cover landing

Wedding Dress for My Ex

By Ravenura

Akhir pekan tidak pernah bisa dimulai dengan tenang. Sakit kepala yang berdenyut kerap singgah kala cewek berambut sebahu bangun. Dia benci mendengar suara alarm ponselnya pada pukul enam pagi dan ternyata itu bukan alarm.

Matanya sangat pedih untuk terbuka. Getaran yang mengganggu datang berulang-ulang. Navy kira mengalami kelumpuhan tidur akibat panggilan telepon dari sahabatnya.

"Woi, Nav! Nanti jadi enggak ke Singhasari?"

Sahabatnya selalu begitu. Hobi menelepon Navy dengan segala keributan setiap hendak pergi bersama. Sejak dulu, Windy konsisten menjadi sosok pertama yang mengingatkan janji mereka. Belum lagi tangisan dan teriakan Jihan—anak Windy—menyela percakapan tersebut. Frekuensi desibel teriakan itu melebihi batas toleransi Navy. Seketika dia mendadak bolot dan lupa.

"Emang ngapain ke situ?"

"Lah, gimana sih kamu, Nav! Hari ini kan akadnya Ahmad. Jadi kan ke sana?"

Navy bergumam tidak jelas. Tubuhnya malas beranjak. Dia kelelahan usai mengikuti lomba desain di luar kota. Dua jam sebelumnya Navy baru mencium kasur, sekarang sudah diharuskan bangun tidur. Maklumlah, pukul empat subuh dia baru bisa tidur. Rasanya masih kurang demi menghempaskan lelahnya hidup.

Akhir pekan yang buruk, terutama karena dia datang kondangan sendirian. Sudah empat tahun terakhir Navy dapat pertanyaan sakral yang dibenci sejuta umat.

Kapan menikah?

Tanpa segan, ponsel Navy dibanting ke kasur. Erangan putus asa semakin mengeras, disusul tendangan udara sebagai ekspresi kekecewaan. Dia sendiri yang memasang alarm beberapa hari lalu, tetapi marah tanpa alasan dipaksa bangun. Lebih jengkel jika orang lain membangunkannya. Ponselnya sendiri tidak beruntung punya majikan buruk. Setiap alarm berbunyi, tangan Navy menyambar cepat dan menggeser slide ke bawah untuk dimatikan, lalu dibanting ke tembok. Navy melanjutkan dengkuran sebal.

Masalahnya hari ini Navy harus keluar untuk menghadiri hari baik teman SMP. Mustahil menolak, kendati terpaksa mengerahkan senyum palsu kala menjawab pertanyaan tadi.

Navy Gempita tidak sebahagia namanya jika menyangkut soal pernikahan. Padahal pekerjaannya sendiri berkutat dengan gaun-gaun yang mempercantik mempelai perempuan.

Yaps, Navy adalah desainer muda yang punya butik ANZ khusus gaun pengantin di kawasan alun-alun kota Malang.

Dia butuh tidur lebih lama agar bugar akibat jam produktifnya terbalik. Setiap malam begadang demi menggambar dan mengukur desain gaun pengantin. Kadang senewen sendiri karena sisi perfeksionisnya kambuh setiap mepet tenggat waktu. Belum lagi perjalanan jauh menuju rumah kliennya untuk mengantar gaun sendiri atau ada event fashion berlangsung.

"Argh ... Kapan coba aku didatengin orang sebagai tuan rumah. Masa undangan terus dateng gak ada akhirnya!" Navy bermonolog. Tangannya menggosok wajah yang bengkak.

Pukul dua dini hari tadi baru tiba di rumah, Navy langsung makan mie instan, scrolling Instagram kebablasan dan terjun ke kasur sepenuhnya saat baterai ponsel habis, persis kala Navy setengah merem mencolokkan kabel charger. Sekarang penampilannya buruk. Dia harus bergegas mengompres kelopak mata dengan es batu. Dengan langkah terseret mirip mayat hidup, Navy meluncur ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka.

