cover landing

The Unseen Truth

By Chiaki95

"Ibu itu apa?"

Mata kecil itu berkedip setelah beralih dari layar televisi. Pertanyaan dibalas usapan di puncak kepala, wanita berpenutup kepala tersenyum, menjelaskan kata yang baru dikenalnya saat usia lima tahun.

"Hangyul-ah, ibu adalah wanita yang melahirkan kita, Sayang. Ibu itu wanita yang tidak mau kita sakit, menjaga kita, menyayangi, merawat kita sejak kecil...”

"Berarti Suster Thalita ibuku?"

Wanita pertengahan empat puluh tahun dengan kerut halus di kedua sudut matanya itu tercekat, tidak bisa menjawab pertanyaan Lee Hangyul dengan kata-kata, wanita berparas teduh itu meremas bahu Hangyul lembut, membawanya dalam pelukan paling nyaman.

"Tapi, Suster, kenapa Suster mau pergi seperti Suster Margareth?"

 

***

 

Apa kematian itu memiliki warna?

"Ya, hitam pekat!"

Berbau seperti apa?

"Seperti apa ya, tapi ada juga yang busuk sekali, macam tikus got!"

Ban mobil yang semula meluncur mulus mulai bergoncangan di jalan menanjak, beberapa barang yang mengisi mobil pick up biru tua melompat-melompat bising.

"Wah, barangku rusak nih pasti." Lee Hangyul mengecilkan volume radio dengan bahasan seputar kematian lantas berdecak ke arah pengemudi, sisa permen lolipop ditandaskan dalam sekali gigit.

"Barangmu sudah jelek, tinggal bilang terima kasih bantuannya gitu loh ... Lidahmu gatal kalau gak protes?" 

   Memasuki sebuah gang, mobil berhenti setelah melewati tiga rumah dibarengi gerutuan dari sopir gratisan yang menurunkan barang, Lee Hangyul mengetuk pintu pagar setinggi dada, di halamannya ada pohon kesemek kecil yang hampir kering, dan kandang anjing yang sudah separuh rusak.

“Kak, adikmu yang paling tampan tiba!” Hangyul sedikit berteriak, dia berpikir, pasti wanita awal tiga puluhan itu masih tidur, pantas saja dia tidak menikah.

 “Udah taruh di situ aja,” ucap Hangyul pada si sopir yang sudah ingin melempar Hangyul dengan batu.

“Wah, anak ini … utangku impas ya, jangan minta tolong lagi.” Hangyul tertawa garing atas jawaban Lee Jinhyuk, rekan sekaligus sosok kakak yang membantunya belajar selama dia SMA.

“Hahaha, masih aja emosian, saranghae, Hyung.”

“Menggelikan, Cih!” Jinhyuk menyahut sambil merinding dan menutup pintu mobil. Belum lima meter mobil pergi, pintu rumah dikuak dari dalam, seorang wanita setinggi seratus enam puluh senti keluar dari dalam dengan rambut berantakan.

“Pagi sekali sampai, berangkat jam berapa?” Wanita bernama Lee Hareum itu menguap sambil melirik ke arah jam di pergelangan tangan Hangyul, dibawanya koper Hangyul ke dalam, sementara adik laki-lakinya mengangkat lemari kecil ke dalam rumah dengan mata berkeliaran ke sekeliling.

“Jam empat, butuh dua jam ke sini eih-eih, Kak … kau perempuan apa sih, berantakan sekali, jadi banyak hantu kan!”

Wajah Lee Hangyul jauh dari kata santai, dia yang terlihat lebih tua dari usianya membuat Lee Hareum memincing dengan perkataannya. Dulu saat pertama kali Hangyul datang ke rumahnya, dia membuat Hareum tidak bisa tidur karena berbicara sendirian setiap ke dapur, jadi Hareum tidak heran jika Hangyul bercerita soal hantu.

Selepas memerhatikan keadaan rumah, mata pemuda berhidung bangir itu bertemu dengan milik Hareum, Hangyul nyengir, tidak bisa lagi menahan tawanya dengan ekspresi takut Hareum.

“Bercanda ya ampun.” Diturunkannya lemari kecil di pojokan ruang tamu, Hangyul tahu kesusahan yang dihadapi wanita itu satu tahun terakhir, dia cuek terhadap dirinya sendiri dan selalu memikirkan Hangyul, bahkan lihatlah isi lemari pendingin begitu Hangyul membukanya, hanya ada keripik kentang dan air mineral.

