cover landing

Two Realms

By Lenita Cahya

Siska menatap polisi bertubuh tinggi dan tegap di hadapannya tanpa gentar. Dia tahu apa yang akan dikatakannya. Dia tidak ragu sama sekali.

“Nama saya Jim, Nona,” kata polisi itu hati-hati. “Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan dan saya harap Anda menjawabnya dengan jujur.”

“Baik,” sahut Siska mantap.

Jim sedikit goyah saat melihat kemantapan gadis tersebut. Tetapi dia segera menguasai diri dan mengajukan pertanyaan pertama.

“Apa Anda koma seminggu yang lalu?”

“Ya.”

“Bagaimana Anda bisa koma? Apa penyebabnya?”

“Jiwa saya tertarik keluar dari raga oleh suatu kekuatan gaib dan tidak bisa kembali.”

Jim memejamkan matanya sejenak. Kepalanya seketika terasa pening. Rasanya dia ingin menceburkan diri ke dalam bak berisi air dingin dan tidak keluar dari sana selama berjam-jam. Tidak pernah sekali pun dalam karier kepolisiannya dia menemukan kasus seperti ini.

“Nona, Anda tahu saya tidak percaya hal-hal seperti itu,” kata Jim setelah membuka matanya dan menatap tajam Siska. “Saya terlahir dan dididik untuk memercayai fakta dan hal-hal yang logis. Bukan sesuatu yang semu dan tidak logis.”

“Baiklah.” Siska tampak tenang sekali. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya sedikit kepada Jim. Sorot matanya tajam dan ekspresinya serius. “Anda mau sesuatu yang logis? Biar saya tanya… Apakah saya terluka?”

“Yah… Menurut dokter Anda tidak terluka sedikit pun saat itu…”

“Apakah Anda menemukan senjata dengan sidik jari Samuel?”

“Yah… Tidak… Tapi saya–”

“Apakah Anda menemukan bukti visual bahwa Samuel berusaha membunuh saya dengan cara apa pun?”

“Saya–”

“Setahu saya, suatu kasus dinyatakan percobaan pembunuhan jika ditemukan senjata atau alat-alat lain yang sekiranya bisa digunakan untuk membunuh seseorang, bukti visual, atau kesaksian dari saksi mata.” Siska mengetuk meja pelan. “Sementara Anda tidak punya bukti apa pun.”

Jim memberengut. Dia ingin sekali menyangkal pernyataan gadis muda di hadapannya, namun dia tahu bahwa semua itu benar adanya. Sejujurnya, wawancara secara privat ini pun merupakan desakannya. Semua hanya karena dia masih tidak mau memercayai kenyataan bahwa penyebab segala kerusuhan di rumah sakit tempo hari merupakan perbuatan makhluk gaib.

“Anda mengatakan bahwa Anda ditarik oleh suatu kekuatan jahat.” Jim akhirnya membuka mulut. “Anda tahu bahwa saya tidak akan pernah memercayai hal itu.”

“Pak,” desah Siska. “Saya tidak berniat untuk membuat Anda percaya. Anda bilang bahwa Anda hanya percaya fakta. Faktanya adalah tidak ada barang bukti yang bisa menyudutkan Samuel. Jadi, Anda tidak bisa menahan Samuel lebih lama.” Siska mendesah sekali lagi sebelum bangkit berdiri. “Saya kira cukup untuk hari ini,” katanya kaku, lalu berjalan keluar ruangan.

 

***

 

“Tolong katakan yang sejujurnya, Sam! Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Jim dengan nada putus asa.

“Sudah saya katakan, Pak! Itu terjadi karena kekuatan gaib!” Sam mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lingkaran-lingkaran hitam menghiasi bagian bawah matanya.

Jim mengerutkan kening. Diperhatikannya wajah dokter muda di hadapannya lekat-lekat. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui bahwa Sam berkata jujur. Pemuda itu tidak tampak gelisah atau ketakutan, maupun sengaja melawan demi menyembunyikan kebenaran. Ia hanya tampak lelah. Dan kurus.

