dapur. Musim dingin yang ke-sebelas di kota perantauan itu kini sudah hampir tiba lagi di penghujung.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, musim dingin Christoff kali kini terasa agak berbeda karena tidak lagi dihabiskan di wilayah Setagaya. Meguro sekarang sudah jadi rumah baru bagi Christoff semenjak pindah lima bulan silam. Pergantian suasana itu juga terjadi bersamaan tepat ketika lima bulan silam Christoff memutuskan untuk rehat dari kantor agensi yang sudah menaunginya sekitar dua setengah tahun lamanya. Menjadi pekerja lepas adalah yang dipilih Christoff sekarang.

Langkah gontai Christoff kemudian terseret malas menuju toilet. Tak lama, guyuran air segar membuat kesadarannya kembali utuh. Ia mendongak dari ceruk wastafel, menatap rupa yang kini sudah dipenuhi butir-butir cairan bening. Selepas sejenak terdiam, jemarinya lalu menyeka wajah.

Pemuda itu seperti menelisik sejenak garis-garis pembingkai rupa—yang sampai kapan pun—takkan bisa menyerupai wajah-wajah manusia di tanah perantauan. Bola matanya memang memiliki garis kelopak yang agak tipis dan sipit, tetapi jelas tidak sesipit warga lokal. Hela napas yang terembus hangat dari sepasang buah bibir kemudian terdengar panjang—membuat cermin berembun.

Ohayou, gaijin. [Selamat pagi, orang asing.]

-:-:-

Angin kembali bertiup menggoyangkan ujung ranting-ranting kurus. Pepohonan di sepanjang trotoar tampak tak ceria, mengkerut seperti orang-orang tua tanpa gairah. Musim dingin telah memaksa mereka menggugurkan semua alat fotosintesisnya—dorman. Langkah kaki jenjang seorang gadis yang berbalut ankle boots itu kembali bederap di atas deretan garis-garis hitam putih aspal perempatan jalan raya, bersahutan dengan para pemburu mimpi lainnya. Tokyo, sudah terbangun sejak dini hari tadi dan kian hidup.

Fara kembali merapatkan syal, mantel, serta masker yang mulai mengendur dan membuat angin menusuk pelan—ia menggerutu dalam hati. Fara benci musim dingin, apalagi kalau tanpa salju. Sialnya, tahun ini Tokyo tampaknya malas untuk bersalju. Sudah terhitung masuk akhir musim dingin, tetapi baru terhitung tiga kali turun salju. Udara semakin kering dan hanya ada angin yang kadang membuat kepala cepat pusing.

Langkah Fara berhenti sejenak di samping konbini (minimarket) setelah lewat satu perempatan. Deretan vending machine telah menariknya untuk membeli "minuman penyemangat pagi". Bunyi kelontangan seketika terdengar setelah ia menempelkan IC card pada panel kartu yang ada di samping mesin. Sekaleng kopi hangat meluncur dari dalam sana. Buru-buru dimasukkannya ke dalam saku mantel, rasa hangat dan nyaman menjalar seketika.

-:-:-

Peringatan dari pengeras suara yang ada di dekat peron berkali-kali terdengar tatkala langkah Fara tiba di Stasiun Roppongi, Minato. Pintu otomatis membuka. Calon penumpang—yang mayoritas adalah budak-budak korporat—berhambur teratur bersama para pelajar, memenuhi gerbong.

Kereta bergulir, kemudian sunyi. Hanya ada sedikit bunyi-bunyian dari deru mesin yang teredam. Bau lembab dari pendingin udara bercampur dengan bau kamper—yang menguap dari baju-baju yang disetrika rapi—terendus tipis. Punggung dengan punggung yang berbalut mantel dan jaket saling bersentuhan dalam lambung kereta yang terisi sesak oleh tubuh-tubuh manusia. Fara sesekali membuka gawai, memeriksa notifikasi yang terlihat menumpuk. Jemu. Rasanya tak ada satu hari pun dirinya sepi dari pemberitahuan sesi pemotretan.

小林(Kobayashi): Doko? (Di mana?)

Fara hanya bisa mengangkat sudut bibir dari balik masker tatkala melihat pesan super singkat dari manajernya mendarat di layar. Fara tahu kalau "kenakalannya" di pagi itu telah sukses. Di hari-hari tertentu, ia kadang sengaja menghindari kedatangan Kobayashi yang hampir setiap hari menjemput dan merepet dirinya dengan mulut cerewet penuh ocehan jadwal pekerjaan.

Menumpangi transportasi umum yang merayap di bawah tanah itu adalah salah satu akal-akalan Fara untuk sejenak merasa bebas. Di sanalah salah satu tempat di mana ia untuk sesaat mampu merasa sendiri meski sebenarnya dikelilingi kerumunan "robot-robot kaku" yang tak saling kenal dan terkekang mimpi-mimpi keras metropolitan. Fara menikmatinya, menjadi ironi dalam dirinya sendiri.

Getar gawai membuyarkan lamunan Fara. Seseorang di ujung sana membuat panggilan ke nomornya. Nama lelaki yang cukup ia rindukan tertera di layar. Namun sayang, lagi-lagi telepon itu tiba di saat yang tidak tepat.

Aku masih di kereta. Nanti telepon lagi, ketik Fara cepat pada sebuah jendela obrolan aplikasi perpesanan setelah dirinya menekan tombol tolak panggilan. Mengangkat telepon dan berbicara di dalam moda transportasi umum bukanlah sesuatu yang etis dilakukan di negeri para robot-robot.

Tatkala kereta pindah ke jalur di atas tanah, deretan pencakar langit terlihat berlalu dengan cepat dan membuat mata Fara nyaman. Seseorang lalu keburu menepuk pundaknya saat kedua kelopak mata Fara hampir turun. Hampir saja ia tidur berdiri.

Suwatte kudasai.” [Silakan duduk.]

Pemuda jangkung tak dikenal yang mengenakan mantel hitam bicara pada Fara. Suaranya terdengar ramah.

Sorot mata dan garis-garis rupa itu, Fara sejenak merasa pernah melihatnya. Namun, di mana? Dia ragu. Pemuda yang terlihat seumuran Fara itu tiba-tiba bangkit sembari menjinjing sebuah drawing bag hitam yang ukurannya cukup besar—mempersilakan Fara duduk di bangku yang tadi sempat ia tempati. Gadis itu lalu masih menatap tanpa kata, berpikir keras.

"Ano …." [Anu ....]

Pemuda dengan lilitan syal hijau tua di leher itu masih tampak begitu baik dengan senyum ramahnya, ia kembali menegur Fara yang sekarang malah terlihat bingung.

"Suwatte kudasai." [Silakan duduk,] ulangnya.

Fara akhirnya mengerjap, cepat-cepat menunduk kecil. Pandangannya otomatis terlepas dari sepasang bola mata lelaki itu. "A-arigatou," [Te-terima kasih,] ucapnya tergagap.

Sesaat setelah Fara terperenyak di kursi kereta, ia diam-diam kembali melirik sang "malaikat pagi" yang sudah rela memberi lapaknya untuk dia duduki. Pria itu berlalu begitu saja, perlahan melangkah melewati lorong gerbong sembari menjinjing drawing bag hingga akhirnya sosok dan punggungnya tak terlihat lagi—lenyap tertelan deretan-deretan penumpang yang masih berjubel teratur. Dari wajah yang terlihat agak mirip orang melayu, Fara positif kalau lelaki itu bukan warga lokal. Orang itu sama seperti dirinya yang hanya pendatang. Fara pun positif kalau tak asing dengannya.

Siapa, ya?





<