cover landing

Way Back into Love

By Fitri Gita Cinta

Nama toko itu tertulis di selembar papan kayu dengan cat dasar putih yang menggantung tepat di sebelah kiri pintu masuk. Setiap kali angin bertiup kencang, papan nama itu ikut bergoyang. Sejak papan nama itu selesai dipasang, baru hari ini kain hitam yang menyelubunginya diturunkan.

Shena, si pemilik toko, berusaha keras untuk tetap tersenyum—alih-alih menangis saking terharunya—karena usaha mewujudkan cita-cita selama lebih dari dua bulan akhirnya membuahkan hasil.

Hari ini, hari pertama toko kerajinan tangannya resmi dibuka.

Shena sengaja meniadakan acara seremonial. Tanpa menggelar karpet merah atau menggunting pita seperti yang biasa dilakukan papanya setiap kali meresmikan usaha barunya. Shena lebih suka melakukannya secara sederhana dengan mengundang beberapa pemasok barang di tokonya kemarin sore. Menikmati sajian nasi liwet beralas daun pisang yang disantap hangat-hangat sambil berbincang santai. Tak ada publisitas besar-besaran dengan mengundang wartawan yang kemudian memuatnya menjadi berita di koran-koran lokal. Tapi, Shena memastikan foto-foto acara sore itu berseliweran di beranda media sosialnya.

Shena baru saja hendak melangkah masuk kembali ke dalam toko ketika seseorang menyapanya. Sepasang matanya menatap setengah bingung-setengah curiga ke arah seorang lelaki dengan senyum canggung yang tak pernah Shena lihat sebelumnya. Dia terlihat agak berantakan dan beraroma kopi. Dia mengenakan sandal jepit biru yang masih baru. Ada tanah menempel di lutut celana jeans­-nya dan bagian depan bawah T-shirt­ berwarna putihnya pun basah. Tubuhnya terlihat tinggi menjulang hingga Shena harus mendongak sedikit ketika hendak menatap matanya yang bermanik sewarna madu.

“Ada apa?” tanya Shena dengan nada menyelidik. Dia merasa heran sebab selama hampir sebulan bolak-balik mengawasi renovasi tokonya, Shena belum pernah bertemu dengannya. Meskipun tidak ada yang mencurigakan dari gerak-gerik lelaki itu, tapi Shena tetap merasa harus waspada. Siapa tahu senyum canggung itu hanya kamuflase yang dibuat-buat agar Shena terhipnotis, lalu lelaki itu melakukan sesuatu yang jahat. Menipunya mungkin.

Deru kendaraan yang lalu-lalang dan beberapa pejalan kaki yang melintasi mereka membuat Shena setidaknya bernapas lebih lega. Dia akan berteriak sekeras-kerasnya kalau lelaki itu berusaha menjahatinya.

Lalu lelaki itu membuka kepalan tangannya. 

Shena mundur selangkah, tapi ketika dia melihat benda di telapak tangan lelaki itu, dia mengernyit. “Eh, kenapa kunciku bisa ada sama kamu?” tanyanya bingung. Namun, perhatian Shena lebih tertuju pada ujung-ujung jari lelaki itu yang tampak mengerut dan pucat—seolah habis bermain air terlalu lama—daripada kunci kamar berbandul boneka kecil berbaju kimono miliknya.

Lelaki itu menyugar rambutnya yang ikal dan hitam. Mengingatkan Shena pada gaya rambut James Franco atau Orlando Bloom. Sepertinya lelaki itu lebih sering membiarkan rambutnya acak-acakan daripada menatanya rapi. Kalau saja lelaki itu bertemu papanya yang menyukai keteraturan dan kerapian, Shena berani bertaruh, papanya akan cepat-cepat mengambil gunting atau paling ringan menyuruhnya pergi ke tukang cukur.

Selama beberapa saat, Shena memandanginya. Dari keseluruhan tampilan lelaki itu, anehnya, membuat Shena berpendapat tidak ada yang perlu dibenahi dengan gunting atau sebotol cairan antiseptik.

“Kuncimu terjatuh, tapi kamu tidak tahu.”

