cover landing

Stitch The Heart

By Yuanita Fransiska

“Kak Ahlan …!”

Pria berkulit sawo matang yang berdiri di depan Nara menangkupkan kedua tangan di pipi gadis itu. Mata teduhnya memerangkap wajah bulat Nara hingga ia bisa bercermin di bola mata hitamnya. Sentuhannya membuat jantung berdebar seperti baru saja dijatuhi bom atom.

“Iya, Nara sayang,” bisik kakak kelas Nara semasa SMA itu dengan suaranya yang berat.

Nara kangen sama Kakak. Kenapa Kakak ngilang nggak bilang-bilang?” sahut Nara dengan nada yang dibuat semanja mungkin.

Kak Ahlan tersenyum sambil menautkan dahinya dengan Nara. “Kalau bilang, namanya bukan ngilang, dong, Sayang.”

“Ih, Kakak!” pekik Nara manyun. Meskipun begitu, ia gemas juga pada sosok yang menghuni hatinya di masa remaja itu. 

“Jangan cemberut, Nara. Nanti jadi makin cantik,” goda Kak Ahlan seraya membelai pipi Nara.

Tubuh Nara merinding seketika mendengar kalimat yang dulu sering terlontar dari ketua ekskul koperasi siswa itu. Peraih peringkat pertama satu angkatan itu sangat humoris hingga waktu yang dihabiskan bersamanya sungguh menyenangkan. Meskipun begitu, hubungan mereka dahulu tidak lebih dari sekadar sahabat atau teman dekat.

“Kalau aku cantik, cium aku, dong!” tantang Nara makin menjadi. Entah dari mana keberaniannya mendadak muncul. Mungkin dia baru saja menelan kecubung satu panci yang sudah ditambah dengan ramuan cinta.

“Pejamin mata kamu,” pinta Kak Ahlan. Kali ini wajahnya berubah serius.

Menahan napas, Nara menuruti perintah pria berhidung mancung itu. Jantungnya berdebar makin tak menentu, sementara hatinya tak berhenti menghitung waktu. Satu, dua, tiga, empat, lima … tak ada tanda-tanda sentuhan yang mendarat di bibirnya. Begitu pula tangan yang tadi menangkup pipinya, serta suara berat yang tadi menggema di telinga. Astaga! Apa yang terjadi?

Seketika curahan air membasahi wajah Nara hingga ia spontan membuka mata. Tampak langit-langit kamar berwarna kuning pudar memenuhi penglihatannya. Di hadapannya, cowok berusia tujuh belas tahun nyengir sambil memegang sebuah cangkir kosong. 

“Bangun, woi! Katanya hari pertama masuk kerja!” teriaknya cengengesan. “Malah masih molor sambil monyong-monyong!”

Kepala Nara seolah mengeluarkan asap tebal dari hasil pembakaran bara api yang tersulut. Ia mengepalkan tangan, siap melancarkan bogem mentah ke wajah adik satu-satunya itu. Berani-beraninya dia menyiram wajahnya dengan air, ditambah menghancurkan mimpi indahnya dengan Kak Ahlan. Bocah itu benar-benar kelewatan!

“Ipaaang!” jerit Nara sambil melompat dari tempat tidur dan melancarkan serangan.

Anak kelas XII SMA itu terbahak-bahak sambil berlari keluar kamar. Ugh! Ingin rasanya Nara mengumpat akan tingkah laku adiknya yang menyebalkan. Dia sudah menghancurkan mimpi indah bertemu Kak Ahlan yang akhir-akhir ini sering menghiasi tidurnya. Namun, teringat bahwa hari ini adalah hari pertama bekerja tiba-tiba membuat matanya berbinar cerah. Iya! Hari ini pertama masuk kerja! Ah, Nara tidak sabar!

Seperti orang yang baru saja memenangkan lotre, Nara melompat dari kasur dan turun dengan lincah seperti penari yang baru selesai beratraksi. Ia segera membuka lemari dan tampak berbagai model pakaian berdesakan di sana, buatan tangannya sendiri. Ia menggigit ibu jari, memilah mana outfit yang akan dikenakan untuk melengkapi penampilannya hari ini. Degup jantungnya bertambah cepat, seiring ketegangan dan semangat yang mendadak muncul. Bukan hanya karena ia akan bekerja di kantor pertama kalinya seumur hidup, tetapi juga karena mimpinya untuk benar-benar menjadi seorang desainer sudah di depan mata. Ia sungguh berharap desain pakaian buatannya bisa digunakan banyak orang dan membawanya pada ketenaran. Ditambah lagi, desainer idolanya, Rainy Fatiya, menjadi cofounder startup itu dan akan bekerja bersamanya! Ah, pekerjaan ini pasti akan sempurna!