Namun, sosok perempuan berusia 44 tahun menghadang di ambang pintu. Rosa baru saja pulang dari acara lari pagi. Penampilannya cukup mencolok. Dia menggunakan baju olahraga super ketat dan bersimbah keringat, tetapi sudah memamerkan wajah kemerahan kala menyadari keponakannya tidak ada unsur elegannya sama sekali. Navy terang-terangan menguap lebar. Wanita itu lupa kalau keduanya serupa, tapi saling menyalahkan mana yang tampil lebih buruk.

"Heh Anak Perawan, jam segini baru bangun. Jangan malem dong kalo tidur!"

Rosa menyindir. Aroma teh melati menyegarkan hidung Navy yang mampet karena flu. Penyakit sinitusnya belum kambuh. Hidung Navy kembang kempis, lalu dia bersin sekeras-kerasnya ke depan adik ibunya.

"Begadang juga buat kerja, Tante Rosa. Lagian kalo nggak kerja, gimana mau ngasih gaji buat Tante." Navy menggosok hidungnya yang gatal. Dia bersin lagi sampai meler.

Udara di kota Malang selalu dingin. Tentu saja Navy butuh sesuatu yang hangat agar tidak kena flu lagi. Walau menetap sejak lahir, tubuhnya tidak pernah terbiasa dengan udara sejuk kota Apel itu. Serangan bersinnya bakal sembuh pukul delapan pagi nanti saat matahari menyapa tubuhnya. Namun, sekarang sedang hujan, bersinnya makin kencang. Tiba-tiba dia kangen mandi vitamin D di luar.

Salut buat Rosa yang konsisten olahraga, lalu Navy sadar jika tantenya olahraga menggunakan treadmill, bukan keliling kompleks.

"Tapi tetep nggak baik. Kebiasaan kamu tuh, ya. Mbangkong mulu. Gimana nasib suami kamu nanti? Kelaparan mulu nggak bisa sarapan kalo jam segini masih ngorok, Navy."

Rosa gemas bukan main. Selain telepon Windy di pagi hari, kecerewatan Rosa menjadi momok yang menambah suasana buruk bagi Navy.

"Nanti suruh makan ke warteg. Zaman sekarang serba gampang, Tante."

"Eh ini, anak. Dibilangin juga sama orang tua!"

"Tante Rosa nggak tua-tua amat kok. Masih dikira tiga puluhan. Mbak-able malah."

"Eh, iyo ta?" Dipuji begitu, senyuman Rosa mengembang lebar. Marahnya menguap.

Kecantikannya masih belum luntur karena perawatan rutin di salon kecantikan dan pola hidup super sehat. Rosa tidak akan segan menggelontorkan jutaan rupiah demi pencegahan keriput muncul. Dia terobsesi dengan yang namanya awet muda. Rosa betah melajang di usianya yang menginjak 44 tahun, tetapi nggak pernah betah membiarkan keponakan sendiri mengikuti jejaknya.

Namun, kemarahan yang menguap itu menjadi masalah baru buat sang keponakan saat bicara lagi, "Nav, ingat yang kemarin kita bahas?"

"Soal apa, Tante?" tanya Navy malas. Agak waspada dengan arah pembicaraan satu ini. Navy sangat hafal dengan setiap intonasi bicara Rosa.

"Calon yang aku tawarin itu. Bujang dari Bandung."

Navy makin stres. Ibunya sendiri tidak pernah membicarakan soal pacar Navy, apalagi menyuruhnya cepat membawa calon ke rumah mereka di Banyuwangi, justru tantenya yang lebih bawel mendesaknya segera nikah.

"Tante, Navy nggak mikirin pernikahan. Kalo Tante suka dia, kenapa nggak Tante Rosa aja yang nikahin dia. Aku sibuk sama kerjaan."

