cover landing

The Stranger I Met in Bali

By AhyaBee

Berkeliaran di pusat perbelanjaan dengan kulot dipadukan kaus oversized yang warnanya sudah memudar sudah cukup untuk Ukaysha menyebut gadis itu gila! Belum lagi teriakannya yang memekakan telinga. Seenak jidat dia memerintah seorang Ukaysha Athalla Gandasasmita, pewaris tunggal Glorious Company yang baru saja memberhentikan mobilnya di lobi. Gadis berwajah bulat dengan rambut cokelat terang itu tidak tahu siapa yang sedang dia hadapi dan seenaknya masuk ke dalam mobil Uka.

"Aku bukan driver taksi online!" katanya sekali lagi.

"Apa susahnya, sih, antar aku sebentar? Lagi pula deket, kok. Ntar aku tambahin, deh, ongkosnya. Telat, nih! Buruan, dong." Gadis berkulot loreng tergopoh dengan beberapa paper bag di tangannya. Setelah mengempaskan diri di kursi belakang, suara seriang mercon kembali memerintah si Pengemudi untuk menjalankan mobil. Dari kaca spion, dapat dilihat gadis tanpa riasan di wajahnya itu langsung fokus pada kesibukannya mengecek satu per satu isi tas belanjaan yang dibawa. Suara sopir pun diabaikan begitu saja.

"Ayo, jalan!"

Sinar flash bersamaan bunyi klik memaksa Ukaysha kembali menatap spion. Tak hanya sekali, tetapi tiga kali!

"Dasar, Gila! Mana ada driver taksi pakai tuksedo, tampan pula." Alih-alih mengusir gadis yang usianya diperkirakan sekitar dua puluh tahunan itu, Ukaysha justru menyalakan mobil dan menginjak gas. Mobil pun melaju. Meninggalkan pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta.

"Kamu ngomong sesuatu?" Tak memberi kesempatan untuk menjawab, gadis yang menggerai rambutnya seperti Beyonce kembali berceloteh, "Aku mau ke Wisma dulu sebelum ke salon lalu ke pesta. Duh, telat, lat, lat!"

Siapa yang tidak terkejut, mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak. Gadis berbibir tebal di belakang sudah siap menumpahkan sumpah serapah. Namun, belum sempat mengeluarkannya, kesempatan itu sudah lenyap.

"Kutegaskan sekali lagi, aku bukan sopir taksi."

"Lah, terus ngapain tadi diem aja? Malah nganterin sampai sini! Tadi jelas bener kok nomor plat taksi daringku. Ah, ya ...," kata gadis itu sambil menjentikkan jari dan mencondongkan tubuh ke depan. "Jangan-jangan kamu ini penjahat atau penculik? Perampok? Oh, tidak! Jangan-jangan penjual wanita!" Pekikan itu diiringi perubahan wajah yang memerah dan mata besar yang nyaris keluar dari kelopaknya.

"Berani-beraninya mengambil kesempatan dalam kesempitan!" Gadis berkulit sawo matang itu mencoba melumpuhkan Ukaysha dengan menjambak rambutnya. Tak puas, dia mendorong-dorong tubuh terbalut tuksedo sampai condong ke setir kemudi. Kegaduhan tak dapat dihindari. Ekspander hitam bergoyang-goyang menarik perhatian para pedestrian.

Tampaknya keriuhan itu tidak berdampak banyak. Tidak ada yang tertarik ikut campur apa yang terjadi di dalam mobil. Mereka yang lewat hanya berhenti sejenak, mengamati, dan pergi setelah tahu hal itu terlalu intim untuk diikutcampuri.

"Berhenti bicara dan dengar," tegas Ukaysha dengan napas terengah. "Keluar dari mobilku sekarang!"

Serangan bar-bar itu diatasi dengan mudah. Ukaysha menyugar rambutnya dengan kesal. Dia menyesal membiarkan orang asing memasuki mobilnya.

Sial! Harusnya dia menolak saran Dianti memakai kendaraan butut selagi mobilnya sedang ada di bengkel.

Awalnya, dia pikir ada keadaan darurat sungguhan yang memaksa sisi kemanusiaannya terpaksa membantu gadis yang kemungkinan gila itu.

