cover landing

Tyet of Georgia

By Belladonna Tossici

PROLOG

 

KEMATIAN OSIRIS

 

Debu tertiup angin padang gurun gersang, menyisakan panas yang melipat gandakan kedukaan. Percuma para dewa menciptakan Sungai Nil memanjang memberi kehidupan pada segala makhluk. Mereka tak berdaya menghidupkan tubuh dingin pria dalam dekapan Isis. Bibir yang setiap malam memberi kecupan selamat tidur dan membisikkan kata-kata lembut itu kini berubah ungu dan pucat.

Saudara atau sahabat hanyalah pengkhianat seiring berlarinya sang waktu. Keserakahan berselubung hawa nafsu mengubah kebaikan hati manusia menjadi sekelam lumpur jahanam. Tanpa memandang ikatan darah tega mengubah saudaranya menjadi mayat kaku.

Jemari Isis mengembara di sekujur wajah yang dia cintai, membelai kelopak mata yang menutupi iris hijaunya,  berharap mata terpejam itu membuka. Suami Isis, kekasihnya, pria yang mengisi hatinya tetap bergeming dalam tidur abadi.

"Osiris, bangunlah," isak tertahan Isis akhirnya keluar seiring bulir air mata berjatuhan di pipinya.

Sunyi. Tak akan ada lagi suara sabar yang menenangkan segala keresahan atau nada memuja saat mengatakan betapa cantiknya Isis. Tak akan ada lagi tangan yang membelai pipi perempuan itu dengan lembut. Tak ada lagi manik mata hijau yang menatapnya penuh cinta.

"Osiris," ulang Isis dengan hati pedih. Percuma, hanya kepak sayap dan suara burung di angkasa seolah menyanyikan kidung kematian.

Isis meraung, membiarkan langit biru menggemakan teriakannya. Segenap hatinya ingin menghidupkan Osiris. Tak peduli walau harus mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.

Perlahan, awan hitam berarak memenuhi angkasa. Warna biru cerahnya bagai tertutup tirai kelam. Tetes air semakin deras. Luapan air mata kesedihan dan kemarahan Isis bercampur air hujan membasahi tanah Mesir, mengubahnya menjadi lumpur kesedihan. Lalu, air sungai Nil naik semakin tinggi, menyapu segala yang ada di dekatnya.

 

***

 

 

BAB 1

MALAM TAHUN BARU

 

            Georgia Cox sudah dua minggu resmi menyandang status pengangguran. Tepatnya sejak muridnya menjadi mahasiswi program pasca sarjana sebuah universitas di Yogyakarta.

Bagaimana dia bisa menikmati suasana malam tahun baru bila perutnya melilit menahan lapar? Tinggal beberapa ratus dolar tersisa di rekeningnya. Mulai November, Georgia harus menekan rasa iri melihat warga New York keluar masuk toko berhiaskan krans khas Natal membeli hadiah.

Smartphone di saku mantel Georgia bergetar. Dia merogohnya untuk mengambil benda itu, lalu menggeser ikon hijau di layar.

"Hai, Georgie!" Layar smartphone Georgia menampakkan wajah manis seorang perempuan. Dia tersenyum selebar orang-orang normal. Gaun ketat keperakan tanpa lengan yang dikenakannya sangat cantik. Rambut ikal emasnya menjuntai melewati bahu. Amber, nama sang perempuan di layar smartphone, adalah adik Georgia. Kepercayaan Georgia kepada stereotype bahwa gadis pirang pasti bodoh, membuatnya mengecat rambut dengan warna brunette alih-alih membiarkan warna aslinya.

"Kau di mana, Ams?" Dalam udara sedingin ini, Amber berani mengenakan pakaian kekurangan bahan. Hanya 2 alasan; Pertama, dia berada di daerah panas seperti California, Hawaii, atau Karibia. Kedua, dia berada di... Georgia spontan menutup hidungnya dengan tangan ketika seorang pria tinggi berjalan mundur-mundur sampai menabrak mukanya. Georgia menyesali keputusannya pergi seorang diri ke tengah lautan manusia.

"Ouch." Sebagai tanda solidaritas, Amber ikut menutup hidungnya yang sama-sama mungil. Sekilas terlihat agak runcing di bagian ujung seperti hasil operasi plastik. "Hati-hati, Georgie." Mata kelabunya yang belo menyipit saat terkekeh.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," sungut Georgia. Sejak jadi pengangguran, dia jadi mudah kesal. Sempat terlintas di benaknya untuk minta uang dari orang tuanya. Namun, di usia ke-23 ditambah Amber si parasit 19 tahun yang masih menengadahkan tangan pada Mom atau Dad-nya, Georgia mengurungkan niat. Lagi pula dia anak sulung.