Jim menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Ini sudah kesekian kalinya dia menanyai Sam perihal kejadian hampir lebih dari seminggu yang lalu. Hasilnya sama saja.

Perlahan, ia membuka file video di laptopnya. Segera saja matanya disuguhi pemandangan ruang rawat inap sebuah rumah sakit.

Di dalam ruangan tersebut tampak sang pasien – Siska Selesstika – bersama dengan Sam. Tidak ada sesuatu yang ganjil. Jim sebenarnya sudah hafal kejadian-kejadian di dalam video tersebut.

Sam tampak menggenggam tangan Siska sambil komat-kamit mengatakan sesuatu. Tubuh Siska lalu tampak menggeliat. Sam berdiri sambil memerhatikan gadis tersebut. Setelah itu, layar berubah menjadi hitam sebelum kemudian menampilkan kembali keadaan kamar yang sekarang hancur lebur berantakan. Tampak Sam terkapar di sebelah Siska.

Video selesai dan Jim masih tidak bisa menemukan jawaban dari teka-teki ini.

“Saya mengatakan yang sejujurnya, Pak,” kata Sam, memecah keheningan. Kepalanya tertunduk dalam, menahan lelah. “Saya hanya ingin tahu apakah Siska baik-baik saja.”

Sebelum Jim bisa menjawab, pintu terbuka dan seorang wanita berjalan masuk. Jim tampak sangat terkejut, namun ia segera berdiri menyambut wanita tersebut.

“Ibu Ulfa,” sapanya dengan sikap sedikit segan.

Bibir ber-lipstick merah gelap sang wanita mengembang, membentuk senyum menawan. Namun, matanya yang indah – yang menatap Jim lekat-lekat – sama sekali tidak mencerminkan kehangatan senyum tersebut.

“Selamat pagi, Pak Jim,” balas Ulfa menyapa. “Saya hendak menjemput Sam.”

Jim mengerling Sam. Pemuda itu tampak tidak peduli dengan kehadiran Ulfa. Ia memalingkan muka, bersikap seakan tertarik dengan dinding kelabu ruang interogasi tersebut.

Jim menghela napas. Matanya bergeser, kembali menatap wajah cantik Ulfa.

“Silakan, Bu. Saya sudah selesai berbicara dengan Sam,” katanya sambil mematikan laptopnya.

Ulfa mengangguk sekali. Ditepuknya bahu Sam dan seperti sudah diatur, seketika itu juga Sam bangkit berdiri dengan gerakan kaku bagai robot. Pemuda itu berjalan keluar ruangan, mendahului Ulfa.

“Anda seharusnya tidak perlu menginterogasinya lagi, Pak Jim,” kata Ulfa setelah merasa yakin Sam tidak dapat mendengar. Matanya mengerling tajam kepada Pak Jim.

“Saya hanya berbicara dengannya, Bu Ulfa.” sanggah Jim, membela diri.

“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Pak Jim.” Suara Ulfa terdengar sangat dingin sehingga tanpa sadar Jim menggigil.

“Saya hanya masih tidak bisa mengerti–“

“Bukankah tempo hari Siska sudah mengatakan bahwa kami tidak memaksa Anda untuk mengerti? Kami hanya ingin Anda percaya bahwa Samuel tidak berniat melakukan niat jahat kepada Siska. Lagipula, Anda tidak punya bukti yang kuat untuk menuduh Samuel!”

“Saya tahu, Bu,” desah Jim dengan nada lelah. “Saya pun ingin percaya. Hanya saja semua ini terlalu… tidak masuk di akal bagi saya.”

“Kau hanya menyiksa pemuda itu dengan terus-menerus mempertanyakan hal yang bahkan dia sendiri masih sulit untuk percaya, Pak Jim.”