“Oh, aku menjatuhkannya, ya?” ulang Shena dengan kening berkerut sambil berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali dia mengeluarkan kunci itu dari dalam tasnya. Semenjak sibuk mempersiapkan pembukaan tokonya, Shena tidak begitu memperhatikan isi tas berumbai yang selalu dikenakannya ke mana saja. Bukan karena tas itu paling disukainya, apalagi satu-satunya tas yang dimilikinya. Shena hanya tidak mau repot-repot memindahkan isinya ke tas lain dan membuatnya melupakan satu-dua benda yang dibutuhkannya. “Ya, ampun! Aku sama sekali enggak sadar kalau kunciku hilang. Terima kasih, ya.”

Shena mengambil kunci kamar yang selama tiga bulan ini tidak pernah ditempatinya lagi dari tangan lelaki itu. Kunci yang mengingatkannya pada pertengkaran dengan papanya yang membuatnya memutuskan untuk pergi dari rumah. Dia mendesah, lalu berusaha kembali tersenyum saat menyadari lelaki baik hati itu masih berdiri di hadapannya.

“Namaku Shena,” ujar Shena lalu mengulurkan tangan. Lelaki itu membalasnya sekilas, lalu menarik tangannya kembali dan menyembunyikannya di balik punggung. Shena agak terkejut karena tangan lelaki itu terasa sedingin es, tapi bukan jenis tangan dingin yang disebabkan rasa takut atau gugup. “Kalau kamu?”

“Kamu bisa memanggilku Maliq.”

“Oh, Maliq.”

Lelaki itu mengangguk samar. Tatapannya lalu beralih ke arah jendela kaca bertirai tipis dengan hiasan kupu-kupu berwarna pelangi. Dari jendela itu dia bisa melihat sebagian isi dalam toko. Rak-rak putih yang tingginya menyentuh langit-langit berisi tas-tas rajut, aneka macam boneka amigurumi, bingkai-bingkai foto, dan kotak-kotak kertas berbagai ukuran dan bentuk. Di bagian tengah, terdapat meja yang memajang miniatur gerobak bakso, lamin–rumah adat Kalimantan, perpustakaan mini, dan rumah boneka lengkap dengan perabotnya.

“Hari ini kamu mulai berjualan?” tanya Maliq mengembalikan perhatiannya pada Shena.

“Iya. Ini hari pertamaku.”

“Selamat, ya. Semoga sukses,” doanya terdengar tulus.

“Amin. Terima kasih, Maliq,” sahut Shena senang. Lelaki itu menjadi orang pertama yang mendoakan keberhasilannya.

Maliq membalasnya dengan senyum canggung. Dari kerutan di keningnya, Shena menebak kalau Maliq mungkin sedang mengatur kalimat selanjutnya. Meskipun tidak tahu harus berkata apa, Maliq toh tidak pamit dari hadapannya.

Jadi, Shena mengambil inisiatif.

“Hm... maukah kamu singgah sebentar? Minum teh dulu? Eh, kamu suka teh, kan?” Shena menunggu reaksi Maliq sejenak sembari membenahi helaian rambut yang menghalangi pandangannya lalu melanjutkan, “kalau kamu enggak suka teh, aku masih menyimpan beberapa sachet kopi instan yang biasanya diminum tukang-tukang yang merenovasi tokoku. Mereka lebih suka meminum kopi hitam tanpa campuran susu atau....” Shena segera mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia baru menyadari bicaranya terlalu banyak.

“Terima kasih. Tapi...”

“Ah, enggak apa-apa kok kalau kamu enggak bisa.” Shena buru-buru memotong, lalu tertawa canggung, sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Dia merutuki diri dalam hati karena ingin menunjukkan rasa terima kasih yang berlebihan.

“Terima kasih tawarannya, tapi... temanku sedang keluar kota. Kami tidak bisa bergantian menjaga toko.” Maliq menjelaskan saat melihat Shena tampak kecewa. “Mungkin lain kali.”

“Tokomu?”

“Iya.”

“Jadi, kita bertetangga?”

Maliq menunjuk deretan bangunan ruko di seberang jalan. Telunjuknya mengarah pada bangunan bercat hijau pupus di deretan kelima, di mana terdapat jendela kaca besar bertuliskan Green Paradise dengan hiasan rumput dan tanaman yang entah apa namanya. Ada spanduk terikat di pagar balkon di tingkat kedua bangunan itu.