"Aduh, anu, em, itu ... berhubung udah terlanjur sampai sini dan Wisma juga udah deket kan? Boleh enggak kalau aku—"

"Mau nebeng?"

Enggak tahu malu! 

Gadis itu mengangguk dengan cepat sambil mengulas senyum.

"Enggak ada! Silakan, turun!"

Gadis yang menggigit bibir bawahnya itu memindai wajah di depannya, memastikan ekspresi sang sopir dan keputusan apa dirinya benar-benar harus turun.

Secepat kilat Ukaysha memalingkan wajah kembali menghadap ke jalanan. Mencengkeram erat setir sampai buku-buku jemari memutih. Cengkeramannya semakin kuat saat gadis bersuara nyaring tergelak-gelak tanpa sebab. Selembar undangan dengan desain mewah tergeletak di atas dasbor menyita perhatian dan menghentikan tawa menggelikan itu.

"Astaga! Undangan itu." Gadis itu mencoba mengambilnya. Tubuh terbalut kaus oversized berlengan panjangnya terhuyung, tetapi tidak ada tanda-tanda akan menghentikan aksinya mengambil undangan. Tangan kanannya kemudian meraih pundak Ukaysha sebagai pegangan sampai tangan kiri yang terbebas bisa menjangkaunya. Ukaysha merasakan tekanan di pundak saat gadis itu mengentakkan badan. Dari samping, ada semburat bahagia yang terpancar saat kertas itu berhasil diambil. "Kamu diundang?"

Pertanyaan bodoh!

"Aku juga," lanjutnya.

Napasnya memburu, dia membaca nama yang tertera di undangan itu keras-keras. "Ukaysha Athalla Ga—"

Sambaran itu secepat perintah Ukaysha. "Buruan, turun!"

"Aku yakin pernah mendengarnya, tapi di mana? Oh, iya. Aku Asti. Ida Ayu Kadek Suasti seorang pragina dari Bali."

"Hentikan omong kosong ini, ambil barang-barangmu, dan cepat pergi jauh dari sini! Enggak perlu modus untuk mendapat tumpangan gratis."

"Beneran, aku enggak bohong, lihat ini." Undangan yang sama diambil dari tas selempangnya. "Kita, kan, satu tujuan. Bareng aja, yuk! Enggak enak, kan, kalau dateng sendiri. Apalagi acara nikahan, ketahuan jomlonya."

"Sejak kapan aku dan kamu jadi kita?" Kedua alis tebal Ukaysha menukik tajam nyaris bertautan. "Kenapa kamu yakin banget aku mau dateng ke acara enggak penting itu?"

"Eh, kamu enggak tahu, ya, kalau mendatangi undangan itu hukumnya wajib, apalagi undangan pernikahan. Ngomong-ngomong, kenapa enggak mau dateng? Hah, jangan-jangan ... mantan, ya?"

"Sok tahu."

"Ngaku aja, deh. Enggak dosa, kok, punya mantan."

"Bisa diem enggak?” Uka Kembali menampilkan wajah garang.

"Beneran mantan, ya? Bagus kalau gitu! Kamu harus dateng. Kamu harus tunjukin bahwa—"

"Enggak ada yang perlu ditunjukin." Wanita ini memang aneh, lanjut Uka dalam hati.

"Eits, Anda salah besar wahai, Pemuda! Pembuktian itu hal tersakral dan wajib, jib, jib dalam cinta. Salah satunya dateng ke pernikahan mantan."

Dia memindai wajah Ukaysha sekali lagi.

Sambil bertopang dagu pada sandaran jok depan, dia kembali berceloteh, "Kalau dilihat-lihat, kamu ini ganteng, kok. Serius. Kalau aku belum punya pacar, aku mau banget jadi cewek kamu. Tampan, kelihatan mapan, sedikit galak, sih, tapi jadi keren." Gadis itu sepertinya sinting. Tawanya sangat lebar dan bebas. Pujian yang diutarakan terang-terangan membuat wajah putih Ukaysha bersemu merah. Dalam sekejap, tawa itu pudar berganti ekspresi serius saat melanjutkan, "Aku bisa lihat dari matamu itu kalau kamu tipe pecinta satu wanita. Aku juga begitu, aku tipe satu laki-laki dalam hidup udah cukup. Sayang banget aku udah ada Wayan. Gimana kalau kamu—"

"Simpan aja nasihat cintamu itu, aku enggak ada waktu lebih baik turun sekarang."

