cover landing

The Pasta and You

By dest

Di sebuah dapur minimalist dengan segala furniture-nya yang berwarna hitam terlihat dua orang di sana. Gadis berkemeja biru yang duduk di kursi bar dengan satu tangan yang memegang segelas orange juice, sementara gadis berkaus putih yang terlihat sibuk dengan sebuah adonan pie. Mereka adalah Raline atau yang lebih sering dipanggil Aline—gadis berkaus putih—dan Kyara—gadis berkemeja biru. Keduanya sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku menengah atas sampai dengan sekarang di saat keduanya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Kyara meletakkan gelas di meja bar kemudian melipat tangan dengan mata yang terus memperhatikan Aline yang sedang meletakkan adonan pie ke loyang. Aline dan memasak, Aline dan dapur adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Sahabatnya yang terkenal pendiam, seorang introvert ini merupakan seorang chef. Siapa yang menduga kalau seorang Raline yang dulu Kyara kenal sebagai siswa di sekolah yang sangat pendiam ternyata pandai memasak dan bisa menjadi chef seperti sekarang.

Padahal saat masih sekolah dulu Aline tak pernah membahas mengenai memasak dan tak pernah mengatakan niatannya menjadi seorang chef. Namun, ternyata setelah lulus SMA ia malah pergi ke luar negeri dan belajar menjadi seorang chef di sana. Tentu sebagai sahabat Kyara sangat kaget dengan keputusan Aline, tetapi ia tetap mendukungnya.

Beberapa tahun menimba ilmu di negeri orang akhirnya Aline kembali ke tanah air sebagai seorang chef, tentu saja belum banyak orang yang mengetahui hal tersebut, hanya orang-orang terdekat saja. Mengetahui sahabatnya menjadi seorang chef dan kini sudah mempunyai sebuah restoran tentu membuat Kyara sangat bangga padanya. Tentunya ia juga mendapatkan keuntungan karena selalu mencoba makanan enak tiap kali ia datang ke apartemen Aline. Seperti saat ini contohnya Aline sedang membuat savoury pie dengan chicken mushroom sebagai isiannya.

“Lin, lo enggak mau dateng ke acara reuni sekolah?”

Aline melirik Kyara sekilas sambil mengisi pie dengan chicken mushroom yang sudah ia buat. “Lo kan tahu gue paling malas sama reuni kayak gitu. Apalagi teman kita udah banyak yang married, pasti pertanyaan yang bakalan gue dapat enggak jauh dari soal jodoh dan kapan nikah.”

Terdengar gelak tawa Kyara. “Ya makanya cari pacar supaya enggak ngenes-ngenes banget gitu.”

Terdengar helaan napas Aline sembari dirinya menutupi bagian atas pie yang sudah ia isi tadi. Kalau perihal mencari pacar semudah membuat pie yang ia buat sekarang maka Aline sudah mendapatkannya sejak lama. Sayangnya tak semudah itu, ada yang menyukainya, tapi ia tak menyukai pria itu. Dan sebaliknya, di saat ia menaruh hati pada pria lain justru pria itu tak memiliki perasaan yang sama. Hidup kadang memang selucu itu.

“Kita datang bertiga kok—sama Ulan juga, gue enggak ajak Jery.”

Kyara menyebut Ulan—sahabat mereka juga yang saat ini absen tidak ikut ke apartemen Aline karena sedang di kantor. Sedangkan Jery adalah kekasih Kyara yang sudah berpacaran selama satu tahun setengah. Kyara tahu kalau Aline tidak suka tiap kali mereka harus pergi bersama, tapi ada salah satu diantara mereka yang mengajak kekasih. Bukannya Aline merasa iri atau bagaimana, hanya saja terkadang fokus mereka akan terbagi-bagi atau kadang lebih sering mengobrol dengan kekasih mereka dibandingkan dengan sahabatnya.

Aline memasukkan pie chicken mushroom-nya ke dalam oven. Ini sebenarnya sudah kesekian kali Kyara atau pun Ulan membujuknya agar ikut ke acara reuni SMA. Sejak awal diadakannya acara tersebut, Aline memang selalu mangkir dan selalu memiliki banyak alasan. Namun, sekarang sepertinya Kyara dan Ulan tak akan membiarkan ia kembali mangkir ke acara tersebut. Aline tidak memiliki banyak teman di SMA, yang akrab dengannya hanya Kyara dan Ulan selebihnya hanya biasa saja. Jadi ia pikir buat apa ia datang ke acara reuni tersebut sementara ia bisa bertemu dengan Kyara dan Ulan hampir setiap hari.

