cover landing

Titi Kalong

By Ulfa Khairina

Juli 2020

Rintik hujan mulai jatuh, menciptakan butir-butir yang menempel di kaca jendela mobil yang melaju membelah hutan Seulawah. Sesekali kendaraan angkut berat dan mobil pribadi melintas menyalip Kijang hitam yang melaju lamban. Sesekali klakson sengaja dibunyikan untuk memberi tanda kepada pengandara di belakang agar mendahului.

Perempuan di samping pengemudi sibuk dengan ponselnya. Kamera dinyalakan dan suasana rintik menjelang senja terekam di sana. Dia juga merekam lelah dan tegangnya lelaki muda yang menyetir di jalan berkelok gunung Seulawah. Wajahnya tampak sedikit pucat. Bukan karena capek, tapi keraguan mengemudi di medan yang belum dilaluinya.

Melewati Pasar Saree yang menjajakan oleh-oleh khas, mereka kembali melanjutkan perjalanan dengan keraguan. Hati kecilnya berkata untuk tidak berlanjut. Namun, Anggita meyakinkan suami yang baru resmi sebulan ini untuk percaya diri dan terus mengemudi. Padahal dia bisa saja menggantikan, karena kemampuannya menyetir di medan pegunungan bukan hal baru.

Anggita bukan saja tidak mau membuat suaminya hilang harga diri. Dia juga ingin membuktikan pada dunia bahwa suaminya memang mampu melakukan hal-hal yang diremehkan oleh kebanyakan orang selama ini. Itu sebabnya dia lebih aktif merekam daripada menggantikan Amin mengemudi.  Tentu saja jika dia mengemudi Amin akan memilih tidur sampai di Banda Aceh.

Laju mobil melambat. Di depan mereka, puluhan mobil sedang mengantri untuk lewat. Anggita menatap ke jalanan. Dia melirik Amin, tangannya bergetar. Tanpa harus bertanya Anggita tahu suaminya sedang cemas dan takut. Dia juga tahu apa yang terjadi di depan jika kondisi jalanan begini. Kecelakaan.

“Min, mau aku gantiin saja?” tawar Anggita tanpa ragu.

Amin mengangguk, melepas safe belt dan membuka pintu. Anggita keluar dan berjalan ke sisi berseberangan. Mereka bertukar posisi. Kini Anggita di balik kemudi.

“Harusnya kamu mendengar kata nenek. Mobil baru di-peusijuk (tepung tawar) dulu, Git.” Amin teringat mobilnya belum dilakukan ritual yang amat sakral di kalangan masyarakat Aceh di perkampungan.

Anggita mendengkus, “Percaya saja begituan. Ini tahun berapa? Peusijuk ini, peusijuk itu. Nggak ada hubungan apa-apa dengan peusijuk, kok.”

“Git, kata-kata orang tua sering kali ada alasan yang kita nggak tahu, Git.”

“Aku nggak percaya segala sesuatu itu bergantung pada percikan air peusijuk, Min. Malah aku melihat peusijuk itu salah satu tindakan boros. Mubazir.”

Amin menyandarkan agar leluasa melihat ke depan. Dia memilih diam daripada berdebat dengan Anggita. Matanya lurus ke depan. Mobil bergerak perlahan. Sangat pelan, sampai dia tidak sadar jika mereka sudah berpindah tempat. Tanpa sadar, mereka sudah mendekati dua jembatan yang dianggap kembar.

“Wow, ngeri sekali kecelakaannya,” komentar Anggita seperti pada diri sendiri. Amin melirik ke kanan, tapi hanya beberapa detik. Dia memilih memejamkan mata.

Sebuah truk Fuso berwarna cokelat tersangkut di tepi jurang. Bagian depan nyaris hancur. Barang-barang muatan sebagian berhamburan di sisi jurang. Tidak jauh dari sana, sebuah mobil pribadi keluaran Suzuki terbalik dengan kondisi hancur. Siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri.

Kaki Amin terasa ngilu. Untung Anggita meminta bertukar posisi. Kalau dia masih menyetir, mungkin dia juga akan terbang melayang ke dalam jurang. Takut dan gugup.