"Masa kau tak bisa menebak?" Amber mengangkat ponsel, membawanya beredar ke sekeliling ruangan tempatnya berada. Suasana remang-remang, lampu laser menyorotkan sinar ungu-hijau-biru secara bergantian, musik hip-hop super kencang mengiringi tarian liar, dan oh, sepasang perempuan lesbian berciuman di belakang Amber sambil disoraki puluhan penonton.

"Hei, keluar dari situ, bodoh!" teriak Georgia berusaha mengalahkan suara berisik di tempatnya berada, dan keriuhan di neraka mana pun Amber bersenang-senang.

"Kau payah, Georgie. Lebih kuno daripada Granny. Kau melepas keperawanan di usia 21 tahun, sedangkan Granny saja melakukannya di usia 18!" Amber terbahak sangat kencang, sepertinya mabuk.

"Hei..." Georgia melotot marah. Baiklah, mungkin dia kuno, puritan konservatif, atau kaku. Terserahlah. Yang jelas dia lebih waras. Zaman sekarang, berada di tempat penuh orang mabuk lepas kendali sangat berbahaya. Bisa-bisa besok pagi namamu ada di berita, sudah terpotong jadi dua belas bagian.

"Sssttt..." Amber mendekatkan telunjuknya ke bibir. "Selamat bersenang-senang, Sister. Dan selamat menyambut tahun baru." Lalu wajahnya hilang dari layar smartphone Georgia.

Empat hari yang lalu, hujan salju akhirnya berhenti setelah puas mengubah wajah kota menjadi putih. Jalanan bagai tertutup lapisan kapas dingin sementara kristal es berdiam di ranting-ranting pohon yang meranggas. Syukurlah kerja keras mobil pembersih tak sia-sia. Tumpukan salju telah bersih seluruhnya.

Malam ini, semesta ingin membalas budi pada para petugas pembersih dan personel NYPD yang sudah berlatih untuk pengamanan. Langit hitam cerah bertabur bintang menudungi kepala satu juta manusia yang berjejalan di lapangan One Times Square.

Kemeriahan itu bertambah semarak dengan ratusan layar LED raksasa di gedung-gedung. Iklan ditayangkan silih berganti. Model produk kosmetik Maybelline New York yang berlenggak-lenggok digantikan video iklan Coca Cola dingin dalam gelas berembun. Di sebelahnya, LED menampilkan anjing yang mendengking sambil mengibaskan ekor lalu berlari-lari menghampiri semangkuk Pedigree.

Tatapan berpasang-pasang mata menjamah panggung di bawah gedung. Penggebuk drum memutar-mutar stiknya, lalu melempar ke udara. Ketika dia berhasil menangkapnya, sontak tepuk tangan menggelegar. Musisi bas tak mau kalah. Dia membetot senar sambil berdiri agak mengangkang. Kepalanya mengangguk-angguk seiring melodi rock super keren ciptaan sendiri.  Seharusnya mereka rehat setelah mengiringi salah satu penyanyi, bukannya pamer atraksi.

"Selamat malam, Amerika!" teriak host acara di atas panggung. Biasanya dia memandu talk show sebuah televisi. Tangan kiri pria itu memegang microphone, sementara tangan kanannya berada di dalam saku mantel. Senyumnya ceria menghangatkan.

"Sambil menunggu tamu spesial, kita saksikan kebolehan Josh yang mulai panas." Sang host mengerling ke arah drummer. "Dan Sheeran tentunya yang tak mau kalah." Ucapannya jelas menyindir bas. Tawa geli penonton pecah menanggapinya.

Bukan hanya orang Amerika saja yang berada di sini. Pemegang paspor Meksiko, Cina, Inggris, atau dari negara yang lebih hangat seperti India dan Thailand pun ada.

Seorang pria berkulit cokelat eksotis berusaha merekam acara penting ini. Dia bersusah payah membeli tiket jauh-jauh hari demi berbaur dengan manusia dari seluruh dunia. Jadi, alangkah bodoh jika tak mengabadikannya.

"Hello, India." Kepalanya mengangguk-angguk lucu ketika berbicara di smartphone yang sudah dalam mode video. Panggung tampak kecil mengingat dia berdiri cukup jauh. "Aku di Times Square, menjadi bagian sejarah." Logat Indianya kental sekali.