“Sekali aja lo ikut, ya?” bujuk Kyara.

“Kapan acaranya?”

Kyara tersenyum merasa mendapat titik terang. “Sabtu ini.”

“Gue enggak punya baju buat ke acara begitu.”

“Enggak usah pusing, kali ini bebas—enggak ada dress code.

“Nanti kalo ketemu Rama gimana?”

Sahabatnya itu bertopang dagu. “Bukannya lo udah enggak ada perasaan ke Rama? Harusnya  fine-fine aja dong kalo udah enggak ada rasa ….” Ia menjeda ucapannya sebelum kembali melanjutkan, “Atau lo sebenarnya masih suka sama Rama?” lanjut Kyara.

“Enggak!”

“Yaudah kalo gitu enggak masalah kan lo datang ke acara reuni. Kalo lo enggak dateng buat menghindari Rama, artinya lo masih ada rasa.” Kyara tersenyum karena merasa mendapatkan kunci agar Aline mau menghadiri reuni tersebut.

Aline mencebikkan bibir sebal mendengar ucapan sahabatnya, ia membawa peralatan memasak yang kotor ke bak cucian piring. Sial. Kyara berhasil membuatnya mau tak mau datang ke acara reuni tersebut demi membuktikan kalau ia memang sudah tak memiliki perasaan apapun pada laki-laki bernama Rama. Namun, memangnya benar Aline sudah tak memiliki perasaan pada Rama? Entah lah, Aline sendiri ragu dengan hal itu.

***

“Satu spaghetti bolognese dan satu spaghetti tartufo.

Seorang pria meletakkan dua piring pasta yang ia bawa di meja, menyajikan pada pelanggan. Pasta King—sebuah restoran pasta yang terlihat cukup ramai di siang hari ini. Dua orang gadis dengan tiga orang pria terlihat sibuk dengan pekerjaannya di dapur.

Pasta King adalah restoran milik Aline yang ia bangun dengan uang tabungannya saat ia bekerja sebagai chef di salah satu restoran. Sebagian lagi ia mendapatkan pinjaman modal dari orang tuanya sehingga berdirilah restoran ini yang memang sudah menjadi impiannya sejak dulu. Aline memilih mendirikan sebuah restoran pasta karena kecintaannya terhadap makanan asal Italia itu. Ia merupakan salah satu orang yang sangat menyukai pasta.

Di restoran, Aline bertindak sebagai pemilik sekaligus head chef atau executive chef dengan dibantu tiga orang sebagai asisstant chef dalam hal masak memasak dan seorang helper di dapur. Ia juga mempunyai satu orang yang bertugas sebagai kasir. Restoran ini mempunyai konsep order and pay dimana begitu datang pelanggan langsung memesan pesanan di kasir dan juga langsung membayarnya saat itu juga. Pasta King juga mempunyai dapur yang berada di tengah-tengah restoran sehingga pengunjung bisa melihat secara langsung proses pembuatan pasta yang mereka pesan.

Selain itu siapa pun yang meng-handle pesanan sebuah pelanggan maka orang tersebut pula yang mengantarkan pesanan ke meja pelanggan. Pasta King sudah berdiri selama satu tahun dan selama itu pula perkembangannya cukup bagus. Dari yang awalnya belum banyak diketahui orang sekarang sudah banyak yang mengenal restorannya.

“Bel, tolong ambil tomat cherry di gudang,” seru Aline.

“Iya, Chef.

Dapur restoran terlihat begitu sibuk, suara spatula saling beradu dengan pan seakan menjadi musik mereka setiap hari. Wangi harum masakan bercampur menjadi satu yang sudah begitu akrab di indera penciuman mereka. Semua terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak ada satu pun yang terlihat menganggur. Semua terlihat begitu lihai dengan apa yang mereka kerjakan. Aline memang tak salah menerima Alex, Joni dan Rendy sebagai asisstant-nya di dapur.

Chef?” panggil Joni dengan suara pelan sambil menggerakkan pan yang berada di atas kompor guna mengaduk masakan agar bumbunya merata.

Aline yang sedang memberikan garnish pada makanannya melirik sekilas. “Kenapa?”

“Dari tadi pelanggan di meja nomor lima mandangin Chef terus.” Ia tersenyum.

