cover landing

Wedding in Chaos

By Respati Kasih

Prolog

 

“Kamu nggak ada bilang lho, Ras, kalau apartemen kamu kayak kandang kecoak gini.”

Rasyid mendahului istrinya yang berdiri di depan pintu. Menyeret koper besar miliknya sendiri. Mengabaikan kalimat dramatis Adelia. Kalian jangan percaya. Apartemennya tidak separah itu.

Seraya menyingkirkan kain putih yang menutupi sofa, “Aku lupa telepon jasa kebersihan.”

“Ya udah, telepon sekarang.”

“Kita berdua cukup kok bersihin apartemen ini.”

“Aku? Bersihin apartemen seluas ini?” Adelia harus menolak mentah-mentah ide itu. Dia saja tidak berani melangkah lagi, dan tetap bertahan di depan pintu yang terbuka. Hanya antisipasi kalau-kalau ada kecoak terbang atau tikus putih berlarian. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.

Rasyid menatap istrinya. Mengoreksi. “Kita.”

“Aku lebih milih nginep hotel aja malam ini.” Adel siap berbalik.

“Daripada nginep di hotel, mending tidur di rumah kamu. Gimana? Karena kayaknya nggak mungkin balik lagi ke rumah orangtuaku. Kamu nggak akan mau menemani Bunda masak di dapur setiap hari.”

Tidak. Itu ide yang lebih buruk. Dia susah payah bisa lepas dari rumah Mama, eh malah dibalikin ke sana lagi. Lalu, pilihan kedua, kembali ke rumah orangtua Rasyid juga seperti mimpi buruk. Seminggu sudah cukup. Adel kapok.

Dengan muka ditekuk, Adelia melepas syal yang melingkari lehernya. Membuka mantel. Menyisakan kaus hitam oblong yang kontras dengan kulit putih porselen-nya. Rasyid menahan senyum melihatnya. Dia tahu Adelia tidak semanja itu. Hanya perlu dipancing sedikit.

Setelah meletakkan syal dan mantel di atas koper besar, Adelia mencari letak sapu. Sementara Rasyid sudah menyalakan semua lampu dan memegang kemoceng.

“Hidup sama kamu susah ya. Apa-apa dibikin ribet. Kita bisa panggil jasa kebersihan. Ditinggal ngopi di bawah, beres. Nggak perlu capek-capek berdebu gini.”

“Aku mau lihat kemampuan kamu bersihin rumah kayak gimana.”

Adel berkacak pinggang. “Hei, kamu pikir dua puluh tujuh tahun hidupku, dipakai buat apa? Belajar ngupil pake jempol? Sampai beberes rumah nggak bisa?”

“Oh, jadi kamu jago ngupil pake jempol?” Rasyid membuka gorden jendela di dekat meja makan. “Nanti ajarin.”

Salah satu percakapan absurd mereka. Rasyid sebenarnya cukup geli. Tapi satu bulan ternyata cukup untuk menerima keabsurdan istrinya. Dirinya bisa menoleransi.

Tidak. Dia tidak akan menyebutkan semua sifat jelek Adel. Biar nanti terungkap sendiri. Sehingga kalian bisa menilai dan menentukan akan membela siapa kalau mereka bertengkar nanti. Kalian yang putuskan sendiri berada di kubu siapa.

“Ras, itu ruangan kecil boleh aku buat naruh barang dagangan?” Adel menghampiri Rasyid yang membersihkan calon kamar mereka.

“Itu musala.”

“Eh?” Adel nyengir. “Habis aku nggak lihat ada mukena atau sajadah. Ya udah deh.”

“Itu ada kamar kosong satu lagi. Pakai aja. Emang barangmu mau dateng kapan?”

“Besok.” Adel baru sadar sesuatu. Memekik horor. “Kita satu kamar?!”

“Iya, dong, Del.” Rasyid melewati bahu istrinya. Mencari letak botol air mineral yang tadi dia bawa.

Adel mengikuti. Bersiap protes. “Aku nggak siap punya anak ya. Urusanku banyak. Aku nggak mau nambah beban dalam waktu dekat.”

“Kita udah ngomongin ini ya. Meski nggak ada hitam di atas putih, aku masih ingat. Kita bakal ngomongin masalah anak kalau sama-sama udah siap.” Rasyid menemukan botol di atas meja. Dia duduk di lengan sofa. Menenggak sambil melirik wajah istrinya yang merengut.

“Awas kalau kamu khilaf!”

Rasyid nyaris tersedak. “Khilaf ke istri sendiri bukannya dosa, malah pahala, Adel. Seminggu kita nikah, kamu nyatanya masih perawan. Lihat, aku bisa pegang omongan berarti.”

Mengentakkan kaki dengan sebal, Adel kemudian berbalik. Diiringi dengan kekehan Rasyid.

*

 

 

Chapter 1

 

 

“Ras, ambilin sampo dong!”

“Ras, ini sampo punya kamu, aku nggak bisa pakai. Nanti rambutku rusak!”

“Ras, sabunnya juga ketinggalan!”

“Ras, handuk tolong!”

“Ras, handukku ya, kenapa diambilin punyamu!”

“Ras—”

Ya Tuhan, kali ini apa lagi? Kenapa urusan mandi harus seribet itu? Kenapa perempuan itu mandi tanpa memerhatikan peralatan mandinya sendiri dan harus merepotkan orang lain?

“Ras! Lampu kamar mandi kedip-kedip!”

Rasyid mengangkat malas tubuhnya dari rebahan sofa. Melangkah ke kamar mandi untuk yang kesekian kali dalam waktu lima menit.

“Nih, aku di depan kamar mandi. Kalau lampunya mati dan kamu belum selesai, nggak usah jerit. Nggak akan ada apa-apa.”