"Heh, anak ini."

Masih untung Rosa tidak jadi melempar air teh ke Navy. Hanya keponakannya yang kerap meledeknya telat menikah.

Navy kabur ke kamar mandi. Dia menghadapi dilema saat membuka air kran. Dengan sejuta niat dan erangan keras, Navy menggigil saat segayung air dingin menjatuhi kepalanya.

Mandi tidak mandi, Malang tidak akan berubah. Selalu dingin bagi tubuhnya dan dia harus pergi ke hotel pada pukul 10 pagi nanti untuk pernikahan teman SMP-nya.

Butuh waktu lama bagi Navy selepas mandi dengan air dingin untuk pulih. Dia membuat teh hangat guna meredakan sensasi dingin. Suhu tubuhnya membaik tepat pada pukul sembilan pagi. Bersamaan itu pula Navy sudah siap dengan gaun sewarna namanya.

Rumah Windy berjarak dua kilometer, sehingga mudah bagi Navy menjemput sahabat kentalnya. Motor matic itu melaju kencang, menembus lekuk jalan yang basah usai disiram alam. Pemandangan lebih cerah, serba hijau segar. Bikin sejuk mata Navy yang sepet. Namun, di depan gerbang putih yang tertutup, kedamaiannya terkoyak seketika.

Navy menekan tombol klakson dua kali dari sisi jalan raya sebagai panggilan brutal, memanggil sang empu rumah. Windy berlari kecil sambil menggendong putrinya. Paniknya bukan main.

"Kamu sih lama. Telat nih liat akadnya!" sungut Windy.

"Heh, kita ini nggak pantes datang ke kondangan. Datang gak bawa gandengan, apa gak risih ditanyain mana cowoknya?" sewot Navy, masih tidak terima dapat 12 panggilan tidak terjawab Windy tadi.

"Ya biasa ajalah, jawab kalo cowok kamu sibuk." Windy memasangkan helm kecil ke Jihan.

"Gak ah. Ntar makin dikepoin cowoknya siapa. Males ngarang sosok fiktif. Beda sama kamu. Udah jelas."

"Apaan sih, Nav. Lagian gandenganku ada Jihan. Udahlah ayo buruan!"

Percekcokan dua sahabat itu berakhir kala motor digeber keras. Untunglah Navy punya helm cadangan untuk dipinjam Windy. Semenjak pindahan rumah, praktis Navy jadi tukang ojek gratisan yang mengantar Windy kemanapun pergi selama beberapa minggu terakhir.

Sepanjang perjalanan itu, Navy dan Windy bergosip. Suara mereka yang lantang menarik perhatian beberapa orang. Keduanya tidak peduli. Selalu berisik dan topiknya seru. Untungnya mereka datang tepat waktu saat resepsinya baru dimulai. Setelah mensterilkan tangan dengan hand sanitizer dan tembak suhu, Navy dan Windy menghampiri sepasang mempelai di pelaminan penuh hiasan mawar asli.

Perasaan Navy sangat aneh. Desiran di dadanya semakin menjadi. Dia jelas baper melihat dekorasi pernikahan.

Keinginan untuk menikah itu ada. Malah sudah tertanam jauh sejak masih jatuh cinta pertama kali dengan seseorang. Namun, dia belum menemukan yang sesuai hatinya.

Tampang, kemapanan, tinggi badan, penampilan, cara bicara dan bagaimana sikap memperlakukan pasangannya.

Standar Navy sudah ketinggian, jadi susah menemukan jodoh. Belasan calon yang diajukan Rosa ditampik dengan berbagai cara. Namun, masih saja tiap kondangan, harapan Navy memuncak agar disegerakan buat menikah. Sayangnya, cowok yang disukai Navy tidak menyukainya. Cowok yang dibenci juga tidak menyukainya. Lalu siapa yang bakalan bersanding di sisinya kelak?

Akankah dia mengikuti jejak Rosa melajang sampai tua?