Jim mengusap wajahnya. Rasa penasaran yang begitu besar menggerogoti sebagian besar dirinya. Akan tetapi, dia juga tidak bisa menyangkal bahwa perbuatannya memang menekan Sam.

Pemuda malang itu tampak sangat kelelahan. Dia ditahan selama hampir dua minggu di kantor polisi hanya untuk melegakan rasa penasaran Jim (yang sampai sekarang masih belum terpenuhi).

Untuk beberapa saat Jim terdiam, berusaha mencerna semua perkataan Ulfa. Belum sempat ia memperpanjang pembicaraan, Ulfa sudah mengangguk kecil sambil mengucapkan salam perpisahan.

Pintu besi yang sedikit berkarat tertutup di hadapan Jim.

 

***

 

Siska berjalan memasuki area pemakaman sambil menggenggam seikat bunga lily. Matahari sudah berada di ujung barat – sebentar lagi keadaan akan menjadi gelap. Batu-batu nisan berjejer rapi membentuk barisan. Namun, pandangan Siska hanya tertuju pada sebuah batu nisan hitam. Gadis itu bergegas menghampiri batu nisan tersebut dan berlutut di depannya. Rumput hijau terasa lembap, membasahi celana jeans-nya – akan tetapi ia tidak peduli.

Dielusnya tulisan yang terukir di batu nisan tersebut,

Tidak akan pernah dilupakan

Selamanya di hati

DANIEL ADRIANO NARDO

(1995 – 2014)

Bunga lily yang sedari tadi ia genggam, diletakkan di bawah batu nisan sebegitu rupa agar tidak diterbangkan oleh angin.

“Apa kabar, Nak?” sebuah suara serak menyapa Siska.

Gadis itu tersenyum dan menoleh kepada Pak Ali. Pria tua itu membalas senyuman Siska, melepas topinya dan duduk bersandar di batu nisan Daniel.

“Baik, Pak. Bagaimana denganmu?”

“Yah, semakin tua, seperti yang kau lihat,” kekeh Pak Ali.

Siska tertawa pelan. Sesaat keadaan menjadi hening – mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya Pak Ali berdiri dan memakai kembali topinya.

“Aku akan mengecek bagian barat makam. Kau bacalah doa untuk kekasihmu itu, Siska. Sudah dua minggu kau tidak mengunjunginya,” kata beliau.

“Ya. Aku sangat merindukannya,” bisik Siska.

Pak Ali tersenyum. Beliau berbalik dan berjalan pelan, meninggalkan Siska sambil berseru, “Dia juga merindukanmu, Nak!”

Setelah Pak Ali menjauh, barulah Siska menangkupkan kedua tangannya dan memanjatkan doa dalam hati.

“Tuhan, kuharap Engkau memberikan tempat tinggal yang indah untuk Daniel,” batin Siska. “Sedikit saran, tolong buatkan lapangan basket ya? Daniel suka sekali main basket,” Siska menutup kedua matanya agar lebih khusyuk. “Tuhan, tolong katakan pada Daniel bahwa Samuel sudah keluar dari kantor polisi. Dia terbebas dari tuduhan pembunuhan…” Siska terdiam sejenak. “…tapi aku belum bertemu dengannya lagi…”

Angin sore berembus menggoyangkan dahan-dahan pohon rindang yang tersebar di sekitar area pemakaman. Langit semakin teduh dan keadaan semakin tenang. Siska merasa seperti ada seorang malaikat utusan Tuhan telah turun ke bumi untuk menerima doanya dan kemudian membawanya kepada Daniel.

“Tuhan, tolong sampaikan pada Daniel,” Siska membuka matanya dan menatap batu nisan di hadapannya. Ia membayangkan sedang menatap wajah Daniel –  dengan senyum jahil dan kedua mata cokelat yang menenangkan. Gadis itu tersenyum saat setitik air mata menetes dari sudut matanya. “aku rindu.”

 

***

 

 





<