Shena menyipitkan mata, berusaha membaca satu-satunya kata yang dicetak dengan huruf berukuran besar. “Aqu-a-scape?” ejanya terbata. Keningnya mengerut mencoba mengartikan kalimat asing yang belum pernah terdengar di telinganya.

“Itu—” Maliq berniat menjelaskan, tapi ponsel yang tersimpan di saku belakang celananya berdering. Seseorang meneleponnya.

Kening Shena mengerut ketika lelaki itu hanya memandangi layar ponsel, tanpa menyentuhnya sama sekali.

“Ada apa?”

Shena melihat raut wajah enggan sekaligus kesal yang kentara. Dia tidak bisa mencegah dirinya ingin menebak-nebak siapa penelepon yang membuat lelaki itu tampak berpikir keras sebelum menerimanya.

“Itu... telepon dari siapa?”

Maliq mendongak. Pertanyaan itu membuatnya tersadar dari lamunan. “Maaf,” katanya sambil memberi isyarat dia ingin menjawab telepon itu.

“Oh, silakan.”

Shena mengangguk mengerti dan membiarkan Maliq memunggunginya, lalu melangkah menjauh. Pandangan matanya mengikuti setiap langkah lelaki itu menyusuri trotoar hingga menyeberang jalan, lalu berhenti di samping sebuah mobil hitam yang terparkir di depan tokonya.

Ketika seorang lelaki berbadan gempal turun dari kendaraan itu, Shena menarik napas panjang. Entah mengapa merasa lega sebab ternyata lelaki itu berbicara dengan seseorang yang jauh berbeda daripada yang ada di dalam pikirannya.

Shena menggeleng-gelengkan kepalanya. Berharap pikiran melanturnya barusan segera menghilang. Kemudian dia membuka genggaman tangannya. Mengusap permukaan kunci berbandul boneka kecil berbaju kimono dengan pandangan sedih. Meskipun enggan mengakuinya, Shena merindukan kamar tidur yang terpaksa ditinggalkannya.

“Sudah lupakan saja, Shena! Ayo, semangat! Ini hari pertamamu, kan!” serunya menyemangati diri sendiri lalu memasukkan kunci itu ke dalam saku beige asymmetrical skirt-nya. Dia harus melupakannya untuk sementara waktu.

 

***

 

Maliq menggerutu dalam hati.

Ponselnya berdering di saat yang tidak tepat.

Tapi, dia tidak bisa begitu saja mengabaikan telepon–mungkin–dari salah satu pelanggannya yang membutuhkan bantuannya untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Sering kali tentang filter air yang tersumbat atau menimbulkan riak yang terlalu deras, tanaman yang daunnya rontok atau layu, ikan yang mati, atau kotak akuarium yang bocor. Mereka tidak akan berhenti meneleponnya sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan atau masalah mereka bisa teratasi.

Sejauh ini pelanggan tokonya merasa puas dengan pelayanan paripurna yang membantu mereka merawat akuarium air tawar yang lebih didominasi tanaman daripada ikan hias itu.

Maliq mengeluarkan ponsel dari saku belakangnya, lalu tertegun membaca nama yang tertera di layar. Bukan salah satu nama pelanggan tokonya.

Seharusnya dia bisa mengabaikan saja telepon itu, lalu kembali meneruskan percakapan dengan Shena dan memasang tampang seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi, sang penelepon itu bukan jenis penelepon yang bisa tidak diacuhkannya begitu saja setiap kali namanya muncul di layar ponselnya. Ada keengganan sekaligus kewajiban untuk patuh yang saling tarik menarik.

“Itu... telepon dari siapa?”

Suara itu menyentuh kesadarannya.

Maliq mendongak dan menemukan sepasang mata jernih menatapnya dalam. Seolah-olah hendak membaca pikirannya. Tatapan yang memerangkap Maliq hingga dia harus berusaha keras mengucapkan kata maaf, lalu buru-buru memberi isyarat agar gadis itu mengizinkannya menjawab telepon itu.

Gadis itu pun mengangguk penuh pengertian.

“Halo,” sapanya enggan.

“Aku ada di depan tokomu.”

