cover landing

Suku yang Hilang

By DiamondPu

Pintu mobil terbuka. Lalu dua tas besar diturunkan dari bagasi, oleh pemilik sepasang kaki jenjang yang mengenakan sepatu Yves Saint Laurent Espa Monogram. 

"Ayo, turun. Kita akan tinggal sebentar di sini."

Tak lama kemudian, sepasang kaki kecil memakai sandal bergambar Naruto meloncat dari dalam mobil. Kemudian pintu mobil ditutup.

"Mami, Ala mau balik ke Jakalta aja!"

Wanita cantik berambut keriting panjang itu seketika menoleh. Bibirnya tersenyum pada bocah lelaki gemuk di belakangnya."Kita cuma sebentar, kok!" sahutnya, seraya membuka pintu rumah dan kemudian bergegas masuk.

Kemuning nama wanita itu. Bertubuh tinggi langsing, dengan pinggang ramping, meski telah beranak satu. Dia bergerak lincah mengangkat dua tas besar di tangannya menuju kamar tidur, lalu bergegas membuka jendela-jendela agar udara pengap rumah itu dapat bertukar dengan udara segar.

Tak berapa lama kemudian, Kemuning sudah mengempaskan tubuhnya di sofa. Merasa lega sudah membereskan segalanya di rumah baru. Rumah lama dari kayu sebenarnya, tapi ditata apik dengan segala ornamen baru pada tiap sudutnya. Dia merasa bersyukur bisa menemukan rumah sewa ini sejak bulan lalu atas bantuan Jihan, sahabatnya.

"Penulis itu keren, ya. Totalitas banget. Mau nulis sesuatu, datang bener ke tempat yang bakal ditulis. Riset! Apalagi kamu, Kem. Pantas, semua karyamu laris di pasaran sampai difilmkan. Ceritanya hidup! Fakta!" puji Jihan, saat mereka bertemu di Bosta Rocca, butik Jihan di kawasan Jakarta Selatan.

Kem hanya tersenyum, matanya bergerak mengagumi produk fesyen hasil karya Jihan. Cewek keturunan Arab itu menjadi salah satu desainer muda paling berpengaruh di Indonesia saat ini. Karyanya banyak diminati, termasuk jadi langganan para artis. Bagi Kem, Jihan jauh lebih luar biasa.

"Kaulah yang hebat, Jihan. Prestasi bagus, usaha lancar ...."

"Tapi belum menikah!" potong Jihan sambil pura-pura mengelap air mata dengan imutnya.

"Apa urusannya? Memang pernikahan itu prestasi? Kan jodoh di tangan Tuhan?" 

"By the way, aku sudah 32 tahun, lho"

"Terus?"

"Kamu 30 tahun, udah nikah sama Arsa dan punya Ara. Seharusnya aku kayak kamu tuh, nikah lebih cepat. Pasti sekarang udah gendong anak juga."

"Terus kenapa kamu nggak nikah? Banyak yang mau kan, tapi kamu pilih-pilih!"

Jihan mengangguk sedih. "Iya."

"Jangan khawatir. Menikah belum tentu bahagia, kok!"

Kem tak ingin berpura-pura atas kasus rumah tangganya. Ia dan suaminya sudah menikah selama hampir lima tahun, tetapi tak pernah merasa "bersama" dalam waktu selama itu. Hubungan mereka seperti hanya berusaha bertahan, tetapi tak menolak pula jika berakhir. Tak ada yang berselingkuh, setidaknya itulah yang coba Kem yakini. Baginya ini cuma soal jenuh. Jenuh belajar menerima dan memahami kekurangan serta kelebihan masing-masing. Arsa merasa diri lebih hebat, tapi kenyataannya, prestasi bininya yang paling membuat orang berdecak kagum. 

Dan Kem merasa muak dengan sikap pongah lakinya yang jumawa dan senang dipuja. Tak mau tersaingi, meski dirinya sendiri tak ada kemampuan selain mengandalkan nama besar keluarga.