Nara mengambil sebuah blus berwarna merah muda dengan aksen ruffle di bagian depannya, dipadukan dengan celana panjang hitam. Ia berharap penampilannya nanti bisa menimbulkan kesan positif untuk Rainy Fatiya yang terkenal perfeksionis. Untuk tas, ia tidak bisa memilih karena cuma ada satu. Ia segera memasukkan ponsel, dompet, tisu, payung, dan perlengkapan bepergian lain yang tidak boleh terlewat satu pun. Sepatu pantofel hitam terpilih sebagai pelengkap penampilan. Baiklah, semua sudah siap.

Mandi dengan cepat, Nara segera memulas wajah dengan riasan ringan yang cocok di kulit kuning langsatnya. Ia menyisir rambut ikal yang dipotong sebahu dan merapikan poninya, kemudian menambahkan jepitan berlian di sisi kanan dan kiri rambutnya. Ia menyemprotkan body mist dan terakhir mematut diri di cermin. 

Nara keluar kamar dan menghampiri Emak yang baru selesai melayani pembeli nasi uduk buatannya di teras rumah.

“Mak, Nara berangkat, ya,” pamitnya.

“Eh, lu kagak sarapan dulu?” 

“Nggak usah, deh. Udah telat takut macet,” sahut Nara sambil mencomot sepotong risol dan memakannya.

“Ya udah bawa aja, nih!” perintah Emak. Dengan cekatan, wanita itu memasukkan aneka macam gorengan dan juga lontong isi ke plastik. 

 

“Ih, nggak usah, Mak! Malu, ah! Masa bawa gorengan?” tolak Nara. “Nara kerja di kantor, loh, Mak!”

“Lah, emang orang kerja di kantor kagak punya perut?” semprot Emak. “Udah ini bawa! Bagi-bagi sama temen-temen lu! Panggil Bapak lu yang lagi ngopi!”

Tak bisa menyanggah Emak, Nara menuruti perintahnya yang merupakan hukum absolut di rumah ini. Ia berpamitan lagi pada ibunya, kemudian menghampiri ayahnya yang sedang bersandar sambil terkantuk-kantuk di balai bambu. Ia segera menggoyangkan bahu pria itu.

“Pak! Bangun! Anterin Nara ke tempat kerja!”

Buru-buru amat, dah?” tanya Bapak sambil mengucek mata.

“Takut macet, Pak! Ayo, buruan!” pekik Nara menarik-narik tangan Bapak. 

Dengan malas, Bapak akhirnya bangkit juga. Pria berkumis itu meregangkan badan, kemudian menyeruput kopi dalam mug besar. Sesaat dia tampak menikmati minuman pahit itu. Setelah menandaskan kopi yang kini sudah berpindah ke perut buncitnya, pria paruh baya itu mengambil kunci mobil dan berteriak untuk berpamitan pada Emak.

Nara duduk di kursi depan angkutan kota berwarna biru muda itu. Di sebelahnya, Bapak memutar musik keroncong dengan keras dan bersenandung. Satu-satunya kendaraan yang dimiliki keluarga Nara sekaligus mata pencaharian mereka itu pun melaju membelah jalanan ibu kota. Seorang gadis berjilbab, dua ibu-ibu yang membawa anak, serta seorang pria paruh baya yang membawa keranjang besar menghentikan laju kendaraan itu dan menumpang di bangku belakang. Dalam hati kadang Nara takjub juga. Kemunculan berbagai aplikasi ojek daring tentu menyurutkan jumlah penumpang yang menaiki angkot Bapak. Namun terbukti, rezeki tidak akan ke mana-mana.

Setelah melalui kemacetan panjang, empat puluh lima menit berlalu hingga Nara hampir tiba di deretan bangunan ruko tempat kerjanya. Ia meminta Bapak berhenti di jarak seratus meter dari depan kantor. Penumpang yang tersisa tinggal gadis berjilbab yang sedang memainkan ponsel.

“Nara turun di sini aja, Pak!”

“Lah, kan, kantor lu masih di depan?” tanya Bapak mengernyitkan dahi.