Georgia mual mencium bau mulutnya. Gabungan antara acar bawang dan aroma toilet. Mungkin karena suasana hatinya sedang jelek, dia menganggap bau susu seperti bau ayam mati, dan bau keju pizza seperti bau kotoran anjing. Sekarang dia menyesal tak memakai masker.

Georgia kesal. Enak sekali Amber menggila bersama miliaran manusia lain, sementara dia berendam dalam lumpur kepahitan di kolam bernama “pengangguran”. Tahun baru hanya mengulur waktu sampai tiba saat dia menjadi gelandangan. Jangankan liburan, sepanjang bulan Desember entah sudah berapa ribu kali Georgia mencari kerja agar Miss Samantha tidak mengusirnya dari kamar sewaan. Tapi, perkantoran sedang banyak pengeluaran untuk holiday season seperti sekarang.

Teriakan manusia semakin riuh ketika Mariah Carey menggenggam microphone, dengan gaya berkelas sekaligus menggoda naik ke atas panggung. Angin berembus menggoyangkan jaket bulu-bulu putihnya. Ms. Carey melemparkan ciuman jarak jauh.

"Aku mencintai kalian," serunya. Tak lama kemudian suara merdunya membahana.

Treated me kind

Sweet destiny

Carried me through desperation

To the one that was waiting for me

Nyanyian Ms. Carey seolah menyindir Georgia. Bagaimana wanita tua tapi seksi itu tahu bahwa Georgia butuh takdir bersikap baik, membawanya pergi dari keputusasaan?

Mungkin Amber benar, dia harus sedikit bersenang-senang. Tak mau membiarkan depresi terus menggerogoti syaraf, akhirnya Georgia ikut bersenandung pelan. Ms. Carey mengajak penonton menggoyang-goyangkan tangan mereka ke udara. Beberapa pasangan berciuman terbawa suasana romantis.

Di tengah lagu, smartphone Georgia kembali bergetar. Nama dan wajah Zachary Meyer menggoda. Jangan salah, laki-laki itu tak bersaudara dengan penulis cerita vampir terkenal. Zach hanya laki-laki biasa menurut teman-teman Georgia. Saat masih berkencan, teman-teman sekampusnya sering bertanya, apakah dia masih cukup waras atau persediaan laki-laki di dunia demikian tipisnya sampai-sampai mau pacaran dengan cowok sekikir Mr. Krab.

Zach tidak jelek. Matanya bersinar seterang berlian kualitas terbaik dan senyumnya lebih manis daripada es krim Baskin Robbins. Dia tipe kutu buku yang lebih rela menghabiskan uangnya untuk membeli seri Divergent daripada mentraktir makan pacarnya di kantin kampus.

Georgia menggeser tanda merah di layar, menolak panggilan. Dia malas berurusan dengan Zach sejak pertengkaran penuh drama yang berujung kata putus. Daripada mendengar suara mantan pacarnya, lebih baik mendengarkan Ms. Carey.

Sepuluh detik kemudian, sebuah pesan mendarat. Bunyinya: Jika hatimu dingin, aku bersedia menghangatkannya. Jelas-jelas bukan perhatian, tetapi sindiran. Nyaris saja ibu jari Georgia menekan tanda blokir, tapi urung. Siapa tahu suatu saat dia terpaksa mengemis pekerjaan pada ayah Zach, pemilik tempat penitipan anjing.

Pesan selanjutnya dari Mom di Westbury. Dia bertanya kenapa Georgia tak mengunjunginya tahun baru ini? Georgia menarik napas dan mengembuskannya bersama uap dingin. Ingin rasanya menjawab, Maaf, Mom. Aku tak mau merepotkanmu. Aku tak mau mengiba-iba seperti anjing kurus yang minta makan dan mengeluh lagi. Sejak dulu aku selalu tidak berguna. Dan kini aku tak mau menambah ketidak bergunaanku.

Alih-alih menjawab begitu, Georgia hanya membalas, Aku merindukanmu, lalu mengirimnya.

Ms. Carey turun dari panggung setelah menyanyikan tiga buah lagu. Penonton protes minta tambah. Tetapi dengan gaya seksi, Ms. Carey melemparkan ciuman jarak jauh lagi.

"Kita sambut walikota New York, Mr. Egidio James," ajak host. Tepuk tangan meriah segera membahana ketika seorang pria bermantel hitam dan berambut kelabu naik ke atas panggung. Sang walikota bersama Ms. Carey berdiri di depan sebuah tuas besar berpendar-pendar bagai berlian. Setelah memberikan pidato singkat, pria itu menekan tuas lalu menginstruksikan warga yang menyemut untuk mendongak ke layar LED raksasa. Satu menit menjelang tahun baru.