"Kalau bukan karena menikah dengan Arsa Kesuma, putra dari Kesuma, mana mungkin namamu terdongkrak? Aku, kaya dari lahir. Ngetop dari lahir. Nama kakekku bahkan jadi nama jalan. Nah, kamu? Baru dikenal tulisannya juga setelah menikah denganku, kan?"

Kem memandang jijik pada anak manja tukang menghabiskan warisan orang tua itu. Entah mengapa dulu dia sangat mengaguminya, hingga pasrah diajak menikah. Arsa memang tidak playboy lagi setelah mengenal seorang Kemuning. Dia mendadak setia. Tapi sifat arogannya tak berubah sampai mereka menikah, sungguh membuat Kem ingin muntah. Mereka jadi kerap bertengkar, sampai akhirnya memilih hidup terpisah. Belum cerai, tapi sudah seperti jatuh talak, karena masing-masing merasa senang jika berjarak.

"Mami, ada banyak olang bawa celendang utih. Mau nali apa, ya?" teriak Ara yang mengintip dari jendela.

Kem cepat bangkit. Bergegas dia mendekati jendela, memperhatikan tangan Ara yang mengarah pada sebuah rumah besar warna hijau yang tak jauh dari rumah sewa mereka.

Benar, di sana ada banyak orang memakai baju hijau dan selendang putih yang diikat di pinggang. "Mau pentas kali, ya?" duga Kem.

"Meleka mau nali di mana, Mi?"

Kem menggeleng. Tapi tiba-tiba, pintu rumah diketuk. Kem menoleh, dan bergegas pula membuka pintu rumah. Seorang pria paruh baya berpakaian tradisional Sunda warna hitam tampak berdiri seraya mengangguk hormat. "Saya Pak Nagara, tetangga sebelah. Baru pindah, ya?"

Kem tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Pak. Saya Kemuning, dan itu Ara anak saya. Baru pagi tadi."

Pak Nagara memperhatikan Ara yang duduk di kursi dan masih mengintip di balik tirai jendela, kemudian kembali mengangguk hormat. "Oh, begitu. Kapan-kapan mampir ke rumah. Ada istri dan anak-anak saya."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak. Silakan masuk!"

Pak Nagara menggeleng. ”Terima kasih, mungkin lain kali,” katanya, seraya tersenyum dan berbalik menjauh menuju rumah di bagian sebelah. Satu-satunya rumah yang paling dekat dan terlihat oleh Kem saat itu.

Kem lalu menutup pintu, dan kembali mendekati Ara yang masih duduk di dekat jendela.

"Mami, meleka butan mau nali. Meleka bawa cecuatu!"

Kemuning menyingkap tirai jendela lagi, dan melihat begitu banyak orang sedang menyeret-nyeret mayat-mayat yang mulai membusuk. Seketika Kem terpekik, lalu bergegas menutup jendela.

***

“Ah, jangan ngaco! Mantan asistenku tinggal di sana lama, kok. Hampir sepuluh tahun! Dia yang punya rumah itu. Makanya dia sewakan berikut perabot rumah. Tidak ada hal yang aneh-aneh katanya!" kata Jihan, saat dihubungi Kemuning via telepon.

Kem melirik Ara yang kini tertidur pulas di tempat tidur. Lalu dia bergerak ke luar kamar, duduk di sofa, lanjut memperhatikan matahari tenggelam dari balik jendela. Cahaya lampu minyak tampak berpendar-pendar di atas meja. 

"Tadi aku lihat, ada kelompok orang kayak mau pentas seni gitu, lho. Tapi tahu-tahu pada nyeret-nyeret mayat. Lokasinya deket sini. Di seberang rumah kalau dari bagian belakang dapur. Tadi Ara juga lihat, pas duduk dekat jendela dapur itu. Ada kali cuma sekitar 50 meter dari kami ...."

"Rumahnya warna apaan?"

"Warna hijau!"

"Nanti aku telpon si Ayun dulu, mau tanya yang jelas soal rumah tetangganya. Kamu tenang dulu."

"Oke."