Perlahan Anggita menyetir di medan yang menurun. Melintasi jembatan kembar yang masih padat. Perlahan, tidak goyang, dan mulus. Amin memandang sekeliling. Dia melihat korban yang sedang dievakuasi. Darah berceceran di jalan. Amin terasa pusing, dia hampir muntah. Namun, matanya dipaksa membuka karena melihat seseorang yang sangat berani di dekat darah yang menggenang.

Ada seorang perempuan berpakaian putih berjongkok di dekat darah. Matanya liar dan gelap. Kedua tangannya meraup darah, meminumnya. Jantung Amin rasanya hampir copot menyadari keisengan perempuan muda di dekat darah itu. Belum sempat dia berkata apa-apa pada Anggita, matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Perempuan itu berjongkok dengan kaki yang tak terlihat. Semakin fokus Amin memperhatikan, semakin jelas terlihat perempuan itu tidak menjejak tanah.

Mobil terus melaju. Amin tahu Anggita tidak menyadari keanehan di lokasi kecelakaan. Amin memilih diam. Katanya pantang sekali menceritakan hal-hal aneh di perjalanan. Apalagi berkaitan dengan makhluk tak kasat mata. Akan tetapi Amin tahu, apa yang dia lihat itu nyata.

“Aneh banget nggak, sih? Truknya seperti terbang,” Anggita terkekeh membayangkan posisi truk yang dilihatnya.

“Hmm,” respons Amin.

“Kamu kenapa? Masih memikirkan peusijuk?”

“Kamu kan tahu aku takut darah.”

Anggita mengangkat bahu. Dia lupa. Harusnya dia mengatakan sesuatu tadi agar Amin tidak memperhatikan suasana di lokasi kecelakaan. Meskipun mereka hanya menumpang lewat, tapi akan membuat Amin trauma. Bisa-bisa dia tidak mau menyetir lagi dengan berbagai alasan. Keduanya diam sampai dua kilometer dari jembatan kembar. Rintik hujan mulai mengubah warna aspal.

Beberapa meter di depan mereka, seorang perempuan muda dengan payung warna merah jambu menyetop mereka. Anggita memperlamban laju mobil. Sepertinya memang anak gadis yang butuh tumpangan.

“Gimana, Min?” tanya Anggita meminta pendapat Amin.

“Berhenti saja. Kasihan. Nggak mungkin anak-anak jadi orang jahat.”

“Oke.” Anggita berhenti tepat di dekat anak itu.

Gadis itu berkulit putih, garis wajahnya khas seperti perempuan Aceh asli. Perpaduan India, Arab, dan sedikit Eropa. Amin menurunkan kaca mobil, menyuruhnya naik. Tanpa ragu dia langsung naik di jok belakang. Amin merasa heran dengan sikap gadis itu. Sisi hatinya yang lain mengingatkan, gadis itu memiliki keberanian menumpang karena melihat Anggita yang menyetir. Perempuan.

“Pulang kemana, Dik?” tanya Anggita basa-basi. “Kok sendirian?”

“Pulang ke Gampong Kalong,” jawabnya.

“Dimana itu? Kamu tahu?” tanya Amin pada Anggita. Anggita menggeleng.

Beberapa saat mereka saling diam. Hawa sejuk yang sulit diprediksikan menguar. Tengkuk Amin meremang. Mendadak saja dia ingin ke kamar kecil. Ketakutannya hanya disimpan dalam hati. Anggita menyalakan musik, playlist lagu barat dari Joox di ponselnya. Amin menangkap sikap Anggita sebagai keanehan. Selama perjalanan dia tidak terpikir menyalakan musik, sekarang dia malah menyalakan musik.

“Saya tidak suka musik,” kata suara di belakang. “Kecilkan musiknya.”

Meskipun suara penumpang mereka cukup lembut, Amin dan Anggita bisa mendengarkan suaranya dengan jelas. Anggita mengecilkan volume lagu Shasha Loan yang mendendangkan Dancing with Your Ghost.

“Di depan ada jembatan, setelah jembatan belok kiri,” kata penumpang mobil mereka seolah Anggita sopir angkutan umum. Anggita menurut membuat Amin merinding. Selama mengenal Anggita, dia belum pernah melihat istrinya sepenurut ini.

Amin hampir berteriak saat matanya menangkap hamparan kuburan di sisi kiri dan kanan begitu memasuki jalan yang ditunjuk. Perasaannya mulai tidak enak. Pikirannya berputar-putar antara sesuatu yang normal dan tidak normal.