Lima detik terakhir terasa mendebarkan. Semua mulut menghitung mundur.

Lima! 
Empat! 
Tiga! 
Dua! 
Satu!

Bola indah di atas layar LED terjun bebas ke bawah. Inilah saat yang ditunggu-tunggu dalam ball drop setiap tahun. Lampu yang menunjukkan tahun berubah. Lembaran confetti berjatuhan dari langit diiringi lagu Auld Lang Syne. Dan ternyata, bagian ini yang paling tak disukai Georgia. Dia benci ketika ciuman penuh cinta dan pelukan asmara bergelombang di bawah hujan kertas warna-warni. Dia tak suka ucapan selamat tahun baru memenuhi udara.

Georgia pura-pura ikut bahagia. Dia mengetikkan ucapan selamat tahun baru pada Mom, Dad, dan beberapa teman dekatnya seperti Claire dan Adams, teman-teman yang selalu bisa diandalkan saat tugas kelompok, Jessica yang berlibur bersama pacarnya ke Hawaii, dan grup obrolan di WhatsApp.

Pembawa acara dan para artis di panggung mengucapkan harapan-harapan baik untuk tahun yang akan datang. Kembang api berbunga-bunga menghiasi angkasa. Langit hitam pekat mendadak penuh warna.

Lagi, rasa sepi yang kosong mengikis kehangatan hati Georgia setelah dia memasukkan smartphone ke saku.  Seperti sel kanker, kesedihan merampas seluruh emosi baik yang tersisa. Di tengah kegembiraan manusia lain, dia merasa menjadi manusia paling malang di dunia. Tanpa kekasih, tak punya pekerjaan, dan sebentar lagi akan diusir. Irama ceria lagu Auld Lang Syne rasanya tak cocok dengan liriknya yang berisi perpisahan.

Georgia membalik badan sambil membendung air mata yang pasti akan mengucur deras. Dia mengerahkan tenaga menembus orang-orang yang bersuka cita. Membelok ketika melewati personel polisi dari NYPD berjaga di setiap jengkal lokasi. Georgia Cox berlari menjauhi semuanya.

***

Tak tahu berapa lama berlari, sampailah perempuan itu di stasiun subway, dekat 52 West Street. Dia menyandarkan punggung ke tembok salah satu toko yang tutup. Di sini manusia tak sepadat di One Times Square. Melodi jantung yang menabuh dada membuatnya memejamkan mata. Kesendirian selalu menjadi obat patah hati mujarab. Ketika menikmati kemalangan, sayup-sayup terdengar teriakan seorang pria, "Hei, Berhenti!"

Ujung mantel abu-abu tuanya seolah terbang seiring larinya mengejar seseorang yang melesat cepat di depan.

"Miss, hentikan dia!" perintah pria itu dari jauh ketika melihat Georgia. "Dia mencuri dompetku!" serunya dengan napas terengah-engah.

Meski awalnya tak ingin ikut campur dengan masalah orang lain karena dia sangat lapar dan letih, Georgia mengejarnya juga. Menyadari dikejar dua orang, si target mempercepat larinya.

"Hei!" Pria di belakang Georgia sangat cerewet, berteriak terus dari tadi. Kondisi kejiwaan gadis itu sedang buruk. Dia setengah mati menahan keingininan membentak. Semakin banyak teriakannya, objek tangkapan mereka semakin panik.

"Dasar idiot!" gumam Georgia.

Untungnya, kecepatan lari Georgia bisa diadu dengan atlet amatir. Dia berhasil menyusul sang buruan. Mom yang berdarah Indonesia memasukannya ke kursus pencak silat saat berusia sepuluh tahun. Tanpa kesulitan, dia berhasil mencekal kerah jaket si pencuri.

Si target tak melawan sedikit pun ketika kakinya dijegal hingga terjatuh. Georgia terkejut ketika melihat wajah seorang remaja kulit hitam berusia lima belas atau paling tua tujuh belas tahun.

"Pergilah!" perintah Georgia setelah merampas dompet hitam berlogo Calvin Klein dari tangannya. Bocah laki-laki itu langsung mengambil langkah seribu.

