cover landing

Wasiat untuk Lentya

By Kak Rurs

SEBUAH AWAL

 

Di suatu sore, Winda tiba-tiba saja memanggil Lentya, guru les privat putri bungsunya, Gardenia Ranin Hardoyo.

Dari ekspresi wajah yang sedang ditunjukan oleh Winda, Lentya sangat yakin kalau hal yang akan dibicarakan oleh istri dari Gibran Hardoyo ini adalah hal yang serius dan juga penting.

“Sebelumnya Tante minta maaf jika nantinya kamu terkejut atau bahkan tidak terima dengan apa yang Tante akan bicarakan pada kamu,” ucap Winda mengawali pembicaraannya.

“Kalau boleh tahu, memangnya Tante mau membicarakan soal apa, ya?” tanya Lentya yang terlihat cukup cemas. Pikiran-pikiran buruk pun mulai bermunculan di otaknya. Mungkinkah ini perihal pemberhentianku sebagai guru lesnya Gardenia atau ada hal yang lain lagi?

Tak mau berbasa-basi lagi, Winda lantas mengeluarkan sebuah surat dari dalam map lalu memberikan padanya. “Coba kamu baca ini dulu,” ucapnya yang langsung dituruti oleh Lentya.

Tidak sampai satu menit membaca, mata Lentya sudah terlihat membulat sempurna dengan tangan yang bergetar.

Bahwa saya bermaksud untuk mewariskan harta kekayaan saya tersebut kepada Gibran Hardoyo, selaku anak kandung

dan

Pranaya Erza Hardoyo selaku cucu saya.

 

Agar melaksanakan amanah di atas, maka dengan ini saya mengangkat Gibran Hardoyo sebagai pewaris utama harta kekayaan saya dan memberikan syarat kepada Pranaya Erza Hardoyo, apabila nama tersebut ingin mendapatkan hak serupa dari saya.

 

Adapun syarat yang saya berikan kepada Pranaya Erza Hardoyo adalah nama tersebut harus menikah dan membangun rumah tangga dengan seorang gadis yang bernama Wilentya Viola Heidi selama seumur hidupnya. Apabila terjadi perselingkuhan hingga perceraian, maka status sebagai pewaris harta kekayaan saya terhadapnya akan dicabut.

 

Untuk melaksanakan amanah ini, saya menitipkan semua kuasa atas surat wasiat ini kepada notaris pribadi saya, Hariadi Kadir, S.H.

“Surat ini asli, Tante?” tanya Lentya dengan wajah yang kini sudah terlihat pucat.

Winda mengangguk mantap. “Surat itu asli dan juga sudah sah di mata hukum, Lentya," jawabnya lalu mendekat ke arah Lentya dan mencoba menenangkan gadis manis itu dengan usapan lembut di kedua bahunya.

“Tapi ini terlalu sulit untuk diterima oleh akal sehat, Tante. Pertama, saya bukan siapa-siapa untuk keluarga ini. Kedua, saya juga tidak mengenal Mas Pranaya dengan baik.” Winda lantas menjelaskan alasan mengapa Adnan Putro Hardoyo memilihnya sebagi cucu menantu di dalam surat wasiat ini.

“Jadi, hanya karena telah membantu Kakek Adnan ke rumah sakit sebelum beliau meninggal, nama saya langsung bisa tertulis di dalam surat sepenting ini?” tanya Lentya yang terus mengajukan protes kerasnya terhadap Winda.

 “Sebenarnya Tante juga kaget saat mengetahui isi dari surat yang baru dibicarakan sepekan yang lalu, tepatnya setelah kami menggelar pengajian 40 hariannya Papa. Tapi, dikarenakan semuanya sudah tertulis seperti itu, maka yang bisa Tante lakukan hanyalah menyetujuinya dan juga memberikan restu pada kalian."

"Mengapa Tante setuju dan bahkan memberi restu kepada kami?"

"Karena kamu masuk kriteria menantu idaman Tante, Lentya." Winda kemudian memeluk tubuh Lentya yang kini bergetar hebat karena sedang menangis.

Jika surat wasiat adalah sebuah surat sakti pengubah nasib, maka akan seperti apakah nasibku setelah namaku ada di sana, Tuhan?

*

 1

 

“Lentyaaaaa!” Suara teriakan perempuan yang merupakan putri pemilik panti asuhan, tempat Lentya tinggal selama ini, terdengar sangat lantang.

"Lentyaaa!” Dia kembali memanggil dan kali ini sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Lentya.

"Astaga, Mbak Varsha! Lentya kaget tahu, nggak?" ujar Lentya setelah membukakan pintu untuk perempuan bernama lengkap Varsha Rissano Trisdiantoro itu.