Gadis itu tersenyum melirik sekilas ke arah meja nomor lima yang dimaksud Joni. Di sana terlihat seorang pria berkemeja yang memang sedang menatap ke arahnya. Namun, apa peduli Aline, bukan kah hal seperti ini sudah biasa baginya. Ia bukan sombong, hanya saja memang seperti itu faktanya. Bahkan hampir setiap hari memang ada pelanggan yang seperti ini seakan terpesona dengan kepiawaian Aline di dapur.

Selain itu Aline memang memiliki wajah yang cantik ditambah lagi dengan chef jacket berwarna putih yang saat ini kenakan membuatnya terlihat begitu keren—banyak orang yang mengatakan demikian. Rambut hitam sebahunya dikucir kuda dengan beberapa helai rambut bagian bawahnya yang tak terbawa menjuntai ke leher seakan menambah kecantikannya. Jadi jangan heran kalau ada beberapa pelanggan yang datang ke restorannya karena senang melihat Aline memasak.

“Kamu merhatiin aja, Jon.”

“Gimana enggak merhatiin Chef daritadi doi enggak kedip lihat Chef. Ganteng kok Chef, boleh lah ya.” Joni tersenyum.

Aline menegakkan tubuh yang sejak tadi sedikit membungkuk kemudian menoleh dan tersenyum pada Joni. “Boleh lah—tapi saya enggak tertarik.” Ia kemudian mengantarkan sepiring pasta ke meja pelanggan. “Satu penne ricotta and beef sausage,” katanya sambil tersenyum.

“Meja berapa lagi yang belum di-handle, guys?” tanya Aline saat kembali ke dapur.

“Udah semua, Chef,” jawab Rendy.

“Oke, good job.

***

Ponsel yang tergeletak di atas meja terus berbunyi nyaring untuk kesekian kalinya seakan menandakan kalau sang penelpon sangat tidak sabaran ingin panggilannya segera dijawab. Pintu kamar mandi terbuka menampilkan gadis cantik dengan kaos putih dan celana kulot selutut berwarna kecoklatan. Rambutnya yang basah ia gosok-gosok dengan handuk kecil. Aline menyambar ponsel miliknya kemudian menghempaskan tubuh di sofa.

Sambil menerima panggilan Aline melirik jam di ruangan yang menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Setengah jam yang lalu restoran baru saja tutup, para pegawainya pun sudah pulang dan ia memilih ke ruangan miliknya untuk segera membersihkan diri. Seharian berada di dapur tentu membuat tubuhnya terasa lengket, meski Aline sudah sangat akrab dengan hal itu, tentu saja ia tetap harus sesegera mungkin membersihkan diri. “Malam ini kamu pulang ke rumah kan. Mama kesepian di rumah.

“Iya Mah, Aline pulang ke rumah. Sebentar lagi aku berangkat.”

Yaudah kalo gitu mama tunggu.

Dibandingkan pulang ke rumah, Aline memang lebih sering pulang ke apartemen miliknya. Hal itu dikarenakan jarak antara rumah dan restoran yang cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan mobil. Sementara jika ke apartemen hanya setengah jam. Aline yang merasa sudah begitu lelah memasak selama seharian tentu akan memilih yang lebih cepat agar bisa segera beristirahat. Namun, mamanya sering kali menelepon dan memintanya pulang karena merasa kesepian di rumah.

Setelah mengeringkan rambut dengan hair dryer Aline langsung menyambar kunci mobil dan berjalan menuju pintu samping. Ruangannya ini memang mempunyai dua pintu, satu pintu yang menghubungkan dengan bagian dalam restoran. Sementara pintu satunya lagi menghubungkan dengan parkiran sehingga ia tak perlu kembali masuk lagi ke dalam restoran.

Mobil merah miliknya yang baru saja dibeli enam bulan lalu sudah melaju membelah ibu kota di saat waktu hampir menunjukkan tengah malam. Alunan lagu dari radio mobil menemaninya selama perjalanan. Ada untungnya ia pulang malam seperti ini karena jalanan begitu lengang sehingga ia tak perlu berjibaku dengan kemacetan ibu kota yang tak ada habisnya. Sesekali ia hanya berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah, seperti sekarang ini contohnya.

Sambil menunggu lampu lalu lintas kembali berubah warna Aline menolehkan kepala menatap keluar jendela. Tepat di sampingnya terlihat pasangan muda-mudi berboncengan motor dengan si perempuan yang duduk di jok belakang dan kedua tangannya yang melingkari pinggang si pria. Mereka terlihat sedang bercanda dengan tangan si pria yang usil menggelitiki lutut si perempuan yang langsung tertawa seraya memukul bahunya pelan. Hal sederhana, tapi terlihat begitu manis dan membahagiakan.