Malah Windy sudah menikah dan punya anak. Namun, tetap saja Navy tersisih dari dunia karena harapannya belum tersampaikan. Dia telah ketinggalan banyak hal dibanding teman-temannya yang melewati satu fase kehidupan.

Usia 28 tahunnya diisi dengan lomba, kerja, lomba dan kerja lagi.

Kehidupannya selalu flat.

Kapan menikah?

Kurang ajar nih batin. Seenaknya aja kepo pas lagi melamun. Pikiran Navy berkecamuk kala melamun di depan mempelai yang berbahagia. Navy didorong Windy maju, selagi antrian di belakang panjang. Sikapnya bak mantan yang termangu ditinggal menikah.

“Bengong mulu. Ayo turun!” perintah Windy yang salah tingkah.

Usai sesi salaman dan foto, Windy dan Navy beralih ke meja prasmanan. Dia lupa umur saat menyendok acar timun. Untungnya sisi baik kondangan ya tetap makan besar. Wisata kuliner gratis. Kondangan di mana pun, makanan tetap selalu enak. Top markotop, terutama karena Navy dilarang pengantinnya untuk memberikan angpao.

Selagi duduk di meja, mereka bertemu sejumlah teman SMP. Reuni yang sangat menyenangkan. Ahmad turut serta bergabung di meja yang sama bersama istrinya. Sebagian besar yang datang sudah menikah, jadi urusan rumah tangga susah masuk di kepala Navy. Dia cuma bermain dengan Jihan sambil menanyakan nasibnya sendiri.

Kapan aku nikah?

Hela napasnya memberat. Dia percaya takdir bahwa setiap makhluk punya pasangannya. Pasti bakalan ada sosok yang menjadi pendampingnya nanti. Tapi ... kapan datang menjemput Navy sebagai istri yang sah?

Kalau dia datang hari ini, dia adalah takdir yang Allah atur. Bismillah, tungguin aja.

Navy berbesar hati. Tangannya menggenggam tangan Jihan yang lembut dan gemuk. Aroma bayi membuat Navy makin galau lagi pengen menikah.

"Wih!!! Junot datang! Apa kabar, Bro!" Ahmad bersorak heboh.

Kepala Navy menoleh cepat ke sosok di belakangnya, seperti tamu-tamu lainnya.

Apakah desiran hebat tadi adalah pertanda bahwa ini takdirnya? Mantan pacarnya tersenyum cerah setelah 12 tahun tidak menampakkan diri. Sekarang, dia harus bagaimana jika seluruh tubuhnya kaku? Apakah ini memang nyata bagi Navy menyaksikan Junot mengerling ke arahnya?

Tidak. Tidak.

Ini bukan mimpi. Namun, Navy takut untuk menyadari bahwa ini juga kenyataan. Dia mencubit lengannya sendiri untuk memastikan bahwa itu memang Junot. Cubitannya tidak terasa. Lalu Navy mencubit orang di sampingnya tanpa sadar.

"Dih, apaan sih, Nav!" desis Windy balik mencubit. Arah pandangnya mengikuti ke depan, di mana kedua iris Navy masih terkunci.

"Jihan, mama mau ke toilet dulu. Kamu sama Tante Navy, ya."

Tangan Navy hangat semakin dicengkeram jemari halus dan mungil milik Jihan. Sentuhan itu yang menyadarkan Navy bahwa mimpinya bukan mimpi bolong. Navy tersedak kecil, kehabisan napas selagi pria muda itu melangkah ke arahnya. Seperti adegan slow motion film roman picisan, iya, memang picisan bagi Navy, Junot bersinar terlalu menyilaukan penglihatannya.

Navy ingin meleleh sekarang. Gugup karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana selain berteriak heboh di dalam batinnya.

Iki tenanan! Junot teko tenan, Rek!

(Ini sungguhan. Junot beneran datang, guys!)





<