cover landing

Winter Tea Time

By Prisca Primasari

Celia Willow menatap mata sebiru safir tajam yang berpendar-pendar di hadapan matanya sendiri.

Umur Celia 5 tahun, tubuhnya masih mungil dan pendek. Tingginya ketika sedang berdiri, sama dengan tinggi wanita di depannya ketika berlutut. Barangkali Celia belum hidup terlalu lama untuk melihat semua jenis keajaiban, tapi entah bagaimana, hanya kata itulah yang dapat melukiskan sosok di depannya itu. Keajaiban. Begitu cantik, rambut ikalnya yang sewarna madu digelung seadanya di tengkuk, tapi helai-helai rambut yang jatuh di kedua pipinya membentuk sulur keemasan. Bibirnya semerah stroberi ranum, tersenyum lebar.

Mereka berdua berada di sebuah ruangan hangat yang sepertinya dihiasi banyak benda bulat berwarna tembaga. Selain itu, terdapat keping-keping berserakan—sepertinya merupakan pecahan benda tertentu, tapi Celia tak tahu benda apa itu. Atau mungkin dia tak peduli saja. Ketika suara sejernih hujan mengalun dari bibir wanita itu, Celia tak mampu memperhatikan apa pun dengan saksama. Celia bagaikan diperdaya oleh pendulum, terpaku oleh kemisteriusan wanita tersebut, atau bahkan bisa dibilang tersihir.

Wanita itu sesekali mendatangi mimpi-mimpi Celia. Sosok yang entah pernah ditemui Celia di kenyataan mana. Barangkali, wanita itu memang hanya berasal dari mimpi, dan kata-katanya pun mungkin sekadar kembang tidur. Celia tak pernah mampu mendengarkan dengan benar, dan semuanya keburu menguap begitu dia terbangun dari tidurnya.

Namun, setidaknya, ada satu kata yang berhasil dia tangkap. Kata yang bagi Celia tak terlalu bermakna, tapi siapa sangka memiliki tabir yang terlalu tebal. Terlalu tersembunyi, bagaikan rahasia yang terbungkus rapat.

Kata itu, adalah Waktu.

 

***

 

Tahukah kau, apa yang paling disukai Celia dari Alice in Wonderland?

Pesta minum teh.

Jadi sore itu, pada hari ulang tahunnya yang ke-21, Celia menyiapkan meja panjang dengan taplak penuh renda, teko-teko dari porselen, cangkir-cangkir dan piring mahal, scone, baumkuchen, Sachertorte, pai apel, muffin cokelat, serta entah berapa puluh kue lagi yang sama lezatnya. Kaleng-kaleng bundar dan bujur sangkar berisi daun-daun teh pun telah berjajar rapi di meja. Oh, ditambah patahan-patahan cokelat dalam stoples-stoples dari keramik tua.

Semua itu diletakkannya di kebun belakang rumahnya. London bukan negara yang terlalu cantik baginya, cenderung muram dan banyak proyek yang belum selesai di mana-mana. Namun, rumah Celia terletak di wilayah suburb yang cukup tenang dan sepi, dan cukup memungkinkan bagi orangtuanya untuk membangun rumah seperti chalet dengan sebuah kebun besar.

Sekarang musim dingin. Meski begitu, salju hanya turun sedikit—cukup bagus untuk London yang hampir tak pernah kedatangan salju. Masih tak masalah untuk mengadakan pesta minum teh di ruang terbuka. Celia duduk di pertengahan meja panjang, mengenakan mantel beledu hitam di atas gaun biru cerah. Kakinya, yang dibalut sepatu balet biru lembut dan kaus kaki garis-garis, menyentuh tanah yang dihiasi titik-titik putih. Dia menanti tamu-tamunya datang. Acaranya baru pukul 16.00, tetapi dia sudah siap satu jam sebelumnya, ditemani seorang pemuda yang kini sedang dipandanginya.

Nama panggilan ini akan terdengar pasaran. Namun, Celia memang biasa menyebutnya demikian: Hatter.

“Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya pemuda itu sambil menyipitkan mata. “Kau tahu. Mengadakan pesta ala Lewis Carroll dan mengundang teman-teman yang bahkan tidak peduli padamu?” Tubuhnya yang tinggi dan cenderung kurus, berdiri di dekat kursi kayu. Matanya hijau terang, rambut cokelatnya yang agak acak-acakan menyentuh tengkuknya. Tulang pipinya tegas. Sebelah tangannya bertumpu pada sandaran kursi, tangannya yang satu lagi memutar-mutar topi tinggi penuh bulu ala Victoria. Dia mengenakan banyak lapis pakaian yang warnanya bertubrukan, juga bot tinggi penuh tali bersilang-silang—kostum yang dipilihkan Celia untuknya. Hatter teman Celia sejak kecil, dan meski cewek-cewek bilang tampangnya oke, dia sering membuat Celia sebal.

“Aku harus memberitahumu berapa kali?” tanya Celia sambil berdecak. Satu tangannya bersedekap menahan dingin. “Ini cara satu-satunya. Ulang tahun dengan tema salah satu karya sastra terbaik di dunia, kue-kue lezat buatan ibuku, dan teh serta cokelat. Siapa yang akan menolak untuk datang?”

Hatter mengambil salah satu selimut yang bertumpuk di kursi, lalu melemparnya ke arah Celia. Celia menangkapnya refleks dan gelagapan. Pemuda itu kemudian duduk sambil melipat tangan di atas meja.

“Yah, tapi mereka kelihatannya tidak menyukaimu,” ujarnya terus terang. Dia memang selalu bicara terus terang, tapi justru karena itulah dia menyebalkan. “Mereka tak pernah datang ke acara apa pun yang kau adakan. Aku tak tahu kenapa sekarang harus berbeda.”

“Ini pertama kalinya aku membuat acara seindah ini,” sahut Celia, masih membela diri. “Lagi pula, kapan hari ada mata kuliah Sastra dan Film, dan kami menonton animasi Alice. Semua orang menyukainya dan ingin datang ke pesta minum teh semacam itu. Mereka pasti tidak akan melewatkannya.” Suara Celia sedikit melirih. Alih-alih meyakinkan Hatter, dia lebih seperti meyakinkan dirinya sendiri.

Hatter hanya menggeleng sepintas, dan akhirnya menggumam, “Terserahlah.” Dia meraih sekeping biskuit cokelat dan berhasil memakannya sebelum Celia sempat memukul tangannya. “Itu untuk tamu,” gerutu Celia.

“Memangnya aku bukan tamu?”

“Tentu saja bukan. Kau lebih seperti panitia.”

“Kalau begitu aku berhak dapat kompensasi, kan? Aku sudah ikut bantu-bantu.”

“Yah, benar,” kata Celia penuh ironi. Hatter memang membantunya—kalau menghadiahinya jack-in-the-box yang mengagetinya sedemikian rupa bisa disebut sebagai “bantu-bantu”.

Sembari menunggu, Celia mengambil cermin dan memandang dirinya sendiri, memastikan riasannya tidak berlebihan. Dia nyaris tak pernah berdandan sebelumnya, tetapi kali ini, dia ingin mengenakan bedak, pemulas pipi, dan pemulas bibir transparan. Rambut brunette-nya yang ikal panjang diberi bandana satin, gaun birunya dihiasi renda-renda dan rimpel di bagian leher. Bahkan pakaiannya pun mirip Alice.

Dia melihat Hatter berdiri, kemudian memutar Can’t Help Falling in Love dari sebuah gramafon. Pemuda itu sendiri yang membawanya—dia menyukai benda-benda seperti itu.

Pukul 16.00, Celia menangkupkan tangan di atas meja, berusaha untuk tetap tenang. Matanya menatap tumpukan muffin cokelat di depannya, tetapi pikirannya melayang memikirkan sambutan menyenangkan apa yang sebaiknya dia berikan kepada teman-temannya nanti. “Selamat datang di negeri Alice.” “Senang sekali kalian datang.” “Menyenangkan!” Jantung Celia berdebar-debar. Bahkan hal kecil seperti ini pun membuatnya gelisah.

Pukul 16.15. Belum ada seorang pun muncul.

Hatter kelihatannya mulai bosan. Cowok itu melempar-lemparkan gulungan pita ke atas, menangkapnya lagi, begitu terus sembari memandang langit biru keabu-abuan. Celia sempat berbinar ketika mendengar langkah kaki yang memasuki kebun, tapi bahunya melesak kecewa saat dia sadar itu hanya ibunya, membawa baki berisi tiramisu-tiramisu di dalam cangkir.