Alih-alih meminta maaf, Varsha justru cengengesan sambil mengutarakan maksud dari kedatangannya di siang hari ini.

"Memangnya Mbak Varsha mau ngajak Lentya jalan ke mana?" tanya Lentya dengan mata yang berbinar bahagia dan juga penuh semangat.

"Ke mana saja, yang penting tempat itu bisa membuat Mbak lupa sama kelakuan dari salah satu customer bengkel hari ini deh." Varsha kemudian bercerita bahwa pengunjung bengkelnya itu merupakan pria yang menurutnya bermulut lebih parah dari ibu-ibu yang sedang berebut mendapatkan barang berdiskon besar.

"Kalau sampai pria rempong itu datang lagi, Mbak pasti siram dia pakai oli bekas!" serunya dengan nada berapi-api yang tentunya membuat Lentya tertawa lepas.

“Jangan terlalu benci loh, Mbak. Nanti kalau tahunya berjodoh dengan dia, bagaimana?" goda Lentya pada perempuan yang telah menjadi sahabat sekaligus saudara selama 20 tahun ini.

"Mbak bisa berjodoh dengan pria bermulut kaleng begitu? Oke, berarti kamu harus berhati-hati kerena kerusuhan besar pasti akan terjadi setelahnya, Len!" Lentya kembali tertawa hingga Varsha memintanya untuk cepat berganti pakaian dan menemuinya di mobil.

"Oke, Mbak Varsha!"  tanggap Lentya uang kemudian menutup pintu, berganti pakaian lalu tak lupa memasukkan lembar salinan surat wasiat yang ada di atas meja belajarnya ke dalam laci.

"Untung saja Mbak Varsha tidak masuk ke dalam," gumamnya sebelum keluar dan menemui Varsha yang pastinya sedang menunggunya itu.

***

Setelah sekian lama berkeliling tanpa arah dan tujuan yang pasti, akhirnya perempuan yang berprofesi sebagai montir itu memutuskan untuk pergi ke sebuah kafe yang sudah menjadi favoritnya sejak masih berstatus sebagai mahasiswa baru.

Sesampainya di sana, keduanya langsung memesan minuman dan juga cemilan kesukaan mereka masing-masing.

Usai mengucapkan terima kasih pada pelayan, Varsha pun menatap Lentya dengan lekat. "Kamu tuh sedang mikirin apa sih, Len?" tanyanya to the point.

"Maksudnya, Mbak?" Sebenarnya Lentya sudah menduga jika Varsha akan bertanya hal ini padanya. Selain memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, Varsha juga sudah atau bahkan sangat mengenal siapa dan bagaimana dirinya selama ini.

“Mbak yakin kalau kamu sedang punya masalah," ucap Varsha yang tentunya tidak bisa dibantah oleh Lentya.

Setelah melihat perempuan berusia 24 tahun itu mengangguk, "Kalau begitu, ayo dong cerita sama Mbak!" Varsha meminta dengan penuh semangat.

Lentya tampak terdiam sejenak sambil menggigit pipi dalamnya. "Hmm... kalau seandainya kita dapat surat wasiat dari seseorang yang sudah meninggal, apa yang tertulis di sana itu, wajib dilaksanakan nggak sih, Mbak?" Lentya memilih untuk menanyakan pendapat Varsha terlebih dahulu 

Dengan dahi yang terlihat berkerut, "Setahu Mbak sih, wajib ya, Len," Varsha menjawab dan membuat Lentya mengembuskan napasnya dengan kasar.

"Kamu tanya begini sama Mbak karena kamu dapat surat wasiat, ya?"

"I-iya, Mbak."

"Kalau boleh tahu, memangnya siapa yang kasih surat itu? Salah satu dari anggota keluarga kamukah?"

Lentya menggeleng dengan cepat. "Tidak mungkin dari mereka. Kecelakaan itu kan sudah berhasil merenggut seluruh anggota keluarganya Lentya, Mbak."

"Maafkan Mbak ya, Len. Mbak tidak bermaksud untuk mengingatkan kamu pada kejadian itu," ucap Varsha yang kini merasa tidak enak hati pada Lentya.

"Tidak apa-apa kok, Mbak," tanggap Lentya dengan senyum tulusnya.

Usai memastikan bahwa Lentya venar-benar tidak apa-apa, Varsha pun mengembalikkan topik pembicaraan mereka.

"Jadi, siapa yang kasih surat wasiat itu ke kamu, Len?"

Baru saja Lentya akan menjawabnya, pesanan mereka berdua pun datang.

"Terima kasih, Mas Ganteng!" ucap Varsha pada salah seorang pramusaji yang memang berwajah cukup rupawan itu.