“Ah aku bisa mati jantungan karena kau.” Lee Hareum melepas sebelah sandal rumahnya dan melemparnya ke punggung Hangyul yang berjongkok di depan lemari pendingin. Hangyul berjengit lantas membuang napas sedikit berlebihan.

“Yak, Kakak akan mati kelaparan dulu sebelum jantungan.” Pemuda setinggi seratus tujuh puluh enam senti itu menutup lemari pendingin, lalu memungut bekas jajangmyun di meja dapur, memasukkannya pada plastik sampah dan menentengnya.

“Iya-iya, Bapak Lee Hangyul!” Dari sudut matanya, Hangyul mendapati wanita yang barusan menjawab sambil mengangguk-angguk masuk ke dalam kamar mandi di sebelah dapur.

“Dia memang lebih mirip Ayah,” gumam Hangyul dengan senyum terkulum.

“Aku ke minimarket dulu, jangan berangkat kerja sebelum aku pulang!” Pemuda berbadan tegap itu mengenakan sepatunya, dia melempar sampah di tong sampah ujung gang.

Sebenarnya Hangyul ingin kakak perempuannya itu segera menikah, hidup dengan baik bersama seorang pria kaya dan penyayang. Tapi sejak setahun kepergian kedua orang tuanya, Hareum hanya memikirkan Hangyul, wanita itu bahkan terlalu acuh untuk sekadar memerhatikan makanannya sendiri.

Dua blok dari tempat tinggal kakaknya ada minimarket, Hangyul masuk bersamaan dengan gadis berambut sebahu. Gadis bercelana olah raga itu menyenggol lengannya sekilas lalu berkelok ke rak makanan.

“Gila, dingin sekali, dia bukan hantu kan?” Hangyul membatin sambil bergidik ngeri.

“Selamat datang, selamat berbelanja!” Hangyul terkesiap, dia menoleh ke arah kasir yang tersenyum lalu sadar posisinya masih berdiri di depan pintu masuk.

Menyemat senyum kaku, Lee Hangyul mengambil keranjang belanjaan. Sambil mencari sosok gadis tadi, Hangyul mengambil dua bungkus telur isi enam dan memasukkan dalam keranjang, empat kotak susu juga masuk mulus ke dalam keranjang berwarna biru itu. Saat berjalan menuju rak ramyeon, pemuda berambut pirang itu mendapati gadis tadi di depan jajaran bir. Benar saja yang Hangyul rasakan, auranya negatif, minim senyum, kantong mata nyaris semuka dan satu yang menjadi fokusnya sekarang, tangan gadis berjaket hitam itu sibuk menjejalkan kaleng bir ke balik jaketnya. Kening Hangyul berkerut, orang yang berbelanja tidak akan menyimpannya di balik jaket bukan?

“Ehem.” Hangyul mengambil tempat di belakang punggung gadis itu, lalu menepuknya pelan.

“Keranjang belanjanya di sebelah sana!” Gadis itu memutar leher, sedikit mendongak melihat sosok pemuda yang menunjuk tumpukan keranjang. Bukannya mendapat respons baik, malah sebuah sikutan didapati Hangyul di rusuk membuat pemuda yang belum genap dua puluh tahun mundur dua langkah lalu meringis tanpa suara mengusap rusuk bawahnya.

“Brengsek!” Tiga kaleng bir jatuh, gadis itu melesat melewati rak-rak, langkahnya terburu, setelah umpatan yang baru saja dilontarkan gadis itu, yang tersisa hanya pintu kaca minimarket perlahan tertutup.

“Mencuri bir ya?” Lepas dari rasa nyeri di rusuknya, pemuda berkaos putih dengan outer biru itu berjongkok memungut tiga kaleng yang jatuh dari jaket gadis tadi lantas memasukkannya ke dalam keranjang.

Hangyul buru-buru membayar belanjaannya untuk mengejar gadis itu, tapi nihil, tidak ada apa pun yang dia temukan begitu dia keluar dari minimarket.

Sepotong umpatan dari gadis berdagu kecil tadi membuat hati Lee Hangyul tidak nyaman, sampai dia selesai mematangkan telur dan menghidangkannya sebagai menu sarapan Hareum, raut wajah Hangyul kian kusut.