Tatapan Maliq spontan mencari Peugeot 408 hitam dan menghela napas panjang saat menemukannya.

“Kamu ada di mana?”

“Aku sedang menyeberang jalan,” jawab Maliq lalu menyudahi pembicaraan mereka.

Lalu-lalang kendaraan yang cukup ramai membuat Maliq sempat mengatur napas dan menjernihkan pikirannya. Dia menunggu sampai motor terakhir melintas sebelum menyeberang jalan. Setengah berlari, dia menghampiri mobil yang terparkir di depan tokonya itu.

Maliq hendak mengetuk kaca jendela mobil itu ketika lelaki berbadan gempal muncul lalu membuka bagasi. Dia mengangkat kontainer plastik berukuran sedang lalu berkata, “Apa saya boleh membawanya ke dalam?”

“Apa itu?”

Maliq menoleh ketika kaca jendela mobil itu bergerak turun. Menampakkan seorang wanita yang tengah melepas kacamata hitamnya. Dia tersenyum samar saat melihat Maliq menaikkan satu alisnya. Salah satu kesamaan yang mereka kala sedang menunjukkan rasa ingin tahu pada seseorang.

“Seorang teman memberiku lou han. Aku tidak suka memelihara ikan. Kau mungkin tidak tahu, tapi Sydney benar-benar pencemburu. Dia pasti mencari seribu satu cara untuk mencelakai ikan itu.” Sidney adalah kucing angora kelabu yang menatap jahat ke arah Maliq saat bertamu ke rumah wanita itu. “Terserah kau mau menyimpan atau menjualnya.”

“Terima kasih,” kata Maliq datar. Dia lalu menoleh ke arah supir bertubuh gempal yang tidak sedikit pun tampak kesulitan dengan beban di tangannya. “Bawa saja ke dalam. Pintunya tidak dikunci.”

“Kamu sudah sarapan?”

Maliq menganggukkan kepalanya malas-malasan. Berdoa dalam hati agar wanita itu segera pergi. Bukan hanya karena cahaya matahari mulai menyilaukan pandangannya, namun kehadiran wanita itu selalu membuatnya merasa tidak nyaman. Dari ekor matanya, dia bisa melihat kepala-kepala yang mengintip dari balik rak tempat menyimpan batangan-batangan besi dengan rasa ingin tahu.

Wanita itu memang sesekali muncul dengan cara yang terkesan misterius. Di waktu-waktu yang sama sekali tidak terduga. Maliq ingin sekali memberitahu wanita itu agar meneleponnya dulu jauh-jauh hari –bukan ketika sudah berada di depan toko atau rumahnya– sebelum bertemu dengannya. Setidaknya dia bisa memikirkan cara untuk melarikan diri atau mengarang alasan untuk menghindari wanita itu.

Tapi, janji bodoh itu membuat keinginannya hanya sekadar keinginan.

Maliq mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi berjanji pada orang yang sekarat, seperti yang dilakukannya di hadapan ayahnya. Sekarang janji bodoh itu membuatnya patuh. Seolah ayahnya masih terus ada untuk mengawasinya.

“Hanya dengan secangkir kopi, seperti biasanya?”

Maliq mengerang dalam hati. Wajahnya pasti menunjukkan ketidaksukaan. Terlihat ketika wanita itu menghela napas, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau saja ayahnya masih hidup, Maliq akan memastikan lelaki itu tidak akan membagi informasi apa pun tentangnya kepada wanita itu.

“Aku hanya mengkhawatirkan kesehatanmu,” katanya lalu kembali mengenakan kacamata hitam yang bertengger pas di hidung yang agak bulat di bagian ujungnya. Supir berbadan gempal sudah selesai melakukan tugasnya dan kini telah duduk tegap di belakang kemudi. Menunggu perintah dari wanita itu. “Setidaknya biarkan aku melakukannya sebagai ibumu.”

Maliq mengalihkan pandangan. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya yang menegang. Kalimat itu terdengar agak memuakkan sekaligus menyedihkan di telinga Maliq. Dia paling tidak suka mendengar wanita itu mengaku: aku ini ibumu.

Dan sampai Peugeot 408 hitam itu menghilang dari pandangannya, Maliq belum juga beranjak dari tempatnya berdiri.

 

***





<