Begitu laki-laki yang bernama Akmal itu tersenyum dan berlalu, Lentya lantas menceritakan semua hal yang baru saja dia alami kemarin sore di rumah salah satu murid privatnya itu.

" ... wasiat itu mengharuskan Lentya menikah dengan anaknya Tante Winda yang namanya Pranaya Ezra Hardoyo, Mbak." Mendengar nama pria itu disebut, Varsha yang tengah menikmati minumannya pun tersedak.

"Apa, Len? Pranaya Erza Hardoyo? Mbak nggak salah dengar, kan?" Lentya pun menggeleng dengan wajah yang terlihat bingung.

"Sumpah demi apa pun, Pranaya itu penjahat kelamin, Len! Duh, pokoknya Mbak nggak akan pernah setuju kalau kamu menikah dengan dia. Jangankan menikah, kamu kenalan dengannya saja, Mbak nggak bakal kasih deh."

"Lalu, Lentya harus bagaimana dong, Mbak?" tanya Lentya yang jadi semakin bingung dan juga takut.

"Bagaimana kalau nanti kita bicarakan soal petaka ini sama papa dan mama saja?"  Lentya langsung mengiakan usulan itu dengan anggukkan. Bagaimanapun juga, dia sudah menganggap kedua orangtua Varsha sebagai orangtuanya sendiri.

Saat Varsha tengah mengulik alasan di balik tertulisnya nama sang sahabat di sana, ponsel Lentya berbunyi.

"Lentya jawab telepon ini dulu ya, Mbak," izinnya yang dipersilakan Varsha melalui satu anggukkan.

"Halo, Tante Winda," sapa Lentya terlebih dahulu.

“Halo, Lentya Sayang. Sebelumnya, telepon Tante ini tidak mengganggu  aktivitas kamu, kan?”

 “Tidak menganggu kok, Tante.”

“Alhamdulillah kalau begitu. Oh, iya, Len, nanti malam kamu bisa datang ke rumah Tante, nggak? Bukan untuk mengajar, tapi Tante mau mangajak kamu makan malam bersama di rumah Tante. Sekalian mengenalkan kamu dengan kakaknya Gardenia.”

Alih-alih langsung mengiakan atau menolaknya, Lentya justru meminta waktu untuk menimbang-nimbang ajakan Winda tersebut.

“Tante sudah minta izin sama Bunda Sarah dan nantinya kamu akan dijemput dan diantar oleh supir Tante kok, Sayang."

Tidak lagi memiliki alasan yang kuat untuk menolak, mau tidak mau, Lentya pun mengiakannya.

“Terima kasih, Sayangku. Tante senang banget, deh!"

"Terima kasih juga sudah mengundang Lentya, Tante."

"Kalau begitu, sampai bertemu nanti malam, ya, Lentya Sayang!”

Setelah sambungan telepon itu terputus, Lentya langsung memejamkan matanya. Dia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan hilang begitu dia terbangun.

Meski Winda bersikap terbuka dan juga hangat, tetap saja Lentya merasa minder. Dia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan sejak usia 4 tahun hingga sampai sekarang.

"Kamu baru dapat telepon dari siapa, Len?" Suara Varsha berhasil membuat Lentya membuka matanya.

Sedikit menghela napas, "Mama dari murid yang tadi aku ceritain, Mbak." Lentya membuat Varsha membelalakkan matanya.

"Berarti Mamanya si Pranaya dong?"

"Iya, Mbak."

"Dia bilang apa sama kamu? Eh, Mbak perlu turun tangan nggak, nih?" tanya Varsha yang memang masuk ke dalam tipe manusia yang siap pasang badan dan bertarung jika dia melihat orang lain dalam bahaya.

Tidak heran, jika perempuan yang menguasai bela diri Muay Thai dan Martial Arts ini sering masuk kantor polisi hanya karena dia beradu otot dengan para preman hingga pencopet di jalan.

“Tante Winda hanya mengundang Lentya untuk makan malam bersama dengan keluarga mereka kok, Mbak," jawab Lentya yang sedikit tertawa karena mendengar kata 'turun tangan'.

Seingatnya, terakhir Varsha menggunakan istilah itu, seorang pria yang menjabret Lentya harus kehilangan empat giginya dan juga dirawat di rumah sakit selama sepekan.

"Kalau begitu, Mbak harus tetap turun tangan dong, Len. Ya, meski kali ini dalam artian membantu kamu untuk mencari pakaian dan sepatu yang sesuai."

Lentya menggeleng dengan cepat. "Pakaian dan sepatu Lentya masih ada yang bagus kok, Mbak."

Varsha menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Mbak tidak menerima penolakan apa pun dari kamu ya, Adikku!"