“Nggak apa-apa, di sini aja,” ucap Nara pelan. Ia meraih tangan Bapak untuk salim, kemudian membuka pintu angkot dan menutupnya dengan keras. “Nara berangkat, ya, Pak.”

Wajah Bapak berubah datar. “Ya udah. Hati-hati, ya.”

“Iya, Bapak juga hati-hati nariknya.”

Angkot yang dikendarai Bapak melaju pelan, sementara Nara melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dalam hati, ia merasa bersalah juga pada Bapak karena sejak sekolah, kuliah, bahkan hingga kerja sekarang, ia selalu menolak untuk diantar sampai tempat tujuan. Ia  tak ingin teman-temannya melihat kalau ia turun dari kendaraan itu, terlebih kalau sampai tahu ia anak seorang sopir angkot. 

Sinar matahari menyengat dengan terik di sepanjang jalan. Nara melirik jam di ponsel dan tersentak saat menyadari waktu sudah lewat dari jam yang ditentukan untuk datang. Ia segera berlari dengan sepatu pantofelnya hingga tiba di depan deretan ruko empat lantai tempatnya akan bekerja. Dengan napas tersengal, ia memasuki ruko yang terletak paling pinggir, kemudian mengisi daftar presensi di depan meja resepsionis. Wanita yang bertugas di sana mengarahkannya untuk naik ke lantai empat, tempat pertemuan sudah dimulai.

Menaiki tangga yang terasa amat jauh, ia akhirnya tiba di depan ruang pertemuan. Penyesalan hinggap di hati Nara, seharusnya tadi ia tidak perlu turun di tempat jauh. Napasnya tersengal begitu tiba di depan pintu kayu yang sudah menutup. Keringat masih mengucur deras, tetapi tak menghalanginya untuk mengintip ke dalam ruangan melalui celah kaca di samping pintu. Semua kursi yang disusun membentuk huruf U terlihat sudah terisi. Ia menarik napas panjang sebelum memberanikan diri mengetuk dengan keras.

Tak ada jawaban. Nara memutar pegangan pintu dan melangkahkan kaki dengan gemetar. Semua tatapan terarah padanya. Wajah-wajah asing yang tak satu pun ia kenal. Kecuali satu, gadis berjilbab yang tadi ikut menumpang di angkotnya! Sialnya lagi, satu-satunya kursi kosong yang tersisa berada paling depan, tepat di sebelah perempuan itu! 

Menghela napas, Nara mengangguk dan tersenyum kaku pada semua yang sudah hadir di sana. Matanya mulai bersinkronisasi dengan jari untuk menghitung jumlah orang yang duduk di sekitarnya. Dua laki-laki di seberang, dua di belakang, dan satu perempuan di angkot tadi. Total ada enam orang termasuk dirinya. Tiba di kursi kosong, ia duduk perlahan sambil tersenyum kikuk pada cewek yang bisa saja membocorkan asal usulnya, kemudian membuka botol air minum dan menenggak isinya. Ia harus bersikap biasa saja dan pura-pura tidak pernah melihatnya. 

“Hai, anak baru juga, ya?” sapa perempuan itu tiba-tiba. 

Air yang baru saja meluncur ke kerongkongan Nara seketika menerobos ke saluran pernapasan, membuatnya terbatuk. Niatnya untuk tidak mencuri perhatian malah membuat perempuan itu panik.

“Ah, ha–halo!” pekik Nara kikuk. 

“Duh, maaf. Gara-gara saya jadi kaget, ya?”

“Ng–nggak, kok. Dalam sehari saya biasanya emang keselek minimal satu kali,” kilah Nara nyengir. “I–iya aku anak baru. Mbak anak baru juga atau bukan?” tanyanya sambil mengeluarkan tisu dan menyeka bibir.

Perempuan itu tertawa, kemudian menjulurkan tangan untuk bersalaman. “Kenalin, nama aku Shafiya, biasa dipanggil Fiya. Aku juga baru masuk sekarang, baru lulus kuliah. Kayaknya kita seumuran, deh. Jangan panggil mbak. Panggil Fiya aja,” sahutnya lembut. Tampak gadis itu tersenyum, menyembulkan lesung pipi yang membuatnya terlihat manis. 

“Oh, gitu. Aku Inara, biasa dipanggil Nara,” sahutnya membalas senyum semanis mungkin. Ia menyambut uluran tangan gadis itu untuk berkenalan. “Aku juga baru lulus. Kita seangkatan berarti.”