"Oh, ayolah. Dunia enggak akan berakhir semudah itu walau mantan terindah akan menikah."

"Bisa diem enggak? Turun sekarang dan lihat plat yang kamu bilang sama dengan ojek online-mu!"

"Aku paham perasaanmu sekarang, tapi marah hanya menunjukkan perasaanmu yang sebenarnya. Kalau berubah pikiran, wisma aku ada di depan sana. Oh, iya, terima kasih tumpangannya."

Asti berlari dengan gesit walau banyak paper bag di tangannya. Dia berbalik untuk melihat nomor plat mobil yang ditumpanginya kemudian terkekeh. Tak lama teriakan ala suporter bola terdengar, "Cepat move on!"

***

Bunga artifisial menjuntai di langit-langit saat Ukaysha menjejakkan kaki di salah satu ballroom terbesar di Jakarta Selatan. Poster besar bergambar kedua mempelai diletakkan persis setelah pintu masuk yang sudah disulap estetik. Ukaysha sudah berdiri di sana mengamati senyum mengambang keduanya mempelai itu.

Hatinya mendidih, sepuluh jari sudah terkepal. Dia memindai ruangan dengan tema Shabby Chic. Perpaduan putih dan merah muda yang lembut sekaligus romantis. Di tengah ruangan, sepasang patung es berbentuk angsa menjadi pusat perhatian. Benda transparan itu membiaskan cahaya lampu membuatnya berkilau menakjubkan.

Pasti dibuat oleh Donatelly, kata Ukaysha dalam hati.

Sang kekasih—ralat mantan kekasih, telah merancang pernikahan impian dengan begitu sempurna. Persis dengan apa yang direncanakan saat bersama Ukaysha beberapa bulan yang lalu. Sayangnya saat acara itu terealisasi, mempelai prianya berbeda. Bukan Ukaysha!

Suara musik tradisional menggema, seorang wanita menghampirinya. Dengan lihai, si Penari mengalungkan kalung bunga tanpa meletakkan bokor yang ada di tangannya.

"Selamat datang, Tuan ... Ukaysha," katanya sambil memutar tubuh. Ukaysha yang menegang mendengar si Wanita terkekeh pelan. "Kamu tidak mengenaliku? Kenapa tidak menjemputku?"

Tubuh sintalnya tak berhenti bergerak. Dia terus menarikan Tari Puspaanjali bersama enam penari lainnya. Tarian penyambutan dalam sebuah acara besar di Bali. Ukaysha menduga sang mempelai pria berasal dari Pulau Dewata. Saat dia mengamati sekitar, aksen Bali cukup kental di sayap kanan.

Pandangannya berhenti tepat saat para mempelai menyalami satu per satu para tamu undangan. Tidak ada kebohongan di atas sana. Senyum yang merekah sangat alami. Dada Ukaysha terasa makin sesak. Dia yakin masih menyayangi sosok wanita di altar sana. Ada kecewa merajah kala keputusan mengakhiri hubungan diambil. Sayangnya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Tanpa komando kakinya perlahan berjalan menjauh.

Pragina Bali meliuk tajam, menepi, dan mengejar Ukaysha setelah tugasnya digantikan penari lain.

"Asti! Mau ke mana?" Teriakan itu dibalas dengan suara yang sama kerasnya. Namun, dia tidak bisa membuang waktu atau akan kehilangan jejak Ukaysha.

Dugaan Asti tepat, Ukaysha pasti akan pergi ke tempat sepi. Untuk ke taman belakang butuh waktu lebih banyak karena harus memutar. Tempat sepi terdekat hanyalah toilet. Tempat privat yang tidak akan mengganggu pria itu.

Di lorong penghubung antara toilet laki-laki dan wanita, lelaki bertuksedo mengilap itu sedang mondar-mandir sambil memegangi bibir tipisnya yang ... pucat.

"Udah setor muka?" kata Asti mengejutkannya. "Mau bareng?"

"Aku serius," lanjut Asti merasa ditatap seperti makhluk asing. "Kita bareng aja, ya. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku ganti baju sebentar. Oke?"





<