Pandangan Aline masih tertuju pada pasangan tersebut, otaknya berkelana jauh membandingkan mereka dengan dirinya sendiri. Jelas jauh berbeda, mereka berpasangan dan Aline sendiri. Waktu terus berjalan, usianya terus bertambah yang sebentar lagi akan menuju angka dua puluh enam—sudah melewati seperempat abad. Menurut mamanya Aline sosok perempuan yang sukses di usianya sekarang—cantik, pintar, mandiri dan mempunyai karir yang bagus. Namun sayang, di mata orang lain tak seperti itu, arti kata sukses bagi kebanyakan orang adalah ketika status seorang perempuan berubah menjadi seorang istri alias sudah menikah.

Kecantikan, kecerdasan dan karier seakan tidak ada harganya di mata orang-orang jika belum menikah. Mereka dengan seenaknya mengatakan perawan tua, terlalu sibuk dengan pekerjaan, memiliki kriteria pria yang terlalu tinggi, pemilih dan lain sebagainya tanpa pernah tahu kalau dibalik semua itu ada perjuangan yang dilakukan seseorang tersebut untuk mencapai apa yang diinginkan—yang sayangnya belum berhasil.

Banyak teman Aline yang sudah menikah atau bahkan memiliki anak. Sementara Aline, masih tetap sama seperti sebelum-sebelumnya—sendiri, mengharapkan seseorang yang tak pasti. Menikah? Tentu saja Aline menginginkan itu, tetapi bagaimana jika Tuhan belum mempertemukannya dengan sang jodoh.

Bunyi klakson membuyarkan lamunan Aline, ia pun kembali melajukan mobil. Tak lama kemudian ia tiba di rumah orang tuanya. Sebuah rumah dua lantai bercat krem dengan dua tiang besar di teras depan, gerbang tinggi bercat hitam dan halaman yang terlihat cukup luas dengan rerumputan yang hijau. Aline keluar dari mobil dengan satu tangan memegang ponsel dan satunya lagi memegang kunci mobil. Ia menaiki beberapa undakan anak tangga di teras sebelum akhirnya melangkah menuju pintu utama.

Kakinya terus melangkah melewati ruang tamu kemudian menuju ruang tengah mencari sang mama. Begitu di ruang tengah ia menemukan mamanya sedang duduk di sofa sambil menonton tv. Senyuman terukir di wajah cantik Aline, ia mempercepat langkah lalu menghempaskan tubuh di samping Lita—mamanya. Lita yang terlalu serius menonton acara tv terkejut dengan kehadiran anak gadisnya, ia pun langsung memeluk Aline—putri satu-satunya.

Aline memang terlahir dari keluarga menengah atas. Ayahnya seorang pilot, tapi sayang sang ayah sudah tiada sejak beberapa tahun yang lalu karena sakit jantung. Aline memiliki seorang mama yang begitu ia sayangi, mamanya yang sangat jago masak dan kini memiliki usaha cathering. Bakat memasak yang dimiliki Aline memang diturunkan dari sang mama. Sementara Raga—kakak Aline meneruskan sang ayah menjadi pilot. Dan Aline pun memiliki seorang adik laki-laki—Evan yang kini sedang berkuliah di jurusan bisnis.

“Bang Raga lagi terbang?”

Lita menganggukkan kepala. “Iya, besok baru pulang.”

“Evan?”

“Tidur, daritadi mamah bangunin buat makan enggak bangun-bangun. Enggak tahu deh itu anak tidur atau pingsan.”

Aline tertawa kemudian merebahkan kepala di bahu sang mama. Tinggal seorang diri di apartemen jauh dari sang mama tentu membuatnya sering merindukan sang mama. “Mama tadi masak apa?”

“Mama tadi masak makanan kesukaan kamu.”

Walaupun Aline seorang chef mampu membuat makanan apapun, tetapi tetap saja tiap kali ia pulang Aline akan selalu merindukan masakan sang mama. Bahkan walaupun menurut orang-orang masakannya sangat lezat, tapi bagi Aline masakan sang mama lah yang lebih lezat.

Setelah menemani mamanya menonton televisi, Aline memilih menuju kamar Evan. Ia membuka pintu kamar tersebut yang langsung memperlihatkan adiknya yang sedang berbaring di ranjang sambil memainkan ponsel. Aline melangkahkan kaki masuk kemudian menutup pintu di belakangnya. Evan melirik kakaknya sekilas kemudian kembali fokus dengan ponsel.