“Iya. Ehm, tadi kita satu angkot, kan? Kenapa turun duluan?” 

Mata Nara terbelalak seiring napasnya yang tertahan. Keringat dingin menetes di pipinya. Ia menggaruk pipi sambil membuang pandangan. “Ah, itu … lagi pengin olahraga aja,” kilahnya nyengir. 

“Oh, begitu,” sahut Fiya manggut-manggut. “Tadi Bapak sopirnya titip ini, katanya ini dibawain sama ibu kamu, terus ketinggalan. Tadi beliau tanya, apa saya kerja di sini juga. Barangkali ketemu. Kalau nggak ketemu, katanya buat saya aja. Kebetulan, sih, saya belum sarapan. Eh, ternyata ketemu sama pemiliknya.”

Gadis berkulit putih itu menyodorkan bungkusan yang tadi dibawakan oleh Emak. Kali ini, bola mata Nara nyaris melompat keluar melihat gorengan yang menyembul dari balik plastik transparan. Ah, kenapa lagi-lagi dia harus ketahuan sama cewek itu.

“Ah, iya. Ini … ini … ehm, tadi dibawain sama ibuku,” racau Nara tidak jelas. “Katanya kamu belum sarapan? Apa kamu mau? Ayo, makan bareng!”

Mata Fiya terlihat berbinar. “Beneran? Mau banget! Aku laper banget!”

"Ehm, tapi aku minta tolong, ya. Jangan bilang siapa-siapa kalau bapakku sopir angkot," pinta Nara.

Perempuan di depannya mengerutkan dahi. Namun beruntung, ia tidak banyak bertanya. "Ehm, oke," sahutnya singkat.

Nara mendesah lega. Ia menawarkan gadis itu berbagai macam gorengan. Mereka bertukar informasi pribadi tentang asal kampus dan sekolah.

“Eh, ada gorengan, ya? Bagi, dong!” tanya salah seorang cowok seumuran Nara yang tiba-tiba ada di depannya. 

“Bo–boleh,” sahut Nara terkejut. “Ini ambil aja.”

Seketika cowok-cowok lain yang tadi sudah duduk rapi di meja kini menghambur ke meja Nara. Mereka melihat gorengan Nara seperti oasis di padang pasir. Tak tanggung-tanggung, semua langsung berebut meminta makanan yang tadi bahkan Nara malu untuk membawanya. Ternyata benar kata Emak, mau orang di kantor atau di kampung, semua suka gorengan.

“Wah, mau, dong!”

“Bagi juga, ya!”

“Ih, pas banget gue lagi laper!”

Nara tersenyum, begitu juga Fiya yang sedang menggigit lontong isi. Mereka makan bersama dan suasana akrab mulai terjalin. Semua saling berkenalan dengan ramah hingga ketegangan yang tadi terasa saat pertama Nara masuk seketika sirna. Semua berkat gorengan yang dibawakan Emak. Ah, pulang nanti Nara harus sungkem sama Emak!

Seketika semua kalang kabut saat mendengar suara pintu dibuka. Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing sambil mengunyah gorengan yang memenuhi mulut. Mata mereka tertuju pada deretan orang yang masuk satu per satu. Nara—juga cowok-cowok yang ada—memekik kegirangan saat melihat Rainy Fatiya memimpin barisan itu sambil melambaikan tangan pada semua yang ada. Oh, sungguh desainer itu terlihat cantik dan bersinar, sampai-sampai dua pria dan dua wanita lain di belakangnya tidak mendapat perhatian. Padahal, dua perempuan lainnya adalah pewawancara Nara saat melamar kerja tempo hari.

Nara sontak terbelalak saat melihat pria bertubuh paling tinggi yang berjalan paling terakhir. Pria berambut ikal dengan kulit sawo matang dan hidung mancung. Matanya yang lebar tampak di balik kacamata, dagunya yang terbelah mengusik memori Nara. 

Tubuh gadis itu membeku seiring napasnya yang tertahan. Tangannya spontan menutup mulut dan otaknya berselancar pada mimpi tadi pagi. Terbayang bibir tipis pria itu nyaris bersentuhan dengannya, begitu juga dengan rayuannya yang menggema di telinga. Nara bergidik, tak percaya dengan siapa yang dilihat matanya.

Kak Ahlan!

***

 





<