“Belum ada yang datang?” tanya ibunya, meletakkan cangkir-cangkir itu dengan sistematis dan rapi di atas meja yang hampir penuh. “Kalian makan saja duluan. Kau boleh ambil tiramisunya, Nak,” ujarnya kepada Hatter, yang langsung mengucapkan terima kasih dengan mata bersinar.

“Lihat, ibumu saja tidak masalah kalau aku makan duluan,” ujarnya setelah ibu Celia pergi. Celia hanya cemberut melihat pemuda itu memakan secangkir tiramisu. “Ini tiramisu terlezat yang pernah kumakan. Kau beruntung sekali punya ibu pandai memasak. Ibuku—yah, kerjaannya hanya menelepon klien dan memesan delivery.”

Pukul 16.30.

Celia semakin gelisah.

Bagaimana kalau mereka tak datang? Lagi? Celia mulai bertanya-tanya apakah dia salah mencantumkan jam atau tanggal pada undangannya? Dia cepat-cepat meraih kartu undangan yang ditegakkan di atas meja. Ibunya kapan hari membantu Celia menghias kartu itu menggunakan renda dan pita bergaris-garis, lalu membubuhkan tulisan miring indah dengan tebal-tipis tinta yang rapi. Ayahnya mengantarkan kartu-kartu itu ke rumah teman-teman Celia dengan menggunakan sepeda, atau menaiki kereta jika rumahnya jauh.

Celia membaca kartu tersebut dengan saksama. Winter Tea Time, tanggal 14 Januari 1996. Jangan lupa mengenakan kostum ala Alice in Wonderland. Tidak ada yang salah dengan keterangannya.

Celia meletakkan kartu itu kembali, lalu menopang dagu dengan kedua tangan.

Keningnya berkerut. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah dengan tak nyaman.

Pukul 17.00.

Sama sekali tak ada orang yang muncul.

Saat itulah, Celia harus menerima, bahwa sekali lagi, tak seorang pun yang bersedia datang ke pesta yang diadakannya.

Hatter menjulurkan lengan ke sandaran kursi di sampingnya. Sebelah kakinya ditekuk di atas kursinya sendiri. Celia tahu pemuda itu kini sedang memandanginya, tapi Celia tak ingin membalas tatapan tersebut. Dia tidak mau melihat wajah Hatter yang mungkin penuh kemenangan, yang menyiratkan, “Apa kubilang? Kau sih tak mau dengar.” Celia melesakkan bahu dengan lesu. Ditatapnya kue-kue yang sudah dibuat ibunya dengan susah payah. Teh-teh yang menganggur di dalam teko pun jelas sudah mendingin sejak tadi. Udara terasa semakin membekukan. Gramafon Hatter masih melantunkan musik tua, tetapi Celia tak mengenali judul-judulnya lagi.

Mereka bahkan tidak menelepon.

Orang lain bisa memiliki teman yang tahan bersama mereka selama berjam-jam, berhari-hari, bertahun-tahun. Teman-teman Celia bahkan tak mau datang ke pesta yang hanya dia adakan kurang dari dua jam?

Tentu saja Celia punya Hatter. Namun, itu karena dia terjebak dengan pemuda itu, begitu pula sebaliknya. Mereka bertetangga sejak kecil, ibu Hatter adalah teman ibu Celia. Baik Celia maupun Hatter tak punya pilihan selain ikut berteman juga.

Hatter baru bicara setelah keheningan panjang.

“Celia—”

Celia segera menggeleng, masih tak mau melihat wajah Hatter. Dia berdiri, melangkah lesu ke arah rumah, meninggalkan pestanya yang luar biasa sepi. Saat membuka pintu belakang, dia melihat ayah dan ibunya sedang duduk menikmati camilan sore di dapur yang masih dipenuhi aroma cokelat dan mentega. Keduanya mendongak untuk melihat Celia.

“Benar-benar tak ada yang datang?” tanya ibunya sedih.

Celia menggeleng pelan.

“Kemarilah,” ujar ayahnya. “Kita rayakan ulang tahunmu bertiga. Oh, berempat.” Dia beranjak dan memanggil Hatter, tapi pemuda itu hanya mengangkat tangannya sambil tersenyum, menyiratkan bahwa dia sebaiknya membantu membereskan makanan-makanan di halaman.