Aline merebahkan tubuh di samping Evan. “Kata mama kamu belum makan, Dek.”

“Udahan tadi, waktu mama lagi di kamar aku keluar buat makan.”

Gadis itu ber-oh ria kemudian mengubah posisi menjadi menyamping menghadap Evan. Adiknya sudah semakin besar dan tumbuh menjadi laki-laki yang tampan. Padahal saat masih duduk di bangku sekolah dasar Evan bertubuh gendut. Namun, semakin usianya bertambah dan mulai mengerti dengan rasa ketertarikan pada lawan jenis membuatnya memilih untuk diet. Aline masih ingat betul bagaimana Evan berusaha untuk diet agar salah satu teman perempuan di sekolah menyukainya. Karena sebelumnya teman perempuannya itu pernah mengatakan tidak suka dengan Evan karena gendut. Itu sebabnya Evan berusaha untuk diet.

Dan ternyata diet Evan berhasil. Setelah diet ia tidak lagi dipanggil gendut dan wajahnya terlihat lebih tampan. Bahkan setelah itu banyak teman-teman di sekolahnya yang menyukai Evan. Hampir setiap hari ia mendapatkan surat cinta atau pun coklat dari adik kelas atau pun teman yang menyukainya. Orang yang paling rajin membacakan dan menikmati coklat tersebut pun tak lain adalah kedua kakaknya. Mereka merasa bangga karena adiknya menjadi cowok populer di sekolah.

“Kak, cewek itu maunya gimana sih?”

Dahi Aline mengernyit. “Maksudnya gimana?”

“Kayanya aku salah terus, aku bilang begini salah begitu salah terus maunya gimana.”

“Pacar kamu?”

Evan menoleh kemudian menyengir. Sontak Aline langsung mencubit lengan Evan yang membuat si empunya mengaduh kesakitan. “Kok kamu dahuluin kakak, udah punya pacar duluan.”

“Yee makanya cari pacar Kak, masa jomblo terus.”

Sekali lagi Aline mencubit lengan adiknya membuat Evan langsung berusaha menyingkirkan tangan Aline. Di saat yang bersamaan pintu kamar terbuka lebar menampilkan seorang pria berseragam pilot dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia kemudian melangkah masuk lalu naik ke atas ranjang dan mengambil posisi di tengah-tengah Aline dan Evan.

“Kok udah pulang, kata mama pulang besok,” tanya Aline sambil menggeser posisinya.

“Mama salah info, tumben banget adik-adik abang yang manis ini kumpul. Pasti karena mau nyambut abang pulang ya.” Ia tersenyum seraya menoleh ke kiri dan kanan.

Evan langsung mencibir kemudian memunggungi Raga. “Dek dosa loh munggungin abang.”

“Setahu aku yang dosa itu kalo istri tidur munggungin suaminya.”

“Oh iya ya ….” Raga tertawa begitu juga dengan Aline. “Kamu tumben pulang Dek, kangen abang?” Raga menyenggol lengan Aline.

“Mama telepon katanya kesepian.”

“Lagian kenapa juga kamu harus tinggal di apartemen, kasihan mama kalo abang lagi terbang.”

Aline sedikit mendorong kepala Raga karena rambutnya yang tertindih. “Kan jaraknya jauh.”

Raga kemudian menyenggol punggung Evan. “Kamu juga harusnya kalo mama lagi kesepian, temenin nonton tv, ajak ngobrol atau apa.”

Evan yang sedang sibuk dengan ponsel tetap menjawab. “Mama nontonnya sinetron terus Bang, aku enggak ngerti.”

Terdengar helaan nafas Raga. “Nanti kita pikirin deh gimana caranya supaya mama enggak merasa kesepian …,” Ia menoleh ke kanan dan kiri menatap adiknya, “malam ini kita tidur kayak gini ya. Udah lama loh kita enggak kumpul kayak gini,” lanjutnya lagi.

“Enggak! Sempit,” protes Evan.

“Oke!” seru Aline.

Evan langsung membalikkan badan. “Ih apasih kalian, keluar sana.”

Dan gelak tawa Aline dan Raga pun terdengar memenuhi kamar di saat waktu menunjukkan pukul tengah malam. Menggoda Evan memang menjadi hobi mereka sejak dulu, rasanya sangat menyenangkan bisa menggoda adik bungsunya itu.





<