“Kenapa mukamu kelihatan makin tua?” Hareum yang sudah siap dengan tas selempang putih dan high heels memabalut kaki itu menyuapkan sepotong telur gulung, “Ada apa?” lanjutnya setelah menelan kunyahan. Masakan Hangyul tidak pernah mengecewakan, meski dia tidak lahir dari rahim sang ibu, masakannya terasa serupa, tidak diragukan lagi jika Hangyul benar-benar adiknya.

“Barusan ada yang mengumpatku, gara-gara dia aku jadi beli bir.” Hangyul duduk di kursi makan kecil, ikut menyuap sarapannya. “Auranya benar-benar buat merinding.” Hangyul mengangkat sumpit, mengenang apa yang baru saja dialaminya.

“Cantik?”

“Imut sih!”

Tanggapan dari celetukan Hareum disadari ketika kakak perempuan satu-satunya itu tertawa hampir menyemburkan makanannya.

“Wah jebakannya curang!” Hangyul memutar bola mata lalu mengembuskan napas tanda kalah.

“Aku berangkat! Oh iya mumpung kau belum sibuk, bersihkan rumah ya!” Hareum tertawa lebar, giginya yang rapi dan putih dibingkai polesan merah menyala tampak sangat sesuai dan sensual, Hangyul akui, kakaknya tidak jelek. Saat di universitas dulu, tidak sedikit mahasiswa yang berebut perhatiannya. Satu-satunya alasan yang dapat diterima Hangyul atas kesendirian kakaknya saat ini adalah, dia sendiri, Lee Hangyul.

“Saya pembantu malaikat Anda, Nyonya,” sahut Hangyul tanpa semangat dengan titah terakhir kakaknya tadi.

Udara di penghujung musim gugur adalah yang terbaik untuk bersih-bersih, begitu jarum pendek jam menyentuh angka dua dan jarum panjang di persimpangan angka lima dan enam, Hangyul sudah selesai menata barangnya, mengepel lantai, dan membetulkan rumah anjing kosong di halaman yang tidak seberapa lebar itu.

Kaki panjangnya selonjor di beranda rumah, membiarkan sepoi angin akhir September menjamahi wajah juga celah leher bajunya.

Semilir aroma sup tulang menyapa hidung, mirip buatan ibunya saat Hangyul demam. Kenangan tentang ibu dan ayah yang baru bisa dia panggil begitu masuk sekolah dasar bangkit, menelusupi kepalanya.

“Kangen sekali, Ibu, Ayah!” Sebait kalimat terselip di antara kenangan itu, bahwa mulai saat itu mereka adalah keluarga.

Dering ponsel membawa Hangyul kembali dari lamunan, dia akan sepenuhnya lupa ada janji pukul tiga sore di E-lite Club jika tidak diperingati oleh pesan masuk barusan.

Sebelum Hangyul memutuskan ikut perkatakaan kakaknya untuk tinggal bersama, dia terlebih dahulu tahu, tabungan wanita awal tiga puluhan itu sudah sisa sedikit. Maka tanpa pengetahuan Hareum, Hangyul sudah mengirimkan cv-nya ke salah satu club malam untuk bekerja setelah jadwal kuliah.

Kelab tiga lantai itu berwarna dominan abu-abu dengan sedikit warna hitam pada desainnya, lantai marmer terasa sedikit licin di sol sepatunya. Pemuda berparas tegas itu menunggu di lobi lantai dua.

“Ketahuan Kak Hareum lamar kerja di sini tamat aku!” gumamnya sembari membiarkan matanya berkeliaran, memerhatikan dua lorong dengan pintu-pintu ruangan khusus yang bertemu di titik tempat dia dan beberapa orang lain menunggu sekarang. Satu pintu terbuka, membuat atensinya bertumpu pada sosok yang keluar dari sana. Seolah dihadiahi kejutan, tanpa sadar tangannya menunjuk.

“Pencuri bir?” Gadis berambut sebahu, masih dengan jaket dan celana olah raga yang sama seperti pagi tadi, juga aura negatifnya yang sama sekali tidak berubah. Baru hendak bangkit dan membawa langkah ke arah gadis itu sebuah suara menginterupsi.

“Lee Hangyul-ssi silakan masuk … Lee Hangyul-ssi!”

“Ya, saya.”

Hangyul menjawab dengan kepala tetap terarah pada punggung gadis berambut sebahu yang menghilang ke arah tangga.

Dua kali, pasti ka nada yang ketiga, entah kenapa Hangyul merasa demikian, padanya yang punya aura sedingin es.

***





<