Hanya selang beberapa detik, pintu kamar mandi terkuak. Lampu masih berkedip. Tapi mata Rasyid justru tak bisa berkedip melihat makhluk dalam balutan handuk yang, astaga, seksi.

“Mata ya, mata. Jelalatan!” Adelia melipir ke kamar sebelum malu sendiri.

Setelah berganti baju tidur, Adelia keluar dari kamar. Mencolek bahu suaminya yang masih bersandar malas di sofa. “Ras, besok dibenerin ya itu lampu kamar mandi di dalam kamar. Kalau kayak tadi, aku mandi, terus ada tamu gimana? Kamu rela istri sucimu ini jadi tontonan orang lain?”

Rasyid mendongak dan hanya mengangguk. Diiyakan biar telinganya tidak berdenging.

Lalu suara lampu konslet membuat Adelia berjengit dan refleks melompat ke Rasyid. Sebelum Rasyid sempat protes, sudah kena tabok. “Kamu belum mandi? Asem banget sih?”

Mereka selesai bersih-bersih pukul sembilan lewat sedikit. Sekarang hampir jam sepuluh. Rasyid lebih ingin makan daripada mandi. Maka dia menggeser tubuh dan meraih ponsel di meja.

“Kamu mau ikut pesan makanan?” Siapa tahu perempuan ini diet dan mengurangi makanan berat di jam kritis seperti ini.

“Boleh.”

“Paket combo ya?”

“Hm.”

“Mau extra cheese?”

“Ya.”

Saat Rasyid melirik, istrinya ternyata sibuk menggulir ponsel. Pasti mengurusi para reseller dan dropship yang kalau dikumpulkan bisa membuat kabupaten sendiri.

Selesai memesan makanan, Rasyid mengintip layar ponsel Adel. Jemari-jemarinya yang lentik itu mengetik cepat. Cukup sabar menjawab beberapa pertanyaan yang masuk. Membuat ponsel Adel tak berhenti berdenting sejak tadi.

“Sejak kapan sih kamu jadi juragan online?”

“Sejak Mama blokir semua kartu debet-ku.”

“Kapan?”

“Pas aku semester tujuh kayaknya.”

“Kok bisa?”

“Aku KKN mandiri di luar negeri, dan nguras habis duit tabungan.”

“Kamu pasti dugem atau belanja barang mewah.”

“Nggak. Duitnya aku gunain buat hal bermanfaat. Tapi Mama telanjur marah karena aku nggak izin dulu. Uang jajanku distop satu semester.”

“Terus kamu termovitasi cari uang sendiri?”

“Hm.” Tanpa mengalihkan mata dari layar. Cukup multitasking. Dia bisa mendengar pertanyaan Rasyid tanpa minta diulang. “Kamu mandi gih.”

Rasyid berdiri. Melangkah ke kamar. Mencari handuk dan peralatan mandinya yang masih ada di koper. Mereka terlalu lelah untuk sekadar membongkar koper dan memindahkan isinya ke lemari.

Apartemen ini sudah dia kosongkan satu tahun yang lalu. Bunda kesepian di rumah katanya. Jadi, Rasyid yang memang penurut, tanpa paksaan langsung pulang. Meski ya tidak ada bedanya. Jam kerja Rasyid seperti Ayah. Berangkat pagi, sampai rumah selepas Magrib.

Namun, setidaknya, mereka bisa makan malam bertiga. Bunda sudah cukup senang dengan percakapan di malam hari. Juga ketika pagi, beliau selalu semangat menyiapkan sarapan. Memenuhi meja makan dengan makanan bergizi. Bahkan seringkali membuatkan Rasyid bekal sehat.

Dan sekarang, di sini, hidup bersama Adelia yang mempunyai kemampuan masak nol besar, Rasyid harus rela makan junkfood.

“Nggak makan?” Rasyid selesai mandi. Melihat pesanan sudah di atas meja dan Adelia yang masih sibuk memelototi ponsel.

Adel meletakkan ponsel dan beringsut turun ke karpet. “Nungguin kamu.”

Tanpa bisa ditahan, Rasyid tersenyum. Sayangnya Adel sudah sibuk membuka bungkus makanan sehingga tak melihat ekspresi suaminya.

“Aku besok belanja deh.”

“Belanja apa?”

“Ya kebutuhan sehari-hari, buat menuhin kulkas.”

“Kamu mau belajar masak?” Rasyid tetap bertanya meski sudah tahu jawabannya.

“Mana sempat? Tiap goreng telur aja, kulitnya pasti ikut nyemplung ke wajan.”

Rasyid meringis. Astaga, kalau saja Adel ini seorang Nia Ramadhani, ya pantas-pantas saja tidak bakat menggoreng telur. Tapi ini Adel. Bukan artis, bukan siapa-siapa, hanyalah juragan online yang punya pasukan satu kabupaten.

“Kalau ngupas buah salak, kamu bisa, Del?”

“Kenapa?” Adel seolah bisa memahami jalan pikiran suaminya. “Nyesel ya punya istri nggak bisa masak? Aku nggak sendirian kok, itu Nia Ramadhani nggak jago di dapur. Tapi santai aja tuh. Suaminya nggak masalahin. Mertuanya juga legowo.”

Setelah menelan kunyahan, Rasyid menyanggah. “Ya tapi kan kamu bukan Nia Ramadhani. Belum tentu situasinya juga sama.”

“Oh, jadi kamu nuntut aku bisa masak?”

Tentu, Adel, tentu! “Jangan ngajak berantem. Udah malem.”

“Kamu duluan yang mulai.”

Rasyid mengalah. “Iya, iya.”

***

 





<