Kalau sudah begini, satu-satunya hal yang bisa dilakukan Lentya hanyalah tersenyum, mengangguk dan juga mengikuti ke mana Varsha akan membawanya pergi.

***

Sementara Lentya dan Varsha sibuk berkeliling di sebuah pusat perbelanjaan, seorang pria yang tak lain adalah Pranaya, tampak sedang mengganggu seorang wanita berpakaian cukup ketat dan terbuka yang saat ini tengah sibuk mengetik laporan.

"Malam ini kamu bisa menemani aku lagi, kan, Sayang?"

Wanita yang dipanggil 'Sayang' itu pun menatap Pranaya dengan tatapan menggoda. “Tentu bisa dong, Pak Pranaya. Bapak mau ditemani oleh Rika di mana?” tanyanya seraya bangkit dari kursi lalu memeluk tubuh pria tersebut.

"Di mana pun asalkan tempat itu bisa membuat kamu mendesah, Sayang," jawab Pranaya setelah mengecup bibir yang diulas dengan lipstik merek ternama itu.

 Rika lantas mencubit lengan dari pria itu dengan gemas. Seperti yang diharapkannya, Pranaya jadi terpancing untuk melakukan hal-hal mesum terhadap sekertaris dari papanya tersebut.

Begitu tangan Pranaya mulai masuk ke dalam blouse dan bermain dengan salah satu titik kelemahannya, Rika pun mengingatkannya.

"Pa-akh, ki-kita ma...siiih di kan-kantoor."

"Memangnya kenapa kalau di kantor? Kan, sebentar lagi kantor ini milik aku," tanggap Pranaya yang kemudian menggigit-gigit telinga dari teman kencan terlamanya itu.

Berhasil menjauhkan diri dari Pranaya, "Iya, jadi milik Bapak. Tapi setelah menikah dengan dia, kan?" Rika pun berucap dengan nada ketus.

"Aku pastikan kalau itu hanya akan menjadi pernikahan di atas kertas saja, Sayang." Pranaya kembali memeluk Rika.

"Aku nggak percaya sama kamu."

"Rika Ambarwati, dengarkan aku." Pranaya menangkup wajah wanita tersebut. "Meskipun aku harus menikah dengan siapalah itu, aku jamin kalau hubungan kita akan tetap berlanjut."

Saat keduanya akan melakukan dosa yang lebih berat, suara dering ponsel milik Pranaya terdengar menginterupsi aktivitas keduanya.

Pranaya jelas mengumpat, sedangkan Rika hanya tertawa geli saat melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh pria yang akhir-akhir ini selalu memanaskan malam-malamnya itu.

Setelah menormalkan napasnya, Pranaya segera menjawab panggilan yang berasal dari sang mama.

"Mama tumben banget menelepon Mas jam segini. Ada apa, Ma?” tanya Pranaya setelah menjawab salam Winda.

“Mama cuma mau ngasih tahu kalau malam ini, Mama mengadakan acara makan malam bersama dengan calon istri kamu. Awalnya mau diadakan di akhir pekan ini, tapi karena Mama sudah nggak sabar melihat kamu bertemu dan berkenalan dengan Lentya, jadilah Mama adakan di malam ini. Kamu jangan lembur ya, Mas."

Setelah berhasil menahan diri untuk tidak mengumpat, Pranaya pun mencoba bernegosiasi dengan Winda.

“Untuk kali ini, Mama tidak mau menerima alasan apalagi penolakan. Pokoknya Mama mau kamu pulang cepat.”

“Baiklah, Kanjeng Mamaku yang paling cantik. Mas siap untuk melaksanakannya,” jawab Pranaya dengan mulut beracunnya.

Begitu pria berkemeja merah itu memutuskan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Rika pun memeluk Pranaya dari belakang.

“Acara kita malam ini batal, ya?”

"Next day ya, Sayang."

Mendapati Rika yang mendengkus kesal sambil melihat tangannya di depan dada, "Bukannya mau buat kamu marah, tapi kamu kan, tahu kalau perkataan Mama itu sulit dibantah."

Rika menganggukkan kepala. "Mungkin suatu hari, Bapak akan bilang 'istri aku sulit untuk dibantah' juga, ya?" Cibirannya itu jelas-jelas mengundang Pranaya untuk mencium dan melumat bibirnya.

Dikarenakan Gibran Hardoyo sedang tidak berada di tempat, maka dengan senang hati, Pranaya menerima undangan penuh dosa tersebut.

“Meski acara nanti malam batal, kita tetap bisa melakukannya di sini dan sekarang juga, kan?" Rika yang sudah berada di bawah kungkungan Pranaya pun hanya bisa tersenyum lalu mengangguk dengan cepat.

***





<