“Satu kilometer dari gerbang kuburan ini,” kata penumpang itu dengan suara pelan. Anggita terus menyetir seperti dihipnotis. Dia melihat beberapa rumah dari kejauhan. “Di sini. Saya sampai.”

Anggita menginjak rem mendadak. Amin hampir terpental mencium dashboard. Anggita melihat ke kiri dan ke kanan. Memastikan di sekitar ini memang ada rumah. di sebelah kiri jalan, Amin dan Anggita melihat sebuah rumah setengah permanen di bangun di tanah yang agak tinggi. Rumah mungil dengan cat yang mulai terkelupas. Kalau tidak melihat nyala lampu di teras, keduanya tentu berpikir itu rumah hantu seperti di film-film.

“Itu rumah saya,” si penumpang menunjuk rumah di sebelah kiri. Sebelum turun dia mengucapkan terima kasih.

Anggita tidak menunggu lama-lama, dia langsung membelokkan mobil di halaman rumah si gadis yang agak luas dan menginjak gas dengan cepat meninggalkan rumah gadis itu. Perasaannya tidak enak. Amin tidak berkata-kata.

“Sialan!” maki Anggita begitu mobil hampir keluar ke jalan raya.

“Kenapa?”

“Payung anak itu ketinggalan.”

“Ya sudah, mumpung belum jauh. Kita balik saja lagi.” Amin menyarankan tanpa dia tahu kenapa dia harus menyarankan untuk kembali. Anggita juga tidak menolak.

Mereka berputar di dekat kuburan dan keduanya sempat melihat ada gundukan tanah basah tepat di depan mereka. Sisa-sisa jejak sandal para pelayat masih jelas. Sepertinya ada seseorang yang baru dikubur tadi sore. Belum lama.

Jantung keduanya berdegup kencang. Anggita tidak berkata-kata dan langsung menuju ke rumah si gadis. Dia memaksa Amin turun untuk menemani. Anggita mengetuk pintu. Amin bahkan sudah tidak bisa menahan hasrat ingin pipis. Dia bersembunyi di balik punggung Anggita.

Seorang perempuan tua keluar dari rumah dengan tatapan dingin.

“Bu, tadi anak ibu menumpang mobil saya. Payungnya ketinggalan,” kata Anggita sambil mengulurkan tangan.

“Bu, boleh saya menumpang kamar mandi?” Amin memohon dengan memelas.

Perempuan tua itu mengangguk, “Lurus dan belok ke kiri.”

Amin langsung ngacir ke kamar mandi sementara Anggita berhadapan dengan perempuan yang menatapnya dingin. Senyumnya tersungging. Ada sakit yang tersimpan dalam hati dan terpancar di tatapannya.

“Betul, ini payung anak saya. Dia sudah lama meninggal.” Senyum tersungging di bibir keriput milik perempuan yang mengaku ibu penumpang mobil Anggita dan Amin.

Anggita terpaku di tempatnya. Rasanya tubuhnya sudah tenggelam ke dalam tanah. Sementara di dalam sana, Amin baru menyelesaikan hajatnya. Tak sengaja dia melihat foto hitam putih yang tertempel di dinding. Dia merasa familiar dengan foto tersebut. Amin mendekat, semakin lama dia mendekat semakin jelas ingatannya.

Di bawah foto tertulis, ‘Innalillahi wa inna ilaihi raji’un dan namanya pemilik wajah di foto tertulis di sana. H A L I M A H.

Amin tergopoh keluar dan menarik Anggita  ke mobil. Anggita pamit dengan tergesa. Tangannya gemetar membuka pintu mobil. Dia menyetir seperti orang kesurupan. Seluruh tubuhnya rasanya bergetar hebat.

“Kita kasih tumpangan untuk han … aaaa!!!” Anggita tidak sempat menginjak rem. Dia berbelok ke arah kanan kuburan dan menginjak gas hingga menabrak beringin tua. Keduanya terbanting seiring suara keras yang membuat para warga berlarian ke arah kuburan.

Sebelum matanya menutup, Amin melihat perempuan dingin berpakaian putih sedang berjongkok di dekatnya. Tersenyum sinis dengan tawa mengikik menusuk telinga.





<