Kem meletakkan ponselnya, lalu menutup tirai kaca. Mencoba menenangkan diri. Tetapi tiba-tiba, dari kaca dia melihat tujuh sosok wanita tua tampak tertatih-tatih melangkah menuju rumah yang kini ditempatinya itu. Rambut para nenek itu tampak panjang berkibar, diterpa angin yang tiba-tiba berembus kencang. Seketika Kem gemetar. Dia cepat meraih ponsel, dan berusaha menghubungi nomor Ayun, si pemilik rumah tersebut.

"Tujuh orang, Mbak? Nenek-nenek, bukan?" tanya Ayun setelah Kem bertanya.

Kem kembali mengintip dari tirai kaca, jantungnya berdetak cepat. Sebelum memutuskan pindah ke Bogor, Kem sudah survei. Dia menemui Ayun dan suaminya di daerah Cibogo. Memasuki gang kecil turun naik bukit, lalu melihat perkampungan yang masih tampak jarang penduduk. Ada beberapa rumah tua dari kayu di sana, tapi rumah Ayun memang terlihat agak lebih baru dibangun.

"Itu tanah luas milik pengusaha Jakarta. Konon mau dibangun untuk tempat pelatihan satpam, atau apa itu, untuk menjaga perusahaan-perusahaannya. Nah, cuma wilayah perkampungan kita ini yang tak lebih dari satu hektar, belum bisa beliau beli," kata Ayun waktu itu, sambil menunjuk tanah luas kehijauan berbukit itu.

"Kenapa tidak dibelinya?"

"Entahlah. Padahal almarhum Abah berharap banget lahan kami juga dibeli. Biar bisa pindah ke Cibinong, ngumpul sama anak cucunya yang duluan pindah ke sana. Tapi sampai akhir hayatnya, tanah ini tak pernah dibeli pengusaha itu."

"Kenapa?"

"Konon katanya pengusaha itu dimimpiin. Kalau sampai beli tanah Kampung Salaka, usahanya bakal bangkrut."

"Ah, percaya gitu sama mimpi?"

"Begitulah, Mbak. Ada saja yang begitu. Tapi kata Abah, memang Aki dulu juga nggak bolehin kita jual tanah. Katanya pamali."

"Aki?"

"Kakek saya, Mbak."

"Oh. Lalu, kamu sendiri nggak niat jual tanah dan rumahmu, Yun?"

Ayun menggeleng sedih. “Nggak, Mbak. Takut kualat. Soalnya ini tanah almarhum Abah yang saya tempati. Saya dan suami membangun rumah baru, setelah gubuk Abah roboh. Makanya rumah kami tampak lebih baru dari rumah tetangga lain. Karena ingin pindah ke Jakarta, kami sempat coba mau jual rumah ini. Tapi, saya malah keguguran. Tiap mau jual rumah ini, saya keguguran. Sampai dua kali ...."

"Innalilahi ...." 

Kem cepat merangkul Ayun. Wanita itu saat masih gadis, sempat lama menjadi asisten Jihan. Dari saat Jihan masih main sinetron dan belum terjun ke dunia fesyen, hingga akhirnya Ayun menikah dengan Engkus sopirnya, dan memilih kembali ke Bogor. Tetapi hubungan Ayun dan mantan bosnya tetap terjalin baik. Bahkan Ayun dan Engkus sering berkunjung ke rumah Jihan di Jakarta. 

Kem sendiri baru mengenal dekat Jihan lima tahun terakhir, saat novelnya yang bercerita tentang kisah cinta seorang desainer difilmkan. Di situlah, karya-karya Jihan dipergunakan dalam film tersebut. Mereka saling mengenal, lalu menjadi akrab. Banyak hal yang dibagi Kem dengan Jihan, termasuk masalah pribadinya. Kem senang curhat dengan wanita itu, karena Jihan selalu punya solusi, termasuk urusan rumah Ayun itu.

"Ayo pada masuk. Minum teh dan singkong goreng dulu, Mbak Kem!" teriak Engkus dari pintu rumahnya.