Celia duduk bersama ayahnya sementara ibunya menyiapkan makanan. Dia lebih sering melamun selagi orangtuanya mengobrol. Apa yang dilakukan teman-temannya sekarang, ya? Dia sekonyong-konyong membayangkan mereka sedang mengadakan pesta lain tanpa dirinya.

Setelah makan malam, Celia lekas menaiki tangga menuju kamar tidur. Dia melepas pakaian Alice-nya asal-asalan, mengenakan gaun tidur yang sama dengan malam sebelumnya, dan segera merebahkan tubuh di tempat tidur yang dihiasi quilt bunga-bunga tebal dan tumpukan boneka. Ini sungguh hari terburuk dalam hidupnya.

Sebelum terlelap, Celia berjanji.

Dia tidak akan pernah mengadakan pesta lagi.

***

Beker berbunyi.

Celia membuka mata.

Hari yang baru. Rutinitas yang lama. Jadwal kuliah yang sama.

Dia perlahan bangkit, duduk di tempat tidurnya, memandang menerawang tanpa semangat. Rasa tertekannya kemarin masih tersisa, tak hilang meski sudah dia coba atasi dengan tidur dan mimpi yang lagi-lagi menampakkan sosok wanita cantik bermata seperti safir tajam. Namun, setidaknya hari ulang tahunnya sudah lewat. Tak ada lagi acara menunggu dengan frustrasi di kebun belakang.

Tentu saja, dia harus memikirkan apa yang harus dia ucapkan jika bertemu dengan teman-temannya di kampus, tapi dia tak perlu mengkhawatirkan itu sekarang. Celia bisa menghindari mereka dan makan sendirian di kafeteria.

Celia mengacak-acak rambut dengan muram. Saat dia menelengkan kepala, matanya tanpa sengaja terarah pada bingkisan perak dan berpita biru besar di meja samping tempat tidur.

Lho?

Bukankah itu hadiah dari Hatter?

Kemarin Celia sudah membukanya. Kenapa sekarang terbungkus lagi?

Celia meraih kado tersebut, membolak-baliknya sambil mengernyit. Mungkin Hatter memberinya kado lagi. Barangkali cowok itu kasihan pada Celia, dan karenanya, dia ingin membuat Celia senang dengan kado tambahan.

Celia membuka pita dan kotak kado itu tanpa antusias, berharap isinya lebih baik daripada jack-in-the-box yang—

Sebuah badut kecil dengan per melompat dari dalam kotak. Celia terlonjak kaget dan refleks melemparkan kotak itu ke lantai.

Jack-in-the-box! Hatter lagi-lagi memberinya jack-in-the-box. Anak itu benar-benar—

Celia mengelus dada dengan napas pendek. Sekarang dia benar-benar marah. Hatter rupanya masih saja tak puas menjailinya.

Celia tak mau repot-repot memungut benda tak berguna itu. Sambil mendengus, dia berdiri, menarik pakaian dari lemari, lalu menghambur ke kamar mandi. Setelahnya, dia berdandan dan bersiap-siap pergi kuliah. Dia pun menuruni tangga untuk menuju dapur dan sarapan.

Cahaya matahari menerobos kaca persegi di samping anak-anak tangga. Salju dan gerimis sedang turun rintik-rintik. Dari kaca itu, Celia bisa melihat meja panjang yang masih dihiasi taplak berenda, juga teko-teko dan piring-piring keramik yang indah.

Bukankah kemarin Hatter telah membereskannya?

Tapi, yah, kapan sih anak itu bisa diandalkan?

Terlepas dari itu, Celia merasa aneh. Ada sesuatu yang janggal. Namun, dia tak tahu apa itu.

Celia melangkah melewati perabotan-perobatan tua padat begitu tiba di lantai bawah, melewati pigura-pigura di dinding—beberapa di antaranya berisi foto ketika dia dan orangtuanya berjalan-jalan ke Greenwich belasan tahun lalu. Dia membuka pintu dapur, melihat ayahnya sedang membaca koran. Ibunya memasak banyak sekali makanan. Beberapa kue berjajar-jajar di pantri; scone, baumkuchen, sachertorte, pai apel, muffin cokelat…. Kaleng-kaleng bundar dan kotak berisi teh juga bertumpuk rapi di meja.

Ibunya menoleh, tersenyum kepada Celia.

“Selamat ulang tahun, sayang,” ucap ibunya.

“Mana pakaian Alice-mu?” tanya ayahnya.

***





<