"Whoa, thanks," ujar si korban pencurian tulus. Laki-laki yang menarik. Rambutnya cokelat gelap, sementara iris matanya berwarna hijau. Bibirnya sedikit tebal di bagian bawah, mengingatkan Georgia pada Brad Pitt yang terkenal seksi. Tentu saja dia tak setua mantan suami Angelina Jolie itu. Usianya belum tiga puluh. Aura kekayaan semakin memancar dari syal motif kotak-kotak abu-abu cokelat dan mantel keluaran butik ternama yang dikenakannya. Jangan tanya soal merek barang terkenal pada Georgia. Dia lebih sering membeli di garage sale atau Walmart dengan harga tak sampai dua puluh dollar.

"Milikmu," kata Georgia seraya menyodorkan dompet.

Laki-laki itu membukanya langsung untuk memeriksa isinya kemudian mengeluarkan beberapa lembar pecahan seratus dollar dari sana.

"Belilah sesuatu untuk merayakan tahun baru," ucapnya dengan uang terulur. Nominalnya cukup untuk membeli Big Mac, coke, jaket, syal, boots baru, dan membayar sewa.

Georgia kontan terkejut sampai mengira jangan-jangan dia cenayang yang bisa membaca pikiran.

"Tidak perlu, SirThanks," balas Georgia lalu berbalik, bersiap pergi meninggalkannya. Bukannya sombong, Mom sering memperingatkan soal penjahat berpenampilan menarik untuk mengecoh.

"Hei, tunggu." Dia menyusul Georgia. Langkahnya lebar karena tubuhnya tinggi. Enam kaki lebih, hampir tujuh kaki. Georgia hanya di bawah kupingnya. "Kau kelihatan membutuhkan uang."

Beberapa hari terakhir Georgia memang sulit tidur karena banyak pikiran. Saat bercermin sebelum berangkat tadi, dia melihat pantulan matanya tertimbun lingkaran hitam. Sepertinya pria itu mencium tanda-tanda kelaparan karena Georgia belum makan malam dalam rangka penghematan. Padahal perempuan itu menyisir rambut, malah sempat memakai parfum murah aroma buah.

Mereka bertatapan sejenak. Mata biru Georgia Cox bertemu dengan mata hijau laki-laki asing itu. Dia kelihatan sukses. Mungkin saja kantornya butuh karyawan atau dia punya anak yang bisa diasuh. Dalam keadaan seperti ini, perempuan itu menyesal telah mengecat rambutnya. Dengar-dengar, laki-laki lebih suka gadis pirang.

"Aku lebih butuh pekerjaan daripada uang, Sir," kata Georgia.

"Pekerjaan?" tanya si laki-laki kelihatan kaya sambil memandangi Georgia tanpa mengedip.

Georgia merasa malu. Baru mengenal pria ini lima belas menit, sudah mengemis pekerjaan. Bahkan mereka belum berkenalan.

"Apa kemampuanmu?" tanyanya. Baru saja Georgia akan menjawab, si laki-laki sudah bertanya lagi, "Selain berlari dan mengejar pencuri. Karena aku tidak butuh atlet."

Selera humornya lumayan sehingga Georgia tertawa. "Yeah, aku bisa berbahasa Indonesia." Sejenak tatapan sangsinya berubah menjadi tatap penuh ketertarikan. "Bali?" tanya Georgia seraya menirukan tarian yang pernah dia saksikan.

"Indonesia?" Pria itu bertanya dengan mata membulat. Georgia mengangguk. "Bali?" Dia mendesak.

"Yeah," balas Georgia.

Dia membuka dompetnya lagi dan mengeluarkan kartu nama. "Kau bisa ke sana tanggal lima Januari?" tanyanya seraya menunjuk alamat kantor sebuah perusahaan di bidang properti bernama Millennials Land. Di sana tertulis Fabian LeRoux. Nama keluarganya seperti berasal dari Prancis. Nama Fabian juga khas negeri Menara Eiffel. Seperti nama penyanyi favorit Georgia, Lara Fabian.

"Jadi kau CEO?" respons Georgia ketika membaca namanya.

"Semacam itu," jawab Fabian entah kenapa terdengar malu.

"Tapi kau bukan sejenis Christian Grey yang punya sisi gelap itu kan?" Georgia mulai santai dengan percakapan ini.

Fabian tertawa. "Aku tidak pernah nonton atau membaca soal dia. Tapi para karyawatiku di kantor memujanya."

"Wajar." Georgia mengakui, pria mapan dan tampan selalu berhasil mencuri perhatian.

"Aku belum mendengar namamu," katanya menyelidik.

"Oh." Georgia otomatis mengulurkan tangan. "Georgia Cox. Alumnus Sastra Indonesia dari University of Washington."

"Senang berkenalan denganmu," tukas Fabian formal. "Sampai bertemu tanggal lima."

***

 

 

 





<