Ayun lalu sigap menggandeng Kem memasuki rumahnya. Kem tak sengaja melirik rumah tetangga sebelahnya yang berjarak sekitar 20 meter. Rumah itu sangat tua dan kusam, pintunya berwarna hijau.

"Itu rumah tua, punya siapa?"

"Oh, itu dihuni keluarga Pak Nagara. Mereka jarang ngobrol dengan saya, tapi orangnya pada baik. Abah juga tidak dekat dengan mereka. Tapi mereka dulu akrab dengan Aki. Abah saya itu anak semata wayang, Mbak. Dari kecil diasuh bibinya, setelah Nini meninggal. Saat Aki meninggal, baru Abah pindah kemari dan itu setelah Umi meninggal juga ...."

Tiga cangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng tersaji di meja. Ayun cepat mempersilakan Kem untuk turut menikmati, sementara Engkus sibuk memperbaiki letak sofa. "Uang pesangon dari Mbak Jihan kami alihkan untuk bangun rumah ini, Mbak" kata Engkus.

"Alhamdulilah, rumah yang bagus."

"Sederhana, Mbak. Tapi sepuluh tahun kami di sini. Betah. Adem. Memang sih, tak ada listrik. Cuma lampu minyak. Tetangga nggak pada nyinyir, orang rumahnya berjauhan. Cuma ...." Engkus melirik istrinya yang duduk di sebelah Kem, lalu dengan sedih dia ikut duduk berseberangan.

Ayun menghela napas. "Itulah, Mbak. Kami senang di sini, tapi trauma dengan kejadian dulu. Dua kali kehilangan calon anak."

"Kami yang salah, Mbak. Melanggar pantangan. Mestinya tidak boleh jual tanah di Kampung Salaka ini. Pantangan! Nyawa taruhannya," tambah Engkus.

"Kok ada pantangan begitu?" 

"Dari leluhur, Mbak. Saya sudah tanya warga sini. Di sini cuma ada sembilan rumah. Dari zaman dahulu orangnya sama. Maksudnya, mereka dari keturunan yang itu juga. Tak mau jual tanah."

"Ada pantangan lain?"

Engkus dan Ayun menggeleng, keduanya lanjut menikmati singkong. Kem meletakkan cangkir teh. Dia memperhatikan seisi rumah. Ada sofa cokelat, meja kayu, lemari pajangan isi foto-foto keluarga, ruang tamu yang tak terlalu luas. Rumah ini mungil, hanya ada tambahan satu kamar tidur, kamar mandi, dan dapur. Padahal kata Ayun, total luas tanah mereka sekitar 200 meter, tapi dibiarkan lebih luas halaman daripada rumah.

"Hampir dua ratus meteran. Tapi hitungan dari tanah kita yang bagian samping kanan. Kalau rumah, kita sengaja agak rapat ke rumah keluarga Nagara, bagian ujung kiri. Mereka ini semacam tetua di sini. Aki dulu katanya sengaja bangun rumah dekat mereka. Kalau rumah lain itu agak jauh dari kita. Mereka agak dekat tanah yang sudah dibeli pengusaha Jakarta itu sebenarnya, cuma dibatasi tebing yang curam. Jadinya rumah itu kayak menggantung di atas bukit."

"Siapa pemilik rumah itu?"

"Mereka itu sekelompok nenek-nenek."

"Nenek-nenek?"

Ayun mengangguk. "Iya. Tapi kuat fisik mereka untuk turun-naik bukit untuk bertani. Mandiri mereka, dan cantik-cantik meski sudah tua. Itu, muka mereka tuh beda. Kayak enak dipandang."

"Betul, coba aja nanti, Mbak, ketemu. Pasti kagum. Kulitnya kuning, bibirnya merah, hidungnya bangir. Rambutnya aja yang putih perak. Mereka dijuluki warga kampung bawah bukit sini, sebagai Tujuh Bidadari," tambah Engkus.

"Benarkah?" Kem tak sanggup menahan tawa, sampai hampir tersedak menelan singkong. 

Pada saat itu, pembicaraan tentang ketujuh nenek itu terdengar lucu. Namun kini, Kem tak sanggup tertawa lagi. Apalagi, ketika terdengar ketukan di pintu. Entah mengapa, dia merasa suasananya berubah jadi mencekam. Dia merasa takut.

"Buka saja, Mbak. Mereka warga situ, kok. Sampaikan salam saya, ya." Terdengar suara Ayun dari ponsel.

Kem menelan ludah. Dia lalu mematikan ponselnya, dan memberanikan diri untuk membuka pintu. Angin tiba-tiba seakan menerjang, membuat Kem cepat-cepat berpegangan pada gagang pintu. Napasnya memburu, tetapi dia berusaha untuk mampu memandang orang-orang yang berdiri tegak di depannya.

"Baru pindah?" Suara ketujuh nenek itu terdengar seperti paduan suara. Benar kata Engkus dan Ayun, ketujuh nenek itu memang sangat cantik-cantik. 

"I-iya. Baru pindah hari ini. Nama saya, Kem. Ada salam dari Ayun, Nek. Tadi, ditelpon barusan. Si-silakan masuk!"

Ketujuh nenek itu kompak menggeleng. Lalu salah satu dari mereka melangkah maju. "Salam juga untuk Ayun dan Engkus!"

“Ba-baik, Nek.”

“Semoga kamu senang tinggal di sini. Kami semua saling mengenal antartetangga. Meski tidak dekat, kami berhubungan baik. Bukan hanya dengan warga yang tinggal di Kampung Salaka yang cuma ada tiga rumah ini, tapi juga dengan warga yang tinggal di bawah bukit sana.”

“Cuma tiga rumah?”

“Ya. Rumah kami, rumah si Ayun ini, dan rumah Pak Nagara. Kenapa?”

Mendadak Kem makin merinding, dia teringat rumah besar warna hijau di belakang rumah tadi. "Sa-saya, mau tanya. Rumah di belakang ini, yang warna hijau ... itu rumah siapa?"

Ketujuh nenek itu saling berpandangan, lalu mereka kompak tersenyum dan berebut berbicara. "Tak ada rumah di belakang rumah ini. Mungkin kau salah lihat. Baik-baik tinggal di sini, jangan berusaha mengurusi masalah orang lain karena kita hidup di masing-masing rumah. Silakan mengunjungi kami kapan saja. Kami punya banyak sayur, tak usah membeli, ambil saja!"

Kem mengangguk, gugup. Lalu ketujuh nenek itu berbalik pergi, bergegas melangkah dalam gelap. Kem cepat menutup pintu dan menguncinya. Dia juga lari ke bagian dapur, mengintip ke luar dari celah jendela kayu yang telah dikuncinya. Benar! Tak ada rumah di sana!

Hanya pepohonan besar yang banyak dan rimbun. Lalu, apa yang dilihatnya bersama Ara siang tadi?

"Kamu memang lagi kacau pikiran. Masa pohon dibilang rumah? Ayun bilang di belakang rumah itu cuma pepohonan lebat dari hutan. Sudah, tidurlah. Ingat, di sana tak ada listrik. Kamu harus nimba sumur, juga harus rajin turun bukit untuk numpang ngecas ponsel dan laptop ke rumah warga kampung di bawah bukit yang sudah ada listrik," kata Jihan, setelah kembali bisa menghubungi Kem.

"Ah, entah apa aku betah di sini. Ngeri suasananya, Jihan."

"Kan kamu pengen riset soal suku di Gunung Salak yang hilang itu?"

"Iya, tapi paling sebentar. Lusa balik, ah!"

"Waduh!"

Kem tiba-tiba mematikan ponsel. Dia mendadak mendengar banyak suara langkah kaki di sekitar rumah. Lalu terdengar pula suara tawa anak kecil yang sahut-menyahut melengking. Kem cepat bergerak menuju tempat tidur, berusaha untuk rebah di samping Ara. Tetapi matanya sangat sulit terpejam. Dia